Minggu, 05 Juni 2011

HUKUM PERDATA (PERIKATAN/PERJANIIAN)



PERTEMUAN I

ISTILAH, PENGERTIAN, HUBUNGAN, MACAM-MACAMNYA, PENGATURAN, DAN SUMBER-SUMBER HUKUM PERIKATAN



A. Referensi :

1. KUHPerdata
2. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang lahir dari Perjanjian, 1995.
3. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXIII, 1991.
4. M. Yahya harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, 1986.

B. Istilah Perikatan/Perjanjian

Istilah perikatan yang dijumpai dalam literatur berbahasa Indonesia dan Buku III KUHPerdata merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Verbintenis”, sementara istilah Verbintenis itu sendiri merupakan salinan dari istilah “Obligation” dalam Code Civil Perancis yang selanjutnya merupakan pula terjemahan dari perkataan “Obligatio” sebagaimana ditemukan dalam Hukum Romawi Corpus Iuris Civilis.

Namun, penggunaan istilah perikatan sebagai terjemahan dari istilah Verbintenis belum mendapat kesepakatan di antara para Sarjana Hukum di Indonesis. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan menerjemahkan Verbintenis dengan istilah “Perutangan”, Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan Verbintenis menjadi “Perjanjian”, sementara Overeenkomst oleh Wirjono Prodjodikoro diterjemahkan menjadi “Persetujuan”. Dengan demikian, di dalam literatur Hukum berbahasa Indonesia terdapat 3 macam terjemahan dari istilah Verbintenis yaitu : Perikatan, Perutangan, dan Perjanjian.

Hofmann menerjemahkan istilah Verbintenis menjadi “Perikatan” karena pada hakikatnya dalam Verbintenis, kedua belah pihak terikat untuk saling melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Sri Soedewi M.S. mengatakan bahwa Verbintenis diterjemahkan menjadi “perutangan” karena perikatan pada hakikatnya mengandung isi hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, sedangkan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian, pihak yang dituntut (berkewajiban) merupakan pihak yang berutang, sedangkan pihak yang berhak menuntut (berhak) merupakan pihak yang berpiutang.

Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan Verbintenis menjadi Perjanjian karena Verbintenis mengandung (berisi) kesepakatan, di mana pihak yang satu myetujui/menyepakati untuk menyerahkan, melakukan, dan tidak melakukan sesuatu, sementara pihak lain menyepakati untuk menerima kehendak pihak yang satu tadi. Kesepakatan dan persetujuan itulah yang diistilahkan “perjanjian”.

Dari ketiga istilah tersebut, penulis lebih cenderung menerima istilah perikatan sebagai terjemahan dari istilah Verbintenis, karena pada hakikatnya dalam Verbintenis mengandung/berisi kewajiban salah satu pihak atau kewajiban dua belah pihak untuk memenuhi apa yang telah disepakati sebelumnya atau apa yang telah menjadi ketentuan undang-undang.

C. Pengertian Perikatan

Dalam Buku III BW Tentang Perikatan, Bab Kesatu tentang Perikatan-perikatan Umumnya, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-ketentuan Umum, khususnya pada :

1. Pasal 1233 BW berbunyi “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.

2. Pasal 1234 BW berbunyi “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Dari kedua pasal tersebut tidak ditemukan penjelasan tentang pengertian perikatan itu sendiri, sekalipun perikatan dinyatakan bersumber dari perjanjian, untuk itu perlu dikemukakan pasal BW yang mengatur tentang pengertian perjanjian untuk menelusuri apakah dalam pasal tersebut ditemukan tentang pengertian perikatan.

3. Pasal 1313 BW berbunyi “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pasal 1313 BW ini pada hakikatnya merupakan pasal yang memberikan pengertian tentang “perjanjian” bukan mengenai pengertian “Perikatan”, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam BW tidak ada satu pasalpun yang memberikan pengertian tentang perikatan, oleh karena itu pengertian perikatan diserahkan kepada Ilmu Hukum, sehingga para sarjana Hukum mencoba mendefinisikan perikatan sesuai persinya masing-masing.

1. R.M. Suryodiningrat (1985 : 14) mengartikan bahwa “Perikatan ialah ikatan dalam bidang hukum benda (vermogens rechts) antara dua orang atau lebih, di mana satu pihak berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban untuk melaksanakannya”.

2. R. Subekti (1982 : 122) mengartikan bahwa “Perikatan sebagaimana dimaksud Buku III BW ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedang orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

3. Achmad Kuzari (1995 : 1) mengartikan bahwa “Dua pihak subjek hukum, biasanya dua orang apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dalam kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan”.

4. Hoffmann yang terkutip dari R. Setiawan (1978 : 2) mengartikan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian”.

5. Pittlo yang terkutip dari R. Setiawan (1978 : 2) mengartikan bahwa “Perikatan sebagai hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”.

6. Riduan Syahrani (1992 : 203) mengartikan bahwa “perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi itu (debitur)”.

7. Abdulkadir Muhammad (1992 : 6) mengartikan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena, perbuatan, peristiwa atau keadaan”.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perikatan itu mempunyai lapangan yang sangat luas, yaitu bisa di dalam lapangan hukum harta kekayaan (harta benda) seperti jual-beli, wakil tanpa kuasa (zaakwarneming), lapangan hukum keluarga seperti perikatan karena perkawinan (lahirnya anak), lapangan hukum waris seperti mewaris karena kematian, membayar utang pewaris, lapangan hukum pribadi seperti perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya dan sebagainya.

Namun, perikatan yang dibahas dalam Mata Kuliah Hukum Perdata III semata-mata perikatan yang terjadi di dalapangan harta kekayaan (harta benda), baik perikatan yang lahir dari perjanjian, lahir dari undang-undang, dan sedikit menyinggung perikatan moral atau perikatan alamia menurut istilah J. Satrio serta perikatan yang lahir karena putusan pengadilan.

D. Hubungan Antara Perikatan dengan Perjanjian

Hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan, perjanjian adalah sumber perikatan. Dengan demikian, perjanjian antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian menimbulkan hubungan hukum karena dengan perjanjian itu, memberi hak kepada yang satu, dan kewajiban pada pihak yang lainnya yang disebut perikatan.

E. Macam-macam Perikatan

1. Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadinya.

a. baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu. Perikatan semacam ini disebut perikatan dengan syarat tangguh. Artinya, nanti betul-betul peristiwa itu terjadi barulah lahir perikatan. Contoh, saya akan menyewakan rumah saya apabila saya jadi pindah ke luar negeri.

b. maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Perikatan semacam ini disebut perikatan dengan syarat batal. Contoh, persewaan rumah saya akan berakhir apabila anak saya jadi pindah dari luar negeri.

2. Perikatan dengan ketetapan waktu, yaitu perikatan yang ditetapkan dengan waktu tertentu. Jadi perikatan ini tidak menangguhkan lahirnya atau batalnya perikatan, melainkan menentukan lamanya jangka waktu berlangsungnya perikatan. Contoh, saya akan menjual sawah saya jika sudah panen atau saya akan menjual sapi saya setelah beranak. Peristiwanya akan terjadi dan pasti akan terjadinya.

3. Perikatan mana suka, yaitu perikatan yang dimana debiturnya diberi pilihan untuk menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian sebagai pelunasan hutangnya. Tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang satu dan sebagian dari barang yang lainnya.

4. Perikatan tanggung-menanggung, perikatan yang debiturnya banyak dan di antara debitur-debitur itu tanggung-menanggung atas utang-utangnya, akan tetapi apabila ada di antara debitur melunasinya, maka tanggungan debitur lainnya ikut lunas.


5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi, yaitu perikatan yang objeknya dapat dibagi atau tidak dapat dibagi untuk melunasi utang. Contoh yang dapat dibagi yaitu penyerahan hasil penen, sedangkan yang tak dapat dibagi yaitu penyerahan seekor kuda/sapi.

6. Perikatan dengan ancaman hukuman, yaitu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti dari penggantian kerugian apabila perikatannya tidak dipenuhi.

F. Pengaturan Hukum Perikatan

Hukum Perikatan diatur dalam Buku III BW dengan judul “van Verbintenis (Tentang Perikatan) yang terdiri dari 18 Bab; tiap-tiap bab dibagi lagi menjadi bagian-bagian. Dari 18 bab ini diklasifikasikan menjadi ketentuan-ketentuan umum dan ketentuan-ketentuan khusus dengan sistematika sebagai berikut :

1. Bagian Umum :

Bagian umum ini masih dibagi menjadi beberapa bab, antara lain :

Bab I : Perikatan pada umumnya
Bab II : Perikatan yang lahir dari perjanjian
Bab III : Perikatan yang lahir karena undang-undang
Bab IV : Hapusnya perikatan

2. Bagian Khusus :

Bab V : Jual beli
Bab VI : Tukar menukar
Bab VII : Sewa menyewa
Bab VIII : Perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan
Bab IX : Persekutuan
Bab X : Hibah
Bab XI : Penitipan barang
Bab XII : Pinjam pakai
Bab XIII : Pinjam meminjam
Bab XIV : Bunga tetap atau bunga abadi
Bab XV : Perjanjian untung-untungan
Bab XVI : Pemberian kuasa
Bab XVII : Penanggungan
Bab XVIII : Perdamaian

Ketentuan-ketentuan umum tersebut dapat diterapkan terhadap perjanjian dan perikatan baik perjanjian yang bernama (telah memiliki nama) seperti yang diatur dalam Bagian Khusus tersebut maupun perjanjian yang tidak bernama (belum memiliki nama) seperti perjanjian sewa-beli, perjanjian arisan, perjanjian baku (standard contract) dan sebagainya perjanjian yang belum bernama atau belum diatur dalam undang-undang, sebagaimana ditenrtukan dalam Pasal 1319 BW bahwa “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.

G. Sumber Perikatan

Pada Pasal 1233 BW disebutkan bahwa “Perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang”. Dari Pasal 1233 BW ini dapat diketahui secara jelas bahwa ternyata perikatan hanya dapat dilahirkan dari dua macam, yaitu : dari perjanjian dan dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang terbagi lagi atas dua bagian, yaitu : perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang karena perbuatan manusia. Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manisia terbagi lagi atas dua, yaitu : perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia yang melanggar hukum.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN II

PERSONALIA, PRESTASI/WANPRESTASI, GANTI KERUGIAN, DAN HAPUSNYA PERIKATAN

REFERENSI :

1. KUHPerdata
2. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian
3. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.

A. Subejek dan Objek Perjanjian

1. Subjek Hukum Perjanjian

Subjek hukum adalah pembawa/pemikul hak dan kewajiban. Subjek hukum dapat terbagi atas 2 jenis, yaitu :

1. Manusia (naturlijke person)

2. Badan hukum (recht person), terbagi atas 2 lagi, yaitu :

a. Badan hukum privat (Perusahaan swasta, yayasan, koperasi, perkumpulan dagang dll).

b. Badan hukum publik (Negara, Propinsi, Kabupaten/Kota, BUMN, dan lain-lain)

2. Objek Hukum Perjanjian

Objek hukum perjanjian adalah segala sesuatu yang merupakan kewajiban dari pada si debitur dalam hal mana pihak kreditur berhak menuntutnya. Seperti (menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu yang lahir karena perjanjian).

B. Personalia dalam Suatu Perjanjian

Yang dimaksudkan dengan personalia dalam suatu perjanjian adalah siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian. Mengenai hal ini, Pasal 1315 KHUPerdata mengatakan bahwa “Pada umumya tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri”. Asas ini disebut asas kepribadian suatu perjanjian.

Kata mengikatkan diri ditujukan pada memikul kewajiban-kewajiban atau kesanggupan melakukan sesuatu. Sedangkan kata minta ditetapkannya suatu janji ditujukan pada memperoleh hak-hak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu. Dengan demikian, perjanjian hanyalah mengikat diri pribadi masing-masing yang mengadakan perjanjian, karena merekalah yang meletakkan kewajiban apa yang disanggupinya untuk dilakukan, sebaliknya merekalah yang menghendaki hak-hak apa yang ingin dituntut dari pihak lawan janjinya.

Perkecualian dari Asas Kepribadian dari suatu perjanjian adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata bahwa “Lagipun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan suatu janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu”.

Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu, tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya. Contoh perjanjian untuk pihak ketiga :

1) Saya menjual mobil saya kepada A, dengan perjanjian bahwa selama satu bulan mobil itu boleh dipakai dulu oleh si B.

2) Seorang memberikan modal cuma-cuma kepada orang lain untuk dipakai berdagang dengan perjanjian bahwa orang lain ini akan membiayai sekolah seorang mahasiswa.

C. Prestasi dan Wanprestasi

1. Prestasi

Sebagaimana telah dikemukakan pada perkuliahan terdahulu bahwa perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan “harta kekayaan”, di mana pihak yang satu adalah “kreditur” berhak atas suatu “prestasi” atau biasa juga disebut pihak yang berpiutang, sedangkan pihak lainnya adalah “debitur” berkewajiban memenuhi prestasi yang biasa juga disebut pihak berutang.

Pertanyaannya sekarang adalah apa yang dimaksud “prestasi” ? Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan, yang dalam hukum perikatan (Buku III BW), kewajiban dimaksud adalah kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Prestasi ini, pada garis besarnya dapat dibagi atas 3 bagian seperti ditentukan dalam Pasal 1234 BW, yaitu :
Menyerahkan sesuatu yang bernilai uang
Melakukan sesuatu pekerjaan yang bernilai uang, missal. perjanjian pemborongan
Tidak melakukan sesuatu yang bernilai uang, missal. Tidak membangun tembok yang dapat menghalangi pemandangan tetangganya.

Menurut Riduan Syahrani, syarat-syarat prestasi adalah :
Harus diperkenankan, artinya tidak boleh beertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1335 dan 1337 BW)
Harus tertentu atau dapat ditentukan, harus terang dan jelas (Pasal 1320 ayat (3) dan 1333 BW.
Harus mungkin dilakukan menurut ukuran manusia. Pengertian tidak mungkin, terbagi atas 2, yaitu : ketidakmungkinan secara objektif yaitu menurut pendapat banyak orang bahwa itu tidak mungkin, sehingga kreditur tidak dapat mengharapkan prestasi itu (misal. Tomat busuk di atas kapal angkut karena sudah 7 hari di atas kapal akibat overmacht). Ketidakmungkinan secara subjektif adalah hanya orang-orang tertentu saja yang dianggap tidak mungkin melakukan itu, sehingga barangsiapa yang melakukan perikatan dengan objek ketidak mungkinan menurut orang-orang tertentu (subjektif) tetap diwajibkan melaksanakan prestasi itu, kalau tidak debitur harus mengganti kerugian kreditur (malam harinya kecurian).

2. Sekarang, Apa yang dimaksud “Wanprestasi” ?

Wanprestasi adalah tidak terlaksananya suatu kewajiban oleh pihak yang berkewajiban yaitu debitur.

Wanprestasi terjadi karena 2 hal, yaitu :
Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian.
Karena keadaan memaksa (force majeure), jadi di luar kemampuan debitur (overmacht)

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa/berbentuk 4 macam, yaitu :
Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
Tidak memenuhi prestasi sepenuhnya seperti diperjanjikan atau perikatan yang lahir dari undang-undang.
Terlambat memenuhi prestasi
Keliru memenuhi prestasi, artinya tidak sesuai dengan kualitas sebagaimana diperjanjikan
Prof. Subekti menambahkan lagi menjadi debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Jika debitur wanprestasi, maka ada 5 bentuk kemungkinan tuntutan kreditur (Pasal 1267 BW) yaitu :
Pemenuhan perikatan
Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
Ganti kerugian
Pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi.

D. Ganti Kerugian

Mengenai ganti kerugian telah diatur dalam Pasal 1243 BW sampai Pasal 1252 BW. Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Ganti Kerugian adalah “sanksi yang yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi (wanprestasi) dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga.

Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur.

Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur.

Bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan oleh kreditur.

Ganti kerugian terdiri atas 3 unsur, yaitu :
Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Missal. Ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.
Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buahan Karena kelambatan penyerahan.
Bunga atau keuntungan yang diharapkan karena debitur lalai.

E. Hapusnya Perikatan

Menurut ketentuan Pasal 1381 BW bahwa hapusnya perikatan disebabkan karena 10 hal, yaitu :
Karena pembayaran
Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, yaitu terjadi dalam kasus Ahmad meminjam uang kepada Arman dengan bunga 10 % setiap bulan. Sebelum perikatan jatuh tempo, Ahmad menawarkan untuk membayar utangnya kepada Arman dan Arman menolaknya karena ia hendak menerima bunga 10 % setiap bulan hingga perikatan berakhir menurut yang diperjanjikan. Lalu Ahmad pergi ke Notaris menitipkan pembayaran utang itu, lalu notaries menitipkan lagi kepada Panitera Pengadilan, untuk kemudian Pengadilan membayarkan utang-utang Ahmad. Maka ketika terjadi penitipan uang itu, maka perikatan itu berakhir.
Karena pembaharuan utang, misalnya utang diperpanjang waktunya.
Karena perjumpaan utang atau kompensasi = sama-sama punya utang yang seimbang
Karena percampuran utang, misalnya, Calon ahli waris berutang kepada calon pewaris, kemudian pewaris meninggal, maka utang calon ahli waris bercampur dengan harta warisan dalam satu orang, kini perikatan utang-piutang hapus dengan sendirinya.
Karena pembebasan utang, utangnya dinyatakan oleh kreditur telah lunas walaupun tidak lunas.
Karena musnahnya barang yang terutang. Misalnya musnahnya barang bukan karena kesalahan debitur, atau lalai karena keadaan memaksa (tenggelam kapalnya di lautan di luar kemampuan manusia).
Karena kebatalan dan pembatalan (Syarat-syarat perjanjian, Pasal 1320 BW, syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian batal demi hukum. Syarat objektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan, semuanya ini menghapus perikatan).
Karena berlakunya syarat batal. Misalnya, A menyerahkan kebunnya kepada B untuk digarap sendiri, jika B menyerahkan lagi kepada C untuk digarap, maka perikatan antara A dengan B batal karena melanggar syarat (syarat batal).
Karena lewat waktu atau daluarsa. Pasal 1967 ditentukan bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN III

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN


A. Pengertian Perjanjian

Bab II Buku III BW berjudul “Perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian”.

Digunakannya kata atau di antara kata “Kontrak” dan “Perjanjian” menunjukkan bahwa kedua kata itu memiliki arti yang sama. Pembuat Buku III BW sengaja membuat demikian dengan maksud untuk menunjukkan bahwa kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama (J. Satrio, 1992 : 19). Jadi di sini tidak ditafsirkan dalam arti sehari-hari bahwa ada anggapan bahwa kontrak adalah perjanjian yang berlaku untuk jangka waktu tertentu dan dibuat dalam bentuk tertulis.

Subekti mengartikan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (1979 : 1).

Riduan Syahrani (1992 : 256) mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hokum di lapangan harta kekayaan, dimana seseorang (salah satu pihak) berjanji atau dianggap berjanji kepada seorang (salah satu pihak) yang lain atau kedua orang (pihak) saling berjanji untuk melakukan suatu atau tidak melakukan sesuatu.

Pasal 1313 BW disebutkan bahwa suatu persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan hokum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya.

Rumusan Pasal 1313 BW mengandung kelemahan yaitu :
Kata “perbuatan” dalam pasal tersebut seharusnya lebih tepat jika diganti dengan kata “tindakan hokum” karena istilah ini tidak hanya menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki, tetapi di dalamnya telah tersimpul adanya “sepakat” yang menjadi salah satu syarat mutlak adanya perjanjian.
Kata-kata dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih, menimbulkan kesan bahwa hanya satu pihak yang memiliki kewajiban, sementara pihak lainnya hanya memiliki hak, yang demikian ini cocok untuk perjanjian sepihak saja, dan untuk perjanjian kedua belah pihak tidak cocok batasan Pasl 1313 BW ini.


B. Pengertian Perikatan

Subekti (1979 : 1) mengartikan bahwa perikatan adalah suatu perhubungan hokum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lainnya, dan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi tututan itu.

Perhubungan antara dua orang atau lebih tadi adalah suatu “perhubungan hokum” yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hokum atau undang-undang. Artinya, apabila tuntutan si berpiutang tidak dipenuhi secara sukarela oleh pihak debitur, maka si berpiutang dapat menuntut pemenuhannya di mukan pengadilan.

C. Saat lahirnya Perjanjian

Saat/detik lahirnya perjanjian tidak menjadi permasalahan apabila antara pihak penawar dengan pihak lawannya saling berhadap-hadapan di suatu tempat yang sama, karena jarak waktu antara penawaran dengan penerimaan dapat terjadi dalam jangka waktu yang sangat singkat. Detik lahirnya perjanjian dipermasalahkan apabila antara pihak yang menawarkan dengan pihak lawannya tidak berada pada tempat yang sama dan penawarannya dikirim melalui alat komunikasi seperti surat atau telegram. Ketetapan mengenai kapan perjanjian lahir/timbul memiliki arti yang penting bagi :

1. Penentuan risiko;
2. Kesempatan penarikan kembali penawaran;
3. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluarsa;
4. Menentukan tempat terjadinya perjanjian.


Penentuan mengenai lahirnya/timbulnya perjanjian telah menimbulkan beberapa teori, yakni :

1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

Teori ini menyatakan bahwa “perjanjian telah ada” pada saat “telah ditulis surat jawaban penerimaan” atas suatu penawaran, atau dengan perkataan lain “perjanjian itu ada”, “pada saat pihak lain menyatakan penerimaannya/akseptasinya (penerimaan dinyatakan dalam bentuk tulisan. Artinya, pada saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan akseptor dinyatakan saling bertemu.

Kelemahan Teori ini

1. Orang tidak dapat menetapkan secara pasti kapan perjanjian telah lahir karena sulit bagi kita untuk mengetahui dan membuktikan secara pasti “saat penulisan surat jawaban tersebut” sebagai bukti pernyataan menerima penawaran.

2. Selama surat jawaban itu masih berada di tangan akseptor (orang yang menyatakan menerima penawaran), maka selama itu, akseptor masih dapat mengulur atau membatalkan/menarik kembali pernmyataan penerimaannya atas penawaran, sehingga jika hal itu terjadi, sekalipun surat telah ditulis, akan tetapi perjanjian batal karena ditariknya pernyataan penerimaan penawaran tadi, sekalipun surat jawaban sudah ditulisnya.


2. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie)

Teori ini menyatakan bahwa saat lahirnya perjanjian adalah pada “saat/detik pengiriman jawaban akseptasi” (pengiriman jawaban atas penawaran). Untuk menentukan kapan saat dikirimnya jawaban akseptasi dapat diketahui melalui tanggal cap pos menjadi patokan karena sejak saat surat tersebut dikirimkan, akseptor tidak lagi memiliki kekuasaan lagi atas surat jawaban tersebut.

Teori ini pada hakikatnya merupakan koreksi atau keberatan-keberatan atas teori pernyataan.

Kelemahan Teori ini

Kelemahan teori ini adalah “perjanjian tersebut sudah lahir atau telah mengikat orang yang menawarkan” ketika surat sudah dikirimkan oleh pihak pos, sedangkan pihak yang menawarkan belum tahu apakah pihak akseptor telah menjawab/menerima tawarannya itu.

Konsekuensi hukum diterimanya teori ini adalah bahwa pihak yang menawarkan dapat saja menarik kembali penawarannya sebelum tanggal pengiriman surat jawaban penerimaan tawaran dari akseptor. Jika terjadi hal demikian, maka perjanjian antara mereka tidak lahir. Teori ini yang dianut di Inggris.

Pada hakikatnya teori ini mengandung unsur ketidakadilan dilihat dari sudut yang menawarkan, karena setiap saat pihak yang menawarkan selalu memiliki kemungkinan untuk menarik penawarannya. Sedangkan pihak akseptor tidak memiliki kesempatan untuk menarik kembali pernyataan penerimaannya atas penawaran saat/detik dikirmnya oleh pihak pos jawaban penerimaannya atas penawaran.

3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Untuk mengatasi kelemahan teori pengiriman, orang menggeser saat lahirnya perjanjian, yaitu pada saat pihak yang menawarkan telah menerima jawaban dari akseptor bahwa telah menerima penawaran, dalam arti pihak yang menawarkan telah mengetahui isi jawaban penerimaan atas penawaran dari akseptor. Teori ini kiranya sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar pertemuan dua kehendak yang dinyatakan (pernyataan kehendak), dan kedua pernyataan kehendak itu harus dapat dimengerti oleh pihak yang lain (lawan janji).

Kelemahan Teori ini

Teori ini masih memiliki kelemahan, yaitu apabila si penerima surat yang dikirim oleh akseptor dibiarkan berlama-lama tiudak dibuka dan dibaca. Apabila terjadi demikian, apakah perjanjian dinyatakan tidak lahir atau malahan karenanya dinyatakan tidak akan pernah lahir.

Hanya pihak yang menerima surat (penawar) yang tahu pasti,m kapan ia terima surat, kapan ia buka, dan kapan ia baca dan mengetahui isi surat itu dari akseptor. Dengan rentang waktu kemungkiinan diterimanya surat dengan dibuka dan dibaca itu, pihak penawar masih punya waktu untuk mengulur saat lahirnya perjanjian.

Sekalipun waktu/saat surat itu diterima oleh pihak penawar dapat ditentukan secara pasti, namun saat membacanya dan mengetahui isinya tidak dapat ditentukan secara pasti.

4. Teori Pitlo

Pitlo selaku ahli hukum mengembangkan teori sendiri dengan menyatakan bahwa “perjanjian lahir pada saat dimana orang yang mengirimkan jawaban secara patut boleh mempersangkakan (beranggapan) bahwa orang yang diberikan jawaban mengetahui jawaban itu”.

Dengan demikian, jawaban itu harus sudah sampai di tangan yang dituju, terlepas dari apakah si penerima surat sudah membuka, membaca atau mengetahui isinya, yang jelas secara patutu penerima surat diduga keras telah menerima surat jawaban dari akseptor. Teori ini pada hakikatnya hendak menampik kelemahan teori pengetahuna bahwa nanti setelah pihak penerima surat jawaban telah membaca dan mengetahui isi surat jawaban penerimaan tawaran dari akseptor.

Kelemahan Teori ini

Kelemahan teori ini adalah bahwa tidak memperhitungkan apakah si penerima surat secara riil telah menngetahui isi jawaban, sehingga memungkinkan perjanjian dinyatakan lahir atas dasar hanya “persangkaan bahwa penerima surat telah mengetahui isi surat sebagai jawabannya”.

5. Teori Penerimaan (Ontvangsttheorie)

Untuk mengatasi kelemahan teori pengetahuan, maka teori penerimaan ini dikembangkan. Menurut teori ini, terjadinya atau saat lahirnya perjanjian dinyatakan pada saat surat jawaban pernyataan penerimaan atas penawaran “telah diterima” oleh pihak penawar, tidak memperdulikan apakah sudah dibuka, dibaca dan diketahui isinya, yang penting surat itu telah dinyatakan telah sampai di alamat penerima surat. Hingga saat ini, teori ini diterima luas oleh kalangan ahli hukum.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN IV

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN (LANJUTAN……)


A. Asas-Asas Perjanjian

Satjipto Rahardjo (1991 : 45) mengatakan bahwa asas hokum merupakan jantungnya peraturan hukum, karena :

Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hokum. Jantung Hukum oleh Paton diistilah sebagai sarana yang membuat hokum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hokum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka, karena asas-asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.

Dalam hukum perjanjian dijumlai beberapa asas penting, yaitu sebagai berikut :

1. Asas Kebebasan berkontrak (Freedom of making contract)

Asas kebebasan berkontrak ini memiliki arti bahwa setiap orang bebas membuat atau mengadakan perjanjian apa saja baik itu sudah diatur dalam undang-undang maupun belum diatur dalam undang-undang, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum (Pasal 1337 BW). Jadi, arti kebebasan berkontrak di sini adalah setiap orang bebas menentukan syarat-syarat perjanjiannya, bahkan bebas membuat perjanjian sekalipun belum dikenal oleh undang-undang seperti perjanjian sewa-beli.

Kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Buku III BW bahwa setiap perjanjian atau persetujuan yang dibuat antara dua pihak berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

2. Asas Konsensuil

Asas ini mengandung arti bahwa sejak saat/detik tercapaimnya kata sepakat antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, maka saat/detik itu juga dinyatakan perjanjian sudah sah. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hokum sejak saat/detik tercapainya kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakannya.

Perjanjian yang mensyaratkan dengan bentuk formal tertentu tidak masuk dalam kategori perjanjian konsensuil seperti perjanjian jual-beli benda tidak bergerak (tanah misalnya) harus dengan syarat akta otentik (PPAT) (PP No. 10 Tahun 1961 dan disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997).

3. Asas Itikad Baik

Artinya, setiap orang yang membuat suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas ini dibedakan atas 2, yaitu : itikad baik yang subjektif dan itikan baik yang objektif. Itikad baik yang subjektif sangat ditentukan oleh sikap batin oleh pembuat perjanjian, sedangkan itikad baik yang objektif adalah pihak mengadakan perjanjian dianggap beritikad baik karena didasarkan pada norma-norma kepatutan yang berlaku di dalam masyarakat.

4. Asas Pacta Sun Servanda

Artinya, perjnjian yang dibuat adalah mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti undang-undang atau dengan kata lain perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berlaku seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya.


5. Asas Berlakunya Suatu Perjanjian

Artinya, perjanjian hanya mengikat atau hanya berlaku bagi pihak yang membuatnya, terhadap pihak ketiga, perjanjian tidak berlaku atau tidak mengikat pihak ketiga, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang, seperti perjanjian garansi (borgtoct) dan perjnjian untuk pihak ketiga (baca Pasal 1315 dan 1340 BW) yang berbunyi “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. “persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya………

6. Asas Bersifat Obligatoir (Obligatory)

Artinya, perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership). Hak milik baru berpindah apabila diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst).

B. Jenis-jenis Perjanjian

Perjanjian yang dimaksud pada pembahasan ini adalah perjanjian obligatoir sebagaimana dimaksud oleh Buku III BW, yaitu :


1. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian Cuma-cuma adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi diri sendiri (Pasal 1314 BW). Misalnya, Perjaniian pinjam pakai, hibah, penitipan barang Cuma-Cuma.

Perjanjian atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasi pihak lain, dimana kontra prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas prestasi yang satu atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri. Misal A menyanggupi menyerahkan sejumlah uang kepada B, jika B menyerahkan barang kepada A. Perjanjian di sini bukan perjanjian jual-beli barang, melainkan barang hanya merupakan kontra prestasi atas kesanggupan A menyerahkan sejumlah uang kepoada B.

2. Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Misalnya, perjanjian hibah, hadiah.

Perjanjian Timbal Balik adalah (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya, jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.

3. Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Real

Perjnjian Konsensuil adalah perjanjian yang timbul/lahir karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Artinya, sejak terjadinya persetujuan/consensus, maka sejak itu perjanjian dinyatakan sah sekalipun belum diikuti penyerahan nyata. Misalnya, perjanjian jual-beli barang bergerak.

Perjanjian Real adalah perjnjian di samping disyaratkan adanya persetujuan kehendak juga diharuskan disertai penyerahan nyata atas barangnya. Misalnya, jual-beli barang tanah, perjanjian penitipan, pinjam pakai.

4. Perjanjian Bernama dan Perjaniian Tidak bernama

Pasal 1319 BW menyebutkan dua kelompok perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan nama khusus disebut perjanjian bernama (benoemde contracten) dan perjanjian yang dalam undang-undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut perjanjian tak bernama (onbenoemde contracten).

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah memiliki nama sendiri yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan dll.

Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. Misalnya, perjanjian sewa-beli.

5. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian Kebendaan (zakelijke overeencomst) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual-beli, sedangkan perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.

Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian timbulllah hak dan kewajiban pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

C. Unsur-Unsur Perjanjian

Adapun unsure-unsur perjanjian adalah sebagai berikut :

1. Unsur Essensialia adalah unsure perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian atau disebut juga unsure mutlak, di mana tanpa adanya unusr ini, maka perjanjian tidak mungkin ada. Misalnya, “sebab yang halal” merupakan essensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjanjian jual-beli, harga dan barang yang disepakati kedua belah pihak harus ada. Pada perjanjian real, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, atau syarat formal tertentu dalam jual-beli merupakan essensialia darti perjanjian formal.

2. Unsur Naturalia adalah unsure perjanjian yang oleh undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Misalnya, penjual menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin (Pasal 1476 dan 1491 BW) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak, dengan menyatakan bahwa justeru pembeli yang menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin.

3. Unsur Accidentalia adalah unsure perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak. Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal ini. Misalnya, di dalam suatu perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bias dikecualikan.



HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN V

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN (LANJUTAN…..)

A. Syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 BW menetapkan patokan secara umum tentang bagaimana suatu perjanjian lahir secara sah, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (consensus)
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian (capacity)
3. Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter)
4. Ada suatu sebab yang halal (legal causa)

Ad. 1. Sepakat. Permasalahn dalam kata sepakat ini jika kedua belah pihak mengadakan perjanjian tidak berada dalam tempat dan waktu yang sama untuk mengadakan perjanjian. Misalnya perjanjian diadakan melalui surat menyurat atau melalui telephon dsb. Untuk ini, dikenal 4 teori, yaitu :

a. Uitings Theori (Teori saat melahirkan kemauan)

Teori ini, perjanian dinyatakan terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat penerimaannya.

b. Verzend Theori (Teori Saat Mengirim Surat Penerimaan)

Menurut teori ini, perjanjian dianggap terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada si penawar.

c. Onvangs Theori (Teori Saat Menerima Surat Penerimaan)

Menurut teori ini, perjanjian dianggap terjadi pada saat menerima surat penerimaan/sampai di alamat penawar.

d. Vernemings Theori (Teori Saat Mengetahui Suirat Penerimaan)

Menurut teori ini perjanjian dianggap terjadi apabila si penawar telah membuka dan membaca surat penerimaan itu.


KESEPAKATAN KEHENDAK DIANGGAP CACAT APABILA :

1. Ada Paksaan (Dwang), paksaan disini terbagi dua, yaitu : paksaan pshikis (ancaman) dan paksaan pisik (tanggannya dipegang untuk tanda tangan.

2. Ada Kekeliruan/Kekhilafan/Kesesatan (Dwaling). Misalnya, dikira Jam tangan merek Seiko asli dan baru pada hal Seiko palsu, Pertunjukan, dikiranya yang dikontrak adalah Paramita Rusady padahal orang lain yang mirip dengan Paramita Rusadi.

3. Penipuan (Bedrog), Penipuan dimaksud disini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP yang dengan cara melakukan tipu muslihat atau daya upaya sehingga orang lain sebagai teman janjinya seakan-akan menyadari bahwa hal itu adalah sesuatu yang benar. Misalnya, penjual obat kaki lima, menyatakan obatnya mujarrab, pada halo bat itu adalah tai gergaji.

Ad. 2. Cakap Untuk membuat Perjanjian (capacity)

Pada umumnya orang yang telah genap umur 21 tahun dianggap cakap untuk melakukan perjanjian, artinya sudah dewasa. Pasal 1330 BW mengatakan tidak cakap membuat perjanjian adalah orang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, wanita yang bersuami (untuk hokum Indonesia wanita bersuami dianggap cakap). Jadi, syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung keasadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.

Ad. 3. Ada Suatu Hal Tertentu (a certain subject matter)

Pasal 1333 BW bahwa barang yang menjadi suatu objek perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedanhgkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.

Ad. 4. Ada Suatu Sebab Yang halal (legal causa)

Causa atau sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud causa yang halal dalam Pasal 1320 BW bhka nlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Apakah tujuan itu dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, apakah bertentangan dengan kesusilaan atau tidak.

B. Isi Perjanjian

Yang dimaksudkan isi perjanjian di sini pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperjanjiankan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat ini berisi hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang harus mereka penuhi. Dalam hal ini tercermin asas kebebasan berkontrak yaitu berapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan perjanjian, hubungan-hubungan apa yang terjadi antara mereka, dan berapa jauh hokum mengatur hubungan antara mereka.

Pada garis besarnya, isi perjanjian itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Syarat-syarat yang tegas (Express terms)

Syarat-syarat yang tegas adalah syarat-syarat yang secara khusus disebutkan dan disetujui oleh pihak-pihak pada waktu membuat perjanjian, apakah dilakukan secara tertulis atau secara lisan. Dalam perjanjian jual-beli barang bergerak biasanya syarat tegas yang diminta hanyalah apa yang dilihat (barang jualan) di depan matanya. Akan tetapi perjanjian yang membutuhkan jangka waktu lama, biasanya pihak-pihak menentukan syarat-syarat tegas dan rinci, misalnya jual-beli tanah memerlukan syarat-syarat tegas dan rinci, perjanjian asuransi yang butuh waktu lama, memerlukan syarat tegas dan rinci.

2. Syarat yang diam-diam (Implied Terms)

Syarat yang diam-diam adalah syarat-syarat yang tidak ditentukan secara tegas mengenai suatu hal dalam perjanjian. Namun demikian, pihak-pihak pada dasarnya mengakui syarat-syarat demikian itu karena member akibat komersial terhadap maksud para pihak. Misalnya, dalam perjanjian pengangkutan laut, pemilik kapal secara diam-diam melaksanakan kewajibannya berupa kapalnya dalam keadaan layak laut, kapal berlayar dengan kecepatan layak, tidak akan terjadi penyimpangan arah yang tidak perlu. Demikian pula dalam perjanjian kerja, majikan dibebani kewajiban diam-diam supaya memelihara keselamatan para karyawannya secara layak, dan para karyawan dengan itikad baik melaksanakan keahliannya secara layak.

Syarat diam-diam pada umumnya ada jika tidak ada syarat tegas, sehingga syarat tegas mengesampingkan syarat diam-diam.

3. Klausula-klausula Penyamping

Klausula penyamping ini adalah untuk membatasi tanggung jawab salah satu pihak, bisanya pihak penjual. Dengan klausula penyamping, ia membatasi tanggung jawabnya dan membebankan kewajiban itu kjepada pihak pembeli. Misalnya dalam suatu nota pembelian sering dijumpai klausula yang berbunyi “Barang yang sudah dijual tidak dapat dikembalikan”. Dalam klausula ini, penjual membebaskan diri dari kewajiban menanggung kemungkinan ada cacat pada barang itu, artinya jika ada cacat, rusak, barang itu tidak dapat dikembalikan lagi. Ini berarti bahwa kerugian dibebankan kepada pembeli.

Klausula penyamping ini sering memberatkan pihak lainnya, yaitu pihak pembeli dengan menetapkan syarat “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Untuk menghindari syarat yang berat sebelah seperti ini, Abdulkadir Muhammad merekomendasikan beberapa hal penting :

a. Menetapkan syarat perlu memperhatikan ketentuan undang-undang yang bersifat mengatur hak dan kewajiban berdasarkan itikad baik;

b. Penulisan klausula penyamping dibuat secara jelas supaya mudah dibaca oleh setiap orang yang mau mengadakan perjanjian;

c. Klausula penyamping tidak boleh mengenai syarat pokok;

d. Klausula penyamping memuat kewajiban menanggung bersama akibat yang timbul dari perjanjian itu, misalnya jika terdapat kerusakan pada barang yang dibeli, maka penjual menanggung biaya servis.

C. Akibat Hukum Perjanjian

Pasal 1338 BW menetapkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya perjaniian nyang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan Pasal 1320 BW dan syarat-syarat khusu lainnya, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, pada garis besarnya, akibat hokum perjanjian dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu :


1. Berlaku Sebagai Undang-undang

Berlaku sebagai undang-undang artinya, perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu, keberlakuannya sama seperti undang-undang bagi mereka sendiri, perjaniian itu tidak berlaku sebagai undang-undang selain dari mereka yang membuat perjanjian. Di sinilah titik perbedaan antara keberlakuan sebagai undang-undang dari suatu perjanjian, karena hanya berlaku bagi mereka yang membuat perjanjian, sedangkan undang-undang (produk legislative) berlaku untuk public.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hokum tertentu yaoitu sanksi hokum. Jadi jika dilanggar maka ia akan mendapat sanksi hokum sebagaimana telah ditentukan oleh undang-undang.

2. Janji itu Mengikat

Pasal 1338 ayat (1) dikatakan bahwa “Perjniian itu mengikat”. Mengapa mengikat ? apakah karena ketentuan undang-undang menentukan demikian ? Bukan, melainkan karena isi perjanjian itu sendiri, di mana isi perjanjian ditentukan sendiri oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sangat tidak wajar, tidak logis, tidak manusiawi jika mereka sendiri yang menentukan isi perjanjian, lalu mereka juga yang tidak mau terikat atau tidak mau melaksanakannya dengan itikad baik. Oleh karena itu, mereka terikan karena mereka sendiri yang memberikan janjinya, mereka sendiri yang menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan suatu kewajiban yang diletakkan/diadakannya dalam perjanjian.

3. Tidak dapat Ditarik Kembali secara sepihak

Pasal 1338 ayat (2) BW merupakan konsekuensi logis dari pada “perjanjian itu mengikat”. Para pihak tak dapat menarik diri daripada akibat-akibat perjanjian yang dibuatnya “secara sepihak”. Artinya, perjanjian dapat diubah, ditambah, dikurangi, dan dibatalkan dengan syarat harus atas persetujuan kedua belah pihak.

Namun demikian, perjanjian dapat ditarik secara sepihak jika alas an-alasan yang doiberikan oleh undang-undang itu dapat diketahui dalam pasal-pasal undang-undang seperti berikut ini :

a. Perjanian yang bersifat terus menerus, berlakunya itu dapat dihentikan secara sepihak. Misalnya Pasal 1571 BW tentang sewa-menyewa yang dibuat secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan memberitahukan kepada penyewa.

b. Perjanjian sewa rumah Pasal 1587 BW, setelah berakhir waktu sewa seperti ditentukan dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah tersebut tanpa teguran dari pemilik yang menyewakan, maka penyewa dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar sewa menyewa dengan syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan menurut kebiasaan setempat. Jika pem,ilik ingin menghentikan sewa menyewa tersebut, ia harus memberitahukan kepada penyewa menurut kebiasaan setempat.

c. Perjanian pemberian kuasa Pasal 1817 BW, penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya dengan memberitahukan kepada pember kuasa

d. Perjaniian pemberian kuasa Pasal 1814 BW, pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya, apabila ia menghendakinya.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN VI

PEMBEDAAN PERJANJIAN

1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
♫ Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
♫ Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
♫ Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
♫ Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
♫ Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
♫ Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
♫ Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
♫ Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
♫ Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
♫ Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN VII

PELAKSANAAN TERHADAP PERJANJIAN

A. Arti Pelaksanaan Perjanjian

Pelaksanaan perjanjian tidak adalah pemenuhan hak dan kewajiban tepat waktu sebagaimana telah diperjanjikan oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Pelaksanaan perjanjian berupa pelaksanaan kewajiban yang dapat berupa pembayaran/penyerahan barang dan melakukan suatu perbuatan.

1. Pembayaran

Pembayaran adalah penyerahan sejumlah uang sebagai harga dari barang yang dibelinya, dengan demikian pembayaran adalah pemenuhan kewajiban debitur kepada krediturnya berdasarkan perjanjian yang telah diadakan.

-Pihak yang melakukan pembayaran adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian. Namun, dapat juga debitur menyuruh orang lain mewakili debitur disertai surat kuasa.

-Alat bayar yang digunakan pada umumnya berupa uang. Surat berharga seperti cek bukan alat pembayaran yang sah, utang belum terlunasi sampai cek itu dibayar banker, karena cek hanya alat pembayaran bersyarat.

-Tempat pembayaran dilakukan di tempat yang telah ditetapkan dalam perjanjian, jika tidak ditentukan dalam perjanjian, maka pembayaran dilakukan di tempat di mana barang itu berada waktu membuat perjanjian

-Media pembayaran dapat dilakukan dengan mengirim uang lewat pos dan rekening bank dengan cara transper.

-Biaya penyelenggaraan pembayaran ditanggung debitur (Pasal 1395 BW)

2. Penyerahan barang

Penyerahan barang dimaksudkan adalah pemindahan penguasaan atau pemilikan hak atas barang berdasarkan perjanjian. Penyerahan barang dapat berupa penyerahan nyata dan penyerahan yuridis (untuk barang tidak bergerak).

3.Syarat-syarat Penyerahan

-Harus ada perjanian yang bersifat kebendaan

-Harus ada alas hak (title)

-Dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai barang

-Dilakukan penyerahan nyata

B. Penafsiran Dalam pelaksanaan Perjanjian

Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian biasanya mengatur yang pokok-pokoknya saja, banyak hak-hak dan kewajiban yang tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian, maka diperlukan penafsiran. Dalam melakuka n penafsiran kita berpedoman kepada Pasal 1342 s/d 1351 BW yang menyatakan bahwa :

a. Apabila kata-kata suatu prjanjian adalah jelas maka kata-kata itu tidak boleh disimpangi dengan jalan menafsirkannya (Psl. 1342 BW)

b. Jika kata-kata dalam perjnjian tidak jelas, maka ditafsirkan berdasarkan maksud kedua belah pihak pada waktu membuat perjanjian (Psl. 1343 dan 1350 BW)

c. Jika perjaniian mengandung dua macam pengertian maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan perjanjian dilaksanakan (Psl. 1344 BW)

d. Jika perjanjian mengandung dua pengertian maka harus dipilih yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Psl. 1345 BW)

e. Jika perjanjian meragukan, maka harus ditafsirkan berdasarkan kebiasaan setempat (Psl. 1346 BW) dan Harus ditafsirkan berdasarkan kerugian kreditur dan untuk keuntungan debitur (Psl. 1349).

f. Segala sesuatu yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimaksudkan dalam perjanjian sekalipun tidak dinyatakan secara tegas (Psl. 1347 BW)

g. Semua janji-janji yang dibuat dalm perjanjian harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian secara keseluruhan (Psl. 1348 BW).


C. Itikad Baik Dalam pelaksanaan Perjanjian

Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dimaksudkan sebagai pelaksanaan perjanjian berdasarkan kepatutan. Kepatutan yang dimaksudkan adalah kepatutan dalam masyarakat, kepatutan yang berlaku dalam suatu bidang-bidang tertentu seperti kepatutan dalam transfer melalui rekening dsb.


HUKUM PERJANJIAN/PERIKATAN
PERTEMUAN VIII

PELAKSANAAN PERJANJIAN

A. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian

Sekalipun perjaniian sudah disetujui/ditandatangani, namun dalam pelaksanaan tidak menutup kemungkinan terdapat hambatan. Hambatan dimaksud disebabkan karena dua kemungkinan, yaitu :

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian (wanprestasi)
2. Karena keadaan memaksa (force majeur, overmacht). Jadi di luar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.

Ad. 1. Wanprestasi debitur dapat berupa 4 macam, yaitu :

a. Samasekali tidak memenuhi prestasi. Artinya, tidak melaksanakan kewajiban yang telah disanggupinya sebagaimana dalam perjanjian.

b. Tidak tunai memenuhi prestasi. Artinya, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak memenuhi seluruhnya.

c. Terlambat memenuhi prestasi. Artinya, debitur memenuhi seluruh kewajibannya, namun terlambat.

d. Keliru memenuhi prestasi. Artinya, debitur memenuhi seluruh prestasi namun keliru. Misalnya, debitur memenuhi prestasi namun tidak sesuai dengan kualitas barang sebagaimana diperjanjikan.

Ad. 2. Karena keadaan memaksa (overmacht).

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dengan demikian, unsure-unsur keadaan memaksa adalah :

a. Tidak terpenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan. Ini bersifat tetap.

b. Tidak terpenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi. Ini dapat bersifat tetap atau sementara.

c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur.

Keadaan memaksa (overmacht) terbagi atas 2 bagian, yaitu :

a. Overmacht yang bersifat mutlak (absolute) objektif

-Overmacht yang bersifat mutlak karena suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun tidak mungkin bias dilaksanakan.

-Overmacht yang bersifat objektif karena benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat dipenuhi oleh siapapun, yakni objek musnah di luar kesalahan debitur.

b. Overmach yang bersifat Nisbi (relative)/subjektif

-Overmacht yang bersifat nisbi ini adalah suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan-pengorbanan yang demikian besarnya sehingga tidak lagi sepantasnya pihak kreditur menuntut pelaksanaan perikatan tersebut.

-Overmach yang bersifat subjektif adalah karena menyangkut subjek (debitur) sendiri yang mengalami suatu keadaan yang ketika itu tidak mungkin memenuhi prestasi. Misalnya, debitur dalam keadaan sakit untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam perikatan kerja.

Ukuran yang digunakan untuk menentukan apakah keadaan memaksa yang bersifat nisbi/relative/subjektif ini, terdapat 2 ukuran, yaitu :

a. Ukuran objektif, yaitu ukuran bagaimana keadaan orang pada umumnya. Bilamana suatu keadaan menyebabkan semua orang tidak melaksanakan perikatan maka keadaan ini merupakan keadaan memaksa yang diukur secara objektif.. Misalnya, dalam perikatan A berjani untuk mengirim sebuah barang kepada B, tiba-tiba ada peraturan keluar yang melarang mengirim barang semacam itu.

b. Ukuran subjektif, yaitu keadaan seseorang tertentu yang berbeda dengan orang lain. Misalnya, A berjanji untuk menyerahkan barang kepada B, namun malamnya tiba-tiba dirampak barang itu.

B. Risiko

Risiko adalah kewajiban menanggung kerugian akibat overmacht. Mengenai rsiko overmacht ini, KUHPerdata/BW mengaturnya secara berbeda-beda.

a. Pasal 1237 BW bahwa dalam hal perjanjian untuik memberikan sesuatu kebendaan, jika barang itu belum diserahkan kepada pihak yang berhak, kemudian barang itu musnah di luar kesalahan debitur (overmacht), maka musnahnya barang ditanggung oleh pihak yang akan menerima barang. Ini berlaku khusus untuk perjanjian yang bersifat sepihak.

b. Pasal 1264 BW menentukan bahwa apabila perjanjian yang di adakan adalah perjanjian dengan syarat tangguh, maka apabila terjadi kemusnahan barang yang diperjanjinakan, maka menjadi tanggungan pemilik barang, karena syarat perjanjian belum terpenuhi, karena masih ditangguhkan.

Sabtu, 04 Juni 2011

TEKNIK PERADILAN SEMU (BERPERSPEKTIF KEADILAN JENDER)




A. Pendahuluan

Para Sarjana lulusan pendidikan tinggi hukum sangat diharapkan untuk dapat mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan hukum yang didapat untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan masyarakat. Untuk itu mutu lulusan pendidikan tinggi hukum perlu terus ditingkatkan dengan teknik pendidikan pengajaran yang lebih berorientasi pada penggabungan kemampuan teori dan praktis. Tuntutan yang tinggi untuk mutu lulusan juga sangat diharapkan bagi sarjana hukum yang memiliki moralitas tinggi dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dengan penerapan hukum yang tidak didasarkan pada yuridis normative belaka, namun juga mempertimbangkan sisi lain dari penerapan hukum guna distribusi keadilan secara berimbang.

Pola pendidikan dan pengajaran yang berorientasi pada kemampuan praktik hukum mahasiswa adalah dengan menggabungkan pemahaman teori dan pemahaman praktik hukum secara riil yaitu dengan pendidikan yang berorinetasi pada latihan pemecahan permasalahan hukum yang ada di masyarakat. Dengan metode ini maka akan semakin mendekatkan mahasiswa kepada permasalahan riil yang ada di masyarakat, sehingga capaian untuk ‘menelurkan’ sarjana hukum yang mampu membantu memecahkan masalah di masyarakat akan terwujud. Seorang sarjana hukum pada hakikatnya adalah ‘dokter’ bagi penyembuhan atau pengikisan masyarakat lewat rekomendasi pemecahan masalah melalui berbagai cara. Mekanisme peradilan sendiri adalah salah satu media bagi penyelesaian permasalahan yang timbul di masyarakat.

Pendidikan tinggi hukum yang saat ini banyak didominasi dengan pola pendidikan satu arah atau ceramah, meskipun di berbagai perguruan tinggi kini juga sudah di gabungkan dengan metode diskusi terarah. Sedangkan pengajaran dengan menggabungkan kemampuan praktik hukum saat ini lebih banyak diarhkan berdasarkan rumpun perkara yang ada dalam cabang peradilan misalnya Praktik Hukum Pidana, Praktik Hukum Perdata dan Praktik Hukum PTUN, sedangkan pengajaran pada pendidikan tersebut dibatasi oleh masa pengajaran yang hanya berlangsung 14 (empat belas) Pertemuan sedangkan materi pengajaran yang diajarkan akan juga mengalami berbagai irisan dengan perkuliahan Hukum Acara meskipun dalam pengajaran Praktik hukum banyak diarahkan pada pemberkasan sedangkan pemahaman materi hukum sendiri bukanlah prioritas karena hal ini telah ada dalam perkuliahan tersendiri. Sedangkan pengajaran pada perkuliahan “materiil” tersebut kurang diarahkan pada pembelajaran kasus hukum yang terkini dan pemberian kesempatan kepada mahasiswa untuk menyelesaikan perkara yang ada dalam mekanisme peradilan dalam hal perkara tersebut dibawa ke pengadilan (moot court). Untuk itu pendidikan dan pengajaran peradilan seharusnya tidak saja diserahkan pada perkuliahan praktik hukum namun juga diterapkan pada perkuliahan lain sebagai media pemberian pemahaman yang lebih baik bagi mahasiswa.

Metode peradilan semu juga dapat dijadikan sebagai media bagi penyebarluasan pemahaman akan issue hukum atau mekanisme hukum terkini. Metode peradilan semu telah pula dijalankan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia dan Komnas Perempuan. Dalam kerjasama yang dilakukan selama lebih kurang satu tahun dengan penyelenggaraan kompetisi peradilan semu sebanyak tiga kali dengan tiga tingkatan yang berbeda[2], penyebarluasan akan pemahaman keadilan berperspektif Jender berhasil ditampilkan dengan baik oleh peserta berdasarkan komponen penilaian yang telah ditetapkan.

Kegembiraan tak terhingga saya lahir ketika diberitahu akan adanya kompetisi peradilan semu pidana berperspektif keadilan jender dilangsungkan di Yogyakarta. Terlebih penyelenggaran ini dilakukan pasca ditetapkannya UU tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga[3]. Dengan begitu saya sangat yakin, kompetisi akan lebih hidup dan mahasiswa akan menampilkan penampilan yang jauh lebih baik dar ang diselenggarkan di UI sebelumnya.

Dalam bagian-bagian selanjutnya, saya akan memaparkan berbagai hal yang berkaiatan dengan penyelenggaran atau keikutsertaan dalam kompetisi peradilan semu berperspektif Jender. Dimana tulisan ini dibuat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya yang masih sangat terbatas.


B. Teknik Pembuatan Berkas Peradilan Semu

Bahwa dalam kompetisi peradilan semu pembuatan berkas sangat penting dalam memberikan daya dukung bagi penampilan peradilan semu yang optimal, karena berkas ini dapat menjadi bahan acuan yang sangat baik bagi penampilan team. Untuk itu pembuatan berkas hendak mengacu pada pemberkasan sebagaimana yang terdapat dalam peraturan-perundangan yang berlaku atau pedoman pembuatan berkas yang berlaku dimasing-masing instansi dalam buku petujuk pelaksanaan/petunjuk teknis/petunjuk adminisrasi yang berlaku dalam tiap instansi atau lembaga penegakan hukum. Pentingnya pemberkasan yang sesuai dengan kaidah tersebut maka akan semakin mendekatkan penilain yang lebih bik dan penampilan teknis peradilan yang baik

1. Pembuatan Surat Dakwaan[4]

Posisi hukum surat dakwaan sangat penting proses peradilan pidana karena surat dakwaan memegang posisi sentral dalam proses penegakan hukum dan keadilan di pengadilan. Surat juga menjadi dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dituntut adanya kemampuan dan kemahiran mahasiswa yang memerankan jaksa dalam penyusunan surat dakwaan. Untuk itu pembahasan perihal surat dakwaan dilakukan diawal dalam pembahasan pembuatan berkas ini. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan yang lebih jauh seluk beluk surat dakwaan dan fuingsinya dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan.

a. Fungsi Surat dakwaan

Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan tombak dari pemeriksaan perkara di pengadilan yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Surat dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang terungkap dalam proses penyelidikan dan penyidikan akan terlihat dari suatu Surat Dakwaan. Dakwaan disusun dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana yang bersangkutan.

Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana, maka fungsi surat dakwaan dapat diatagorikan sebagai berikut:

1) bagi pengadilan/hakim, surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;

2) bagi penuntut umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;

3) bagi terdakwa/penasehat hukum, surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

b. Dasar Pembuatan Surat Dakwaan

Surat dakwaan adalah berkas yang dipersiapkan oleh Jaksa penuntut Umum sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada public atas penyerahan kekuasaan untuk menuntut yang diberikan oleh public kepadanya[5]. Dalam pasal 14 huruf d KUHAP ditetapkan bahwa yang berwenang membuat Surat Dakwaan adalah Penuntut Umum, sebagaimana disebutkan sebagai berikut:

Penuntut umum mempunyai wewenang:

d. membuat surat dakwaan;

Dalam pasal 137 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkaranya ke pengadilan. Dealam pasal 140 ayat 1 disebutkan bahwa pembuatan surat dakwaan dilakukan oleh penuntut umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan.

c. Syarat Surat Dakwaan

Syarat-syarat dalam pembuatan surat dakwaan terdapat dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP, yakni syarat yang berkaitan dengan tanggal, tanda tangan, dan identitas lengkap terdakwa. Hal tersebut dalam praktek disebut syarat formil surat dakwaan. Sesuai dengan bunyi pasal 143 ayat 2 huruf a KUHAP disebutkan bahwa syarat formil surat dakwaan meliputi :
surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan penuntut umum pembuat surat dakwaan;
Surat dakwaan harus memenuhi secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi : nama lengkap, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.

Selain harus memuat persyaratan formil sebagaimana disebutkan diatas, surat dakwaan juga harus memenuhi persyaratan materiil sebagaimana disebutkan dalam pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, yang meliput:
1. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;
2. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

- Uraian secara cermat berarti menuntut ketelitian jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan lalu diterapkan kepada terdakwa. Dengan menenpatkan kata cermat paling depan dalam rumusan pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, pembuat Undang-undang menghendaki agar JPU dalam membuat surat dakwaan selalu bersikap korek dan teliti.

- Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam surat dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik-baiknya. Dimana gambaran yang akan didapat oleh terdakwa adalah gambaran siapa yang melakukan tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan, kapan dan dimana tindak pidana tersebut dilakukan, apa akibat yang ditimbulkan dan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.

- Uraian secara lengkap, berarti surat dakwaan itu memuat semua unsure atau elemen tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan temapt tindak pidana dilakukan. Unsur-unsur tersebut harus terlukis dalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan.


Secara materiil surat dakwaan dipandang telah memnuhi syarat apabila surat dakwaan tersebut relah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang:


a) Tindak pidana yang dilakukan;
b) Siapa yang melakukan tindak pidana;
c) Dimana tindak pidana dilakukan;
d) Bilamana/kapan tindak pidana dilakukan;
e) Bagaimana tindak pidana dilakukan;
f) Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materiil)
g) Apa yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut (delik-delik tertentu);

h) Ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan.

Komponen-komponen tersebut diatas secara kasuistis harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang didakwakan (apakah tindak pidana tersebut termasuk delik materiil atau delik formil).

Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan suarat dakwaan, sedangkan syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi atau substansi surat dakwaan. Untuk keabsahan surat dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi.

Tidak dipenuhinya syarat formil akan menyebabkan surat dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedangkan dengan terpenuhinya syarat materiil menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolutnietig).

d. Bentuk Surat Dakwaan

Undang-undang tidak menetapkan bentuk surat dakwaan dan adanya berbagai bentuk surat dakwaan dikenal dalam perkembangan praktek. Adapaun bentuk surat dakwaan yang dikenal adalah sebagai berikut:

1) Tunggal

Dalam surat dakwaan ini hanya satu tindak piadan asaja yang didakwakan, tidak terdapat tindak pidana lain baik sebagai alternative maupun sebagai pengganti. Misalnya dalam surat dakwaan hanya didakwakan tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP).

2) Alternatif

Dalam bentuk ini surat dakwaan disusun atas beberapa lapisan yang satu mengecualikan dakwaan pada lapisan yang lain. Dakwaan alternative dipergunakan karena belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang akan dapat dibuktikan. Lapisan dakwaan tersebut dimaksudkan sebagai “jaring berlapis” guna mencegah lolosnya terdakwa dari dakwaan. Meskipun dakwaan berlapis, hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan, bila salah satu dakwaan terbukti, maka lapisan dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Contoh dakwaan yang disusun secara alternative:

Pencurian (pasal 362 KUHP) atau Penadahan (pasal 480 KUHP)

Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada lapisan dakwaan yang dipandang terbukti.

3) Subsidair

Bentuk dakwaan ini dipergunakan apabila satu tindak pidana menyentuh beberapa ketentuan pidana, tetapi belum dapat diyakini kepastian perihal kualifikasi dan ketentuan pidana yang lebih tepat dapat dibuktikan. Lapisan dakwaan disusun secara berurutan dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana teringan dalam kelompok jenis tindak pidana yang sama. Misalnya lapisan dakwaan disusun secara berurut:

Primer:

Pembunuhan Berencana (pasal 340 KUHP)

Subsidair:

Pembunuhan (338 KUHP)

Lebih Subsidair:

Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (pasal 355 ayat 2 KUHP)

Lebih Subsidair lagi:

Penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang (pasal 354 ayat 2 KUHP)

Lebih-lebih Subsidair lagi:

Penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 ayat 3 KUHP)

Persamaannya dengan dakwaan alternative adalah hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan, sedangkan perbedaannya pada system penyusunan lapisan dakwaan dan pembuktiannya yang harus dilakukan secara berurutan dimulai dari lapisan pertama sampai kepada lapisan yang dipandang terbukti. Setiap lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas disertai dengan tuntutan untuk dibebaskan dari dakwaan yang bersangkutan.

4) Kumulatif

Bentuk ini digunakan bila kepada terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dan tindak pidana tersebut masing-masing berdiri sendiri. Semua tindak pidana yang didakwakan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas disertai dengan tuntutan untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan yang bersangkutan. Persamaannya dengan dakwaan subsidair karena sama-sama terdiri dari beberapa lapisan dakwaan dan pembuktiannya dilakukan secara berurutan. Misalnya dakwaan disusun:

Kesatu : Pembunuhan (pasal 338 KUHP)
Kedua : Pencuruan dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP)

5) Kombinasi

Bentuk ini merupakan perkembangan baru dalam praktek sesuai perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya dalam modus operandi yang dipergunakan. Kombinasi/gabungan dakwaan tersebut terdiri atas dakwaan kumulatif dan dakwaan subsidair. Misalnya dakwaan disusun dengan sistematika sebagai berikut:


Kesatu:

Primer:
Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP)

Subsidair:
Pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP)

Lebih Subsidair:
Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (pasal 355 ayat 2 KUHP)


Kedua:
Perampoka/pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat 3 dan 4 KUHP)

Ketiga:
Perkosaan (pasal 285 KUHP)


e. Tips Pembuatan Surat Dakwaan

Teknik pembuatan surat dakwaan berkenaan dengan pemilihan bentuk surat dakwaan dan redaksi yang dipergunakan dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan

1) Pemilihan bentuk

Bentuk surat dakwaan disesuaikn dengan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal. Dalam hal terdakwa melakukan satu tindak pidana yang menyentuh beberapa perumusan tindak pidana dalam undang-undang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidan ayang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternative atau subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang berdiri sendiri, dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif.

2) Teknis Redaksional

Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta-fakta dan perbuatan tedakwa yang dipadukan dengan unsure-unsur tindak pidana sesuai perumusan ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga nampak dengan jelas bahwa fakta-fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsure tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. Perumusan dimaksud harus dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Uraian kedua komponen tersebut dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang efektif.

2. Pembuatan Surat Tuntutan

a. Format Tuntutan

Dalam penyusunan surat tuntutan pidana terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan semisal menempatkan surat dakwaan dalam bagian awal dan menempatkan hasil pembuktian yang telah dilakukan dalam tahap pembuktian kedalam analisa fakta maupun analisa yuridis. Adapun format umum dalam penyusunan surat tuntutan adalah sebagai berikut:

1) Bagian Pendahuluan

Dalam bagian ini JPU memberikan pernyataan pembuka sebagai bagian dari ungkapan terima kasih atas kepemimpinan hakim yang telah memimpin perkara ini dengan baik dan lancer sehingga tahap pembuktian berjalan dengan baik.

2) Surat dakwaan

Bagian ini adalah pemuatan surat dakwaan dalam tuntutan pidana yang diajukan. Penempatan surat dakwaan dalam surat tuntutan adalah sebagai upaya mengingatkan kembali seluruh pihak dalam perjara aquo perihal surat dakwaan yang telah diajukan diawal persidangan. Hal ini juga sekaligus bertujuan untuk menghubungkan seluruh proses yang telah dilakukan dalam berbagai persidangan terdahulu.

3) Fakta-fakta yang terungkap dipersidangan

Dalam bagian ini, diunkapkan berbagai fakta yang berjhasil terungkap dalam persidangan, dimana JPU mengungkapkan satu persatu fakta yang telah terungkap dalam tahap sebelumnya. Jadi bagian ini adalah upaya untuk mengungkapkan kepada khalayak bahwa terdapat fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sehingga perlu diungkapkan dalam penuntutan untuk mempersiapkan berbagai fakta atau alat bukti yang mendukung bagi pembuktian pasal-pasal yang telah didakwakan sebelumnya. Termasuk penempatan alat bukti lain selain alat bukti saksi, terdakwa dan keterangan ahli yang didengar dalam persidangan seperti misalnya terdapat alat bukti surat atau petunjuk yang diajukan ke persidangan. Juga diungkapkan perihal barang bukti yang telah diajukan ke muka siding.

4) Analisa fakta

Analisa fakta berisikan ekstraksi dari keseluruhan fakta yang telah terungkap dalam persidangan baik itu melalui alat bukti saksi atau alat bukti lain. Analisa fakta ini ditujukan untuk memudahlan dalam penyusunan analisa yuridis yang akan dibuktikan berdasarkan pasal-pasal dakwaan.

5) Analisa Yuridis

Dalam melakukan analisis yuridis inil, dibuktikan perihal unsure-unsur pasal dakwaan yang dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap dimuka siding. Dalam hal ini penjabaran unsur pasal dakwaan dilakukan secara cermat dan teliti jangan sampai ada unsure yang belum dibuktikan. Untuk metode pembuktian merujuk pada bentuk surat dakwaan yang dipilih (baca bagian bentuk surat dakwaan dalam bagian terdahulu)

6) Kesimpulan

Dalam bagian kesimpulan ini, JPU harus mengungkapkan kesimpulan yang diambil atas berbagai fakta yang terungkap dan berdasarkan analisis yuridis pasal-pasal dakwaan, dimana dalam kesimpulan termaksud dinyatakan apakah terbukti atau tidak pasal dakwaan yang diajukan dalam surat dakwaan aquo. Dalam bagian kesimpulan juga diungkapkan hal-hal yang memberatkan dan meringkan berdasarkan pengamatan ataupun fakta yang didapat dalam persidangan. Dalam bagain kesimpulan yang terakhir diungkapkan tuntutan yang diajukan JPU atas perkara aquo misalnya “Menuntut” dstnya.

7) Penutup

Bagian penutup ini adalah bagian untuk menutup keseluruhan isi tuntutan pidana yang telah diajukan sebelumnya dimana hal ini hanyalah pernyataan penutup atas proses persidangan yang telah dilakukan.

b. Hal-hal yang harus diperhatikan [6]

1) Faktor-faktor yang harus diperhatikan

Berikut ini adalah beberapa factor yang menjadi perhatian JPU dalam melakukan tuntutan pidana dimana berbagai hal yang diuraikan berikut ini dapat menjadi acuan dalam mepertimbangkan berat ringannya tuntutan pidana yang akan diajukan oleh JPU. Adapun hal yang harus menjadi perhatian tersebut, yaitu:

a) Perbuatan Terdakwa

(1) dilakukan dengan cara yang sadis
(2) dilakukan dengan cara kekerasan
(3) menyangkut kepentingan Negara, stabilitas keamanan dan pengamanan pembangunan
(4) menyangkut SARA


b) Keadaan Diri Pelaku Tindak Pidana

(1) sebab-sebab yang mendorong dilakukannya tindak pidana (kebiasaan, untuk mempertahankan diri, balas dendam, ekonomi dan lain-lain)
(2) Karakter, moral dan pendidikan, riwayat hidup, keadaan social ekonomi pelaku tindak pidana.
(3) Peranan pelaku tindak pidana
(4) Keadaan jasmani dan rohani pelaku tindak pidana dan pekerjaan
(5) Umur tindak pidana

c) Dampak Perbuatan Terdakwa

(1) menimbulkan keresahan dan ketakutan dikalangan masyarakat
(2) menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam dan berkepanjangan bagi korban atau keluarganya
(3) menimbulkan kerugian bagi Negara dan masyarakat
(4) menimbulkan korban jiwa dan harta benda
(5) merusak pembinaan generasi muda


2) Tuntutan Pidana

Dengan memperhatikan keadaan masing-masing perkara secara kasuistis, Jaksa penuntut umum harus mengajukan tuntutan pidana dengan wajib berpedoman pada criteria seagai brikut:

a) Pidana Mati

(1) Perbuatan yang didakwakan diancam pidana mati
(2) Dilakukan dengan cara yang sadis diluar perikemanusiaan;
(3) Dilakukan secara berencana;
(4) Menimbulkan korban jiwa atau sarana umum yang vital
(5) Tidak ada alasan yang meringankan

b) Seumur hidup

(1) Perbuatan yang didakwakan diancam pidana mati
(2) Dilakukan dengan cara yang sadis
(3) Dilakukan secara berencana;
(4) Menimbulkan korban jiwa atau sarana umum yang vital
(5) Terdapat hal-hal yang meringankan


c) Tuntutan pidana serendah-rendahnya ½ dari ancaman pidana, apabila terdakwa:

(1) Residivis
(2) Perbuatannya menimbukan peneritaan bagi korban dan keluarganya;
(3) Menimbulkan kerugian materi
(4) Terdapat hal-hal yang meringankan

d) Tuntutan pidana serendah-rendahnya ¼ dariancaman pidana yang tidak termasuk dalam ketiga butir sebelumnya.

e) Tuntutan Pidana bersyarat

(1) Terdakwa sudah membayar ganti rugiyang diderita korban;
(2) Terdakwa belum cukup umur (vide UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak)
(3) Terdakwa berstatus pelajar/mahasiswa/expert;
(4) Alam menuntut hukuman bersyarat hendaknya diperhatikan ketentuan pasal 14 f KUHP.


3. Upaya hukum oleh JPU

Jaksa sebagai wakil public idah selayaknya berupaya untuk melakukan upaya yang optimal dalam melakukan penuntutan tindk pidana yang terjadi, dalam hal ini terdaat beberapa hal yang harus enjadi perhatian dalam hal sikap JPU atas putusan yang diterbitkan oleh majelis hakim yaitu;

a) Upaya hukum banding diajukan ole JPU dalam hal-hal sebaai berikut:

(1) Dalam hal terdakwa mengajukan banding maka jaksa penuntut umum harus meminta banding agar masih dapat menggunakan upaya hukum kasus karena adanya ketentuan pasal 43 UU nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

(2) Putusan hakim kurang dari tuntuan piana mati atau seumur hidup atau sekurang-kurangnya 20 tahun penjara namun pertimbanganJPU diambilalih sebagan atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusannya maka JPU tidak harus mengajukan banding.

(3) Putusan hakim ½ dari tuntutan JPU namun apabila pertimbangan JPU dalam tuntutan diambil alih sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusnnya maka JPU tidak harus mengajukan banding.

(4) Putusan hakim 2/3 dari tuntutan JPU walaupun pertimbangan JPU dalam tuntutan tidak diambil alih sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusnnya maka JPU tidak harus mengajukan banding.

b) Upaya hukum kasasi digunakan oleh JPU dalam hal putusan akim dengan amar yang membebaskan terdakwa dan adanya alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 253 ayat 1 KUHAP.

4. Pembuatan Pembelaan

Dalam pembuatan pembelaan atas tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum dalam praktik maupun dalam teori tidak ditemukan standar baku dalam pembuatan pembelaan. Pembelaan dalam praktik diserahkan pada selera advokat sendiri, hal ini terjadi karena tidak terdapat ketentuan baku yang mengatur pembuatan surat pembelaan. Yang terpenting dalam pembuatan pembelaan untuk kepentingan terdakwa adalah upaya untuk membela kepentingan hukum terdakwa, yang meliputi pembelaan kepentingan terdakwa atas tuntutan jaksa yaitu dengan menanggapi analisis tuntutan JPU baik itu analisis yuridis maupun analisa fakta.

Dalam konteks peradilan berperspektif keadilan jender, peran advokat dalam hal ini sangat ini penting terutama dalam kaitannya melakukan pembelaan terhadap perempuan sebagai pelaku, dalam konteks ini advokat diharapkan dapat menmapilkan sisi lain diluar sisi yuridis baik itu sisi sosiologis maupun psikologis terdakwa. Untuk itu advokat dalam pembelaannya akan memiliki sudut pandang yang tidak semata-mata yuridis namun juga menampilkan hal-hal lain diluar yuridis. Hal inilah yang akan dinamakan sebagai hal penemuan hukum keadilan berperspektif jender.

5. Pembuatan Putusan

Dalam membuat Putusan pengadilan, seoraang hakim harus memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan berbagai hal yang yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai hal yang harus dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

Dalam hal tidak terpenuhinya semua ketentuan tersebut diatas akan berakibat putusan batal demi hukum. Untuk itu kesemua persyaratan yang tersebut diatas harus dicantumkan dalam putusan pemidanaan agar jangan sampai putusan yang akan dinilai tersebut menjadi tidak mengalami pengurangan nilai atau nilai yang akan diberikan juri menjadi tidak optimal.

Dalam pembuatan putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim, pertimbangan atas fakta dan pertimbangan yuridis sangat penting untuk dituliskan secara lengkap untuk kepentingan distribusi keadilan yang lebih baik. Dalam konteks peradilan tematik seperti kompetisi peradilan semu ini, maka pertimbangan akan penemuan keadilan berperspektif jender akan tergambar dari pertimbangan fakta dan yuridis. Selain itu juga amar putusan menjadi titik perhatian penting dalam putusan dan penilaian akan putusan untuk itu amar yang akan dijatuhkan selayaknya disesuaikan dengan pertimbangan fakta dan yuridis yang telah dipaparkan sebelumnya.

C. Penampilan Praktik Peradilan Semu

Dalam penampilan praktik peradilan semu pidana terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya adalah mekanisme pembuktian yang dalam hal ini adalah terkait dengan tata cara dan materi pengajuan pertanyaan. Sebelum memulai penampilan praktik peradilan semu, terlebih dahulu diperhatikan materi perkara yang akan ditampilkan oleh team peradilan semu. Misalnya dalam hal perkara yang akan diajukan adalah perkara pelanggaran HAM berat maka komposisi majelis hakim terdiri dari 5 orang anggota majelis hakim, sedangkan dalam dalam hal perkara pidana biasa maka majelis hakim cukup 3 orang (dalam hal perkara tersebut adalah termasuk dalam kualifikasi perkara pidana biasa), namun dalam hal perkara pidana yang diajukan dimuka sidang adalah terdakwa yang dibawah umur maka majelis yang memeriksa perkara adalah hakim tunggal. Khusus untuk perkara pengadilan anak amak hakim dan seluruh aparat penegak hukum yang memeriksa perkara ini tidak diperkenankan untuk mengenakan jubah hakim atau pakaian dinas harian lainnya atau seragam.

Dalam memulai persidangan maka pembukaan sidang didahului dengan kalimat pembuka yang dilakukan oleh panitera/panitera pengganti[7] dengan kalimat pembuka sebagai berikut:

“…Sidang Pengadilan Negeri (nama pengadilan negeri) yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan nomor register perkara (misalnya 123/Pid.B/PN Yogyakarta/2004) akan segera dimulai, majelis hakim akan memasuki ruangan sidang hadirin dimohon untuk berdiri…”.

Setelah pembukaan sidang dilakukan maka majelis hakim memasuki ruangan sidang yang selanjutnya mempersilahkah pengunjung untuk duduk yang dilanjutkan dengan membuka sidang, sebagai berikut:

“…Sidang Pengadilan Negeri (nama pengadilan negeri) yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan nomor register perkara (misalnya 123/Pid.B/PN Yogyakarta/2004) dengan ini dinyatakan dibuka dan terbuka/tertutup (untuk perkara dalam pengadilan anak dan perkara kesusilaan) untuk umum…”.

Setelah pembukaan sidang ini dilakukan, maka dilanjutkan dengan kepemimpinan ketua majelis hakim untuk memeriksa sidang pengadilan dengan urutan yang disesuaikan sebagaimana pengaturan dalam pasal-pasal yang dalam KUHAP.

Majelis hakim menanyakan identitas terdakwa, yang dilanjutkan dengan menanyakan keberadaan penasehat hukum/advokat. Pertanyaan ini dilanjutkan dengan menanyakan surat kuasa dan surat izin praktek beracara yang dibuktikan dengan kartu advokat. Selanjutnya hakim memerintahkan JPU untuk memulai membacakan surat dakwaannya yang didahului dengan permintaan kepada para saksi untuk sementara tidak berada dalam ruangan sidang (hal ini dipastikan kembali oleh majelis hakim pada saat memeriksa atau memita keterangan dari saksi. Hal ini dilakukan karena pada prisnipnya pemeriksaan terhadap saksi dilakukan dengan cara satu persatu).

Setelah surat dakwaan dibacakan maka dilanjutkan dengan menanyakan kepada terdakwa (melalui Penasehat hukumnya) apakah akan mengajukan eksepsi atau tanggapan atas surat dakwaan JPU. Bila terdakwa melalui PH-nya tidak mengajukan eksepsi maka dilanjutkan dengan pembuktian perkara. Bila terdapat ada eksepsi maka harus ada tanggapan dari JPU dan dilanjutkan dengan putusan sela. Pembuktian surat dakwaan diperoleh dari dukungan alat bukti yang sah (pasal 184 ayat 1 KUHAP). Dalam melakukan pembuktian perkara maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terutama materi pertanyaan yang selayaknya diajukan, yaitu sebagai berikut :

a. Keterangan Saksi

Dalam mengajukan pertanyaan untuk pembuktian terhadap saksi maka materi pertanyaan diarahkan pada materi pengetahuan, penglihatan ataupun berbagai hal yang dirasakan oleh saksi[8]. Sebelum diajukan pertanyaan maka saksi terlebih dahulu diperiksa identitasnya dan disumpah dengan lafal sumpah dan tata cara sumpah sebagai berikut:

1) Bagi saksi yang beragama Islam, maka petugas sumpah cukup memegang kitab Al Qur’an diatas kepala daripada yang mengucapkan sumpah. Lafadz sumpah yang dibacakan adalah :

”Wallahi atau (Demi Allah) saya bersumpah bahwa saya akan me nerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya”

2) bagi mereka yang beragama Kristen Protestan, maka selain menurut cara-cara agamanya, yakni dengan berdiri sambil mengangkatkan tangan sebelah kanan sampai setinggi telinga dan merentangkan jari telunjuk dan jari tengah sehingga merupakan bentuk huruf V, sedangkan untuk yang beragama Katolik dengan Merentangkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manis dengan mengucapkan sumpah yang bunyinya sebagai berikut:

“Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya, Semoga Tuhan Menolong saya”

3) bagi saksi yang beragama Hindu, berdiri sambil mengucapkan sumpah yang berbunyi sebagai berikut :

“Om Atah Parama Wisesa, Saya Bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya”

4) bagi saksi yang beragama Budha, berdiri/berlutut sambil mengucapkan sumpah yang bunyinya sebagi berikut:

“Demi Sang Hyang Adhi Budha, Saya Bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya”

5) Bila ada saksi yang berhubungan dengan kepercayaannya tidak bersedia mengucapkan sumpah, maka yang bersangkutan cukup mengucapkan janji sebagai berikut:

“Saya berjanji bahwa Saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya”.

Adapun pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal sebagai berikut:

à Ditanyakan kepada saksi mengenai kejadian dari tindak pidana tersebut yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, alami sendiri dengan menyebut alas an dan pengetahuan tersebut (Pasal 1 butir 27 KUHAP)

à Mengajukan pertanyaan kepada saksi yang difokuskan kepada pembuktian unsure-unsur tindak pidana. Untuk itu sebelum memformulasikan daftar pertanyaan maka terlebih dahulu diurai unsure tindak pidana yang didakwakan selanjutnya dikaitkan dengan fakta yang ada. Dan pertanyaan diarahkan kepada pembuktian unsure tersebut.

à Mengajukan pertanyaan yang bersifat persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain.

à Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain dan barang bukti.

à Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian adalah merupakan alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian/keadaan tertentu.

à Cara hidup kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan itu dipercaya.

à Penderitaan/ kerugian yang dialami atau diderita oleh saksi korban dan keluarganya akibat kejahatan tersebut.


b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan (pasal 1 angka 28 KUHAP). Dalam memeriksa keterangan ahli, maka ahli dapat disumpah dengan lafal sumpah yang sama sebagaimana saksi namun terdapat tambahan untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya. Adapun secara lengkap bunyi lafal sumpah yang diucapkan dalah sebagai berikut:

“Saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat, soal-soal yang dikemukankan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya”

Untuk saksi yang beragama Islam tentu saja diawali dengan “wallahi” atau Demi Allah, bagi yang berama Kristen diakhiri dengan kata-kata “semoga Tuhan Menolong Saya”. Bagi yang beraga Hindu diawali dengan “Om Atah Parama Wisesa” dan bagi yang beragama Budha diawali dengan “Demi Sang Hyang Adhi Budha”.

c. Surat

Alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat 1 huruf C KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah sebagaimana tersebut dalam pasal 187 huruf a, b, c, dan d KUHAP, sebagai berikut:

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

d. Petunjuk

Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa yang merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menendakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (pasal 188 KUAP). Lebih jelasnya redaksional Pasal 188 KUHAP, yaitu :

Pasal 188

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.


e. Keterangan Terdakwa

Terhadap diri terdakwa agar ditanyakan hal-hal sebagai berikut:

- Motivasi yang mendorong dan sebab-sebab lain yang menyebabkan terdakwa melakukan kejahatan tersebut;

- Keadaan diri dan lingkungan terdakwa pada saat terdakwa melakukan kejahatan.

Dalam persidangan tidak tertutup kemungkinan terdakwa akan mencabut keterangannya yang telah diberikan dihadapan penyidik, menghadapi hal tersebut perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut:

- Menghadirkan penyidik dalam persidangan guna diminta keterangannya untuk membuktikan bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai ketentuan Undang-undang;

- Membuktikan bahwa pencabutan keterangan tersebut tidak beralasan. Keterangan terdakwa dalam berita acara pemeriksaan pada tingkat penyidikan (diberikan diluar sidang) dapat digunakan membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat 2 KUHAP) kemudian digunakan sebagai sarana analisis yuridis dalam requisitoir/ surat tuntutan pidana. Perhatikan beberpa yurisprudensi berikut ini:

Putusan Mahkamah Agung RI Regno 117 K/Kr/1967 tanggal 20 September 1967 menyatakan bahwa pengakuan-pengakuan tertuduh I dan II dimuka polisi dan jaksa ditnjau dalam hubungannya satu sama lain dapat dipergunakan sebagai petunjuk kesalahan terdakwa.

Putusan MARI Regno 229 K/Kr/1959 tanggal 25 Februari 1959 menyatakan bahwa pengakuan terdakwa diluar sidang yang kemudaian dicabut disidang tanpa alas an yang mendasar merupakan petunjuk kesalahan terdakwa

Yurisprudensi lain yang berbunyi senada tedapat pula dalam Putusan MARI masing-masing Regno 225 K/Kr/1960 tanggal 25 Februari 1960, Regno 6 K/Kr/1961 tangal 25 Juni 1961 dan Regno 5 K/Kr/1961 tanggal 27 September 1961.

Kesemua putusan zaman HIR tersebut diatas masih relevan untuk digunakan dimana hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MARI regno 414 K/Pid/1984 tanggal 11 Desember 1984 yang menyatakan bahwa pencabutan keterangan terdakwa di persidangan tidak dapat diterima karena pencabutan keterangan tersebut tidak beralasan.

- Dalam hal tertangkap tangan yang telah diberikan dalam tahap penyidikan adalah pembuktian atas kesalahan terdakwa;

- Berita acara penerimaan dan penelitian tersangka yang membenarkan keterangannya dalam berita acara pemeriksaan penyidik setidak-tidaknya dapat berupa petunjuk tentang kesalahan terdakwa (Pasal 188 ayat 2 KUHAP).

f. Barang Bukti

Semua barang bukti yang ada kaitannya dengan tindak pidana dan telah disita secara sah diajukan dalam persidangan. Apabila terdapat barang bukti yang tidak dapat dibawa persidangan di pengadilan karena jumlahnya banyak dan demi pengamanan atau karena barang tidak bergerak agar dapat dimintakan kepada majelis untuk dilakukan sidang ditempat.

g. Penemuan Aspek Hukum berperspektif Keadilan Jender

Dalam kompetisi peradilan semu tematik, terdapat beberapa issue penting yang menjadi bagian penilaian dalam hal ini adalah penemua aspek hukum berperspektif keadilan jender. Dalam penampilan yang ingin diajukan beberapa argumentasi dan sikap yang dapat dikatagorisasi sebagai upaya untuk penemua aspek tersebut menjadi penilaian penting dalam role-playing ditampilkan. Adapun beberapa hal yang menjadi aspek penilaian untuk hal ini adalah sebagai berikut:

Pemilihan pasal yang memberi keadilan kepada perempuan, dalam hal ini adalah upaya pembelaan terhadap kepentingan hukum dari perempuan sebagai pelaku maupun perempuan sebagai korban. Dalam hal upaya optimal penegakan distribusi keadilan hukum yang lebih baik kepada perempuan baik sebagai pelaku maupun korban. Dalam hal ini digunakan pasal-pasal ketentuan perundang-undangan yang bersifat membela kepentingan hukum terdakwa/korban, misalnya penerapan UU Pengadilan Anak bagi pelaku dibawah umur, UU Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan CEDAW atau ketentuan perundang-undangan lainnya yang relevan.

Argumentasi yang mempertimbangkan keadilan kepada korban, dalam hal ini terkait dengan penggunaan perspektif keadilan yang akan dimajukan, dimana argumentasi baik dalam berkas yang diberikan ataupun secara oral memperlihatkan aspek perlindungan terhadap korban yang tidak semata yuridis namun juga aspek non yuridis.

Pemilihan Saksi, dalam pemilihan saksi ini terkait dengan kekuatan pembuktian perkara pidana yang diajukan atau pemilihan saksi yang akan meringankan yang bersifat yuridis maupun non yuridis dalam kerangka distribusi keadilan yang lebih baik kepada korban atau perempuan sebagai pelaku.

Pertanyaan2 yang dilontarkan kepada saksi, pertanyaan-pertanyaan yang dilontark tidak bersifat menekan, mengarahkan (perhatikan pasal 166 KUHAP) atau yang dapat mendiskreditkan baik posisi korban maupun perempuan sebagai pelaku.

Sikap aparat penegak hukum terutama ketika berinteraksi dengan korban, apakah mempertimbangkan aspek psikologis korban. Hal ini sekilas memiliki bobot yang sama dengan penjelasan sebelumnya namun hal ini yang ditonjolkan adalah sikap bukan dalam bentuk oral tapi gerak tubuh.

Apakah ada pendamping untuk korban (khususnya dalam kasus kesusilaan, kehadiran pendamping sangat penting. Pendamping dalam hal ini adalah pengacara, psikolog atau pekerja social). Dalam perkara tertentu perlu adanya pendamping korban yang akan membantu pengungkapan fakta peradilan dalam peradilan semu yang akan dilakukan. Dalam hal ini peran pendamping tidak saja berperan dalam menenangkan sisi psikologis korban namun sekaligus membantu menerjemahkan pertanyaan kepada korban sehingga pertanyaan dapat dimengerti dengan baik oleh korban.

Peka terhadap argumentasi di persidangan yang menyudutkan korban dan melakukan counter terhadap pertanyaan-pertanyaan yang merugikan korban tersebut kuasa hokum terdakwa yang menyudutkan korban. Dalam hal ini adalah upaya pengajuan keberatan atas pertanyaan atau sikap yang diajukan pihak lain (lawan) yang terindikasi menekan, mengarahkan atau mendiskreditkan korban atau perempuan sebagai pelaku.

h. Teknik Penggunaan Palu

Dalam persidangan semu peran ketua majelis hakim sangat vital dalam memperlancar proses peradilan, dimana termasuk penggunaan palu agar dilakukan secara efektif dan optimal digunakan untuk menjaga ketertiban dan kelancaran proses peradilan semu ditampilkan. Berikut ini adalah penggunaan ketukan palu yang lazimnya digunakan dalam persidangan:

Dalam membuka (persidangan pertama) dan menutup (persidangan terakhir) sidang maka ketukan palu yang digunakan adalah tiga kali ketukan.

Dalam menunda sidang dan membuka sidang tunda maka ketukan palu yang digunakan adalah cukup satu ketukan saja. Dalam hal menetapkan putusan yaitu setelah dibacakan amar putusan maka ketua majelis mengetukan palu sekali untuk menetapkan amar tersebut.

Dalam hal terjadi kericuhan atau ketua majelis perlu menenangkan pengunjung sidang sekaligus upaya untuk menarik perhatian pengunjung sehingga mendengar peringatan majelis, Ketua majelis dapat mengetukan palu berulang kali (lebih dari tiga). Namun cara ini agar dilakukan sebagai upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh ketua majelis dalam hal mutlak perlu dilakukan.

D. Penutup

Demikianlah sekelumit paparan yang dapat saya sampaikan semoga dapat bermanfaat dalam melakukan praktik peradilan semu, dan hal ini dapat menjadi masukan bagi seluruh team dalam menampilkan peradilan semu tematik yang akan dikompetisikan. Adapun tulisan ini juga tetap dapat digunakan untuk melakukan praktik peradilan semu yang bersifat umum atau pidana umum (non tematik), atau juga dapat digunakan dalam perkuliahan praktik hukum pidana.

------- Selamat Berkompetisi-------