Rabu, 04 April 2012

Hapusnya Hukuman dalam Perspektif hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram ). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash, Hudud, Ta’zir “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.

B. Batasan Masalah
. Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah Hapusnya hukuman, hukuman apa saja yang di hapuskan dan sebab-sebab hapusnya hukuman .

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
Mengetahui jenis hukuman, alasan penghapusan hukuman beserta macam dan hikmahnya.

BAB II
HAPUSNYA HUKUMAN


1. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa atau Keputusan yang dijatuhkan Hakim”. Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi.
Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.

2. Macam-Macam Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana.
a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al- Qur’an dan al-Hadist. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian:
 Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
o Hukman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu.

b. Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat yaitu:
• Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang sal bagi suatu kejahatan , seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.
• Hukuman pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang menempati empat pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum diyat bagi pembunuh yang sudah di maafkan qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan.
• Hukuman tambahan (Al-‘Uqubah Al-Thaba’iyah), yaitu: hukuman yang dijatuhkan pada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
• Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan.

Jinayah atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
a. Jarimah Hudud,
b. Jarimah Qishash
c. Jarimah Ta’zir


3. Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan

4. Macam Hukuman Yang tidak Bisa Dihapuskan Dan Yang Bisa Dihapuskan.
4.1. Hukuman Yang Tidak Bisa Dihapuskan
- Jarimah Hudud.
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah:
o Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu berturut-turut tanpa uzur syar’i sesudah dinasihatkan.
o Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.
o Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah.
o Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum kahwin, dirajam sampai mati pada penzina yg sudah kawin.
o Hukuman rotan 80 kali kepad orang yang menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup.
o Rotan 80 kali untuk peminum arak

4.2. Hukuman yang bisa dihapuskan
a. Jarimah Qishosh Diyat.
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain:
- pembunuhan sengaja
- pembunuhan semi sengaja
- pembunuhan keliru
- penganiayaan sengaja
- penganiayaan
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, ” Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
b. Jarimah Ta’zir.
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas).
Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu:
i. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, baik itu shubhat fi al fi’li, fi al fa’il, maupun fi al mahal, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
ii. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
iii. Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

Dilihat dari haknya hukuman ta’zir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta’zir adalah pengausa atau imam namun diperkenankan pula untuk:
1) Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepada anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
2) Majikan; seorang majikan boleh menta’zir hambanya baik yang berkaitan dengan hak dirinya maupun hak Allah.
3) Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istrinya. Apbila istrinya melakukan nusyuz.

Hukuman hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta’zir antara lain:

1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.

2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.

4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, “Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah.”
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.”

7. Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, “Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman.” Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.

c. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
1. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya.
2. Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.
Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.
3. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.

4. Di Bawah Umur
Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.
Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kdua perkara tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir.
Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan hukuman hadd. Sementara qishosh berada pada posisi diantara hudud dan ta’zir dalam hal beratnya hukuman. Ta’zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara jnis-jenis hukuman yang lain.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat dihapuskan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan

R E S I D I V E ( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)

1. PENGERTIAN
Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( MKHT) atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putrusan Pengadilan yang MKHT.
Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :

1. Sistim Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.

2. Sistem Residive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.

2. MENURUT KUHP
Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus.

a. Residive Kejahatan.
Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu dalam residive tersebut tidak sama, misalnya :
i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun ;
ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
iii. Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.

b. Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.

Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan.

3. RECIDIVE DI LUAR KUHP
Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-Undang:
i. Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85, dan pasal 87;Tenggang waktu lima tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga
ii. Tindak Pidana Psikotropika (UU No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana ditambah sepertiga.

GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA

A. GUGURNYA KEWENAGAN MENUNTUT.
Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :
a. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP)
b. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
c. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)
d. Daluwarsa (pasal 78 KUHP)
e. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP).
Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :
a. Abolisi
b. Amnesti
Delik Aduan.
Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan kehendak perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319) dan lain-lain.
I. 1. Bentuk Delik Aduan
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk :
a. Delik Aduan Absolut
Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu melebihi kerugian yang diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan kepadanya untuk mencegah atau memulai suatu proses penuntutan.
Misal :
Seorang perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi laki-laki yang menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana.
Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia), pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau pasal 369 (pengancaman).
b. Delik Aduan relative
Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan melainkan pada hubungan antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan karena keturunan / darah atau dalam hal hubungan perkawinan. Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).
II.2. Yang berhak mengadu (subyek).
Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP menentukan :
1) Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72) :
• Oleh wakil yang sah dalam perkara perdata;
• Wali pengawas / pengampu
• Istrinya
• Keluarga sedaraj garis lurus
• Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3

2) Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :
• Orang tuanya
• Anaknya, atau
• Suami / istri (kecuali ybs tidak menghendaki).
Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya :
 Untuk perzinahan (pasal 284).
Yang berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73 diatas tidak berlaku).
Penarikan kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama pemeriksaan dalam siding pengadilan belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal 75 KUHP tidak berlaku.
 Untuk melarikan wanita (pasal 332)
Yang berhak mengadu :
 Jika belum cukup umur oleh : wanita ybs, atau orang yang harus memberi ijin bila wanita itu kawin
 Jika sudah cukup umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.

II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74)
a. Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui
b. Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan.
II.4. Penarikan kembali aduan.
Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan penuntutan dilakukan secara final. Memang selayakanya pengaduan mencakup pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya jaksa penuntut umum tak perlu menunggu lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan (pasal 75). Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik kembali, maka kewenangan menuntut menjadi hapus.
B. NE BIS IN IDEM (PASAL 76)
Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering juga digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for tha same offerice”.
Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
a) Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara);
b) Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.
Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub 1) sbb :
“Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.
Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi syarat-syarat sbb :
 Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
 Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan adalah sama;
 Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.

Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.

B.1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :
I. Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP (dulu 313 RIB).
II. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP (dulu 314 RIB);
III. Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).

Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya :
a. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;
b. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
c. Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.

Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapan-penetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusan-putusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi keputusan mengenai hukum pidana.
Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini tidak merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata. Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara pidana.
Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan hakim Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini disebut dalam pasal 76 (2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :
a) Putusan yang berupa pembebasan;
Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi. Dalam pengertian “telah dijalani seluruhnya” putusan hakim asing itu, menurut Pompe termasuk pidana bersyarat (V.V. = voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I. = voorwaardelijke invrijheidstelling).
b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum;
Orang yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya A dibebaskan.
c) Putusan berupa pemidanaan :
- Yang sekuruhnya telah dijalani, atau
- Yang telah diberi ampun (grasi), atau;
- Yang wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.

B.2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb is in idem (objective identiteit). Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan tindak pidana.
Misal :
A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya menuntut berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah putusan yang pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is in idem)?
Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan “feit”. Kalau kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, sehingga dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan adanya satu kali penuntutan saja.
Catatan :
- Apabila dipandang sebagai concursus realis, maka tidak ada neb is in idem;
- Apabila dipandang sebagai concursus idealis, maka ada neb is in idem;

Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada tahuan 1932, yaitu dengan Arrest HR 27 Juni 1932.
Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum, telah memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugasnya.
Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2), kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut hukum pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat diterima.
Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping berlkaitan erat de4ngan masalah concursus, juga berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam tuduhan dapat meliputi masalah :
a. Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar :
Misal : perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :
1) Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338),
2) Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359),
3) Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).
b. Waktu terjadinya tindak pidana
Misal seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan unutk “merubah surat tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
Misal semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian dibebaskan. Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro. Disinipun ada neb is in idem.
Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah menjadi “strafbaar feit”. Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih mudah. Namun diakui bahwa itu berarti menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya kemungkinana penuntutan kembali menjadi longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan kepentingan umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang pidana dengan setepat-tepatnya.
C. MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA TERPIDANA (PASAL 83).
Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu tanggungjawab pidana diwariskan. Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa kematian seorang tersangka atau terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa penuntut menjadi gugur. Sementara kematian seseorang terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan.
D. DALUWARSA (VERJARING).
D.1 Daluwarsa Penuntutan.
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh beberapa pemikiran yaitu :
 Dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan pembalasan.
 Berjalannya waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan kesulitan pembuktian.
 Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non (simper) necesse est (menghukum tidak selamanya perlu) menajdi dasar dari keberadaan lembaga ini.
D.1.1. Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan.
Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1), yaitu :
• Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun;
• Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun : daluwarsanya sesudah 6 tahun;
• Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun;
• Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18 tahun.
Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang menyangkut vorduurende delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur dalam pasal 79 adalah :
- Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu setelah uang dipakai atau diedarkan;
- Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), daluwarsa dihitung keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau ditemukan meninggal dunia;
- Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data tersebut dimasukkan dalam catatan register.
D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.
a. Pencegahan (stuiting).
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga tindakan-tindakan pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara ke siding, mendakwa / mengajukan tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) mulai berjalan tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung.
b. Penangguhan (scorsing).
Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan (schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
D.2. Daluwarsa Pemidanaan.
Sama dengan daluarsa penuntutan maka landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan didasarkan kepada dua hal yaitu :
1. dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga menghapuskan keinginan unutk melakukan pembalasan
2. bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.
D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84 (2), yaitu :
 untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.
 Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya 5 tahun.
 Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat pasal 78 ) ditambah sepertiga.
Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :
“tidak ada daluwarsa untuk kewenangan mejalankan hukuman mati”.
Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim yang inkracht van gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). Pada umumnya memang putusan hakim yang berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstek-vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa).
D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Pemidanaan.
a. pencegahan (stuiting)
pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan / mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :
1) Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana.
Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah melarikan diri.
2) Jika pelepasan bersyarat dicabut
Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang sama sekali (tidak dihitung).
b. penagguhan (schorsing).
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu :
 selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan), walaupun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
A. Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP.
E.1. Grasi.
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs. Keputusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi / diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat berupa :
• Tidak mengeksekusi seluruhnya,
• Hanya mengeksekusi sebagian saja
• Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan, kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara seumur hidup.
Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan dan yang bila (secara memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri.
Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
I. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;
II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6 ayat (3)).
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada Presiden. Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, penagdilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Preisden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
E.2. Amnesti.
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi).
Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik.
E.3. Abolisi.
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah dimulai.

ALASAN / DASAR PENGHAPUS PIDANA (Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)

Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka UU pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana.
Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :
1) Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
2) Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Bab I dan Bab II KUHP memuat : “ Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana”. Pembicaraan selanjutnya akan mengenai alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”.
M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
• Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni :
a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP)
b. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
• Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu:
a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48);
b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249);
c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);
d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);
Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga mengadakan pembedaan sendiri, ialah :
1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal :
I. Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri dst………………………………………” Pasal 164 dan 165 memuat ketentuan : bila seseorang mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan Negara dan Kepala Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.
II. Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya”. Disini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana :
a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.


ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP.
Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.
TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) :
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak didalam si pembuat sendiri.
Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab mengahpuskan kesalahan mekipun perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindakpidana ternyata tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan catatan medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka persidangan. (Mengenai pasal 44 KUHP ini hendaknya dilihat lagi Bab Kemampuan Bertanggung jawab yang membahas tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana).

DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP).
Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat.
Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam du hal :
1. vis absoluta (paksaan yang absolut).
2. vis compulsive (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda (pasal 406 KUHP).
Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relative (vis complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena penagruh daya paksa”).
Contoh :
A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus ada keseiombangan.
Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
Paksaan Dario dalam :
Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26 Juni 1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya keberatan tetap dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima puluhan ada perubahan pandangan.
 Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa kemungkinannya masuk kedalam alasan penghapusan pidana yang umum.
 Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat sampai di mana si pembuat dapat di cela atas perbuatannya.
KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 KUHP).
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand (pasa; 52 SGB) dan keadaan darurat disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB.
Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :
I. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :
Contoh klasik : “papan dari carneades”.
Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari CICERO).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
II. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Misal :
1. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.
2. Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan penutupan took sudah jam tutup took, sehingga pemilik took dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesame (Arrest ini disebut Arrest optician).

III. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum :
a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya.
Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :
• Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara)
• Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.
Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara tinggi membebaskannya karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 November 1916).
b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua tempat, VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand sebagai berikut :
Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia dororng oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap undang-undang.
BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER (PASAL 49 AYAT (1)).
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”. Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP sehingga untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli hukum pidana .
Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok :
1. adanya serangan,
Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. melawan hukum
b. seketika dan langsung
c. ditujukan pada diri sendiri / orang lain
d. terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda
2. ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Syarat pembelaan :
a. seketika dan langsung
b. memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.

Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk dimiliki sendiri.
Persoalan yang timbul pada serangan ialah : kapankah ada serangan dan kapankah serangan itu berakhir ?
Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka perbuatan A tersebut, yakni menunggu belum dapat dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada dan kapan serangan itu berlangsung menurut Hazewinkel-Suringa, ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah mengancam seketika dan langsung berarti bahwa serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sebagai contoh : pembunuh dengan pisau terhunus menyerbu korbannya.
Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak menunjukkan akan menembak lagi, tetapi B lalu membalas, maka perbuatan b itu bukanlah perbuatan pembelaan karena terpaksa, karena disini terjadi serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus dilihat dalam keadaan yang menyertai perbuatan itu. Terhadap serangan yang tidak melawan hukum tidak mungkin ada pembelaan darurat.
Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat ?
1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.
2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.
3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative (pasal 49 ayat (1)).
4. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan pembenar, sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum.
Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebut putatief noodweer, disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia berada dalam keadaan di mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka harus diterangkan dalam proses verbal.
BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL 49 AYAT 2 KUHP)
(pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”.
Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai berikut :
1. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas seperti yang diisyaratkan dalam pasala 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu mempunyai hubungan yang erat, maka syarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat (1) disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap.
3. kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya.
Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum.
MENJALANKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG (PASAL 50 KUHP).
Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mula-mula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit, yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hala ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.
Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat dijumpai adannya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.
Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar. Kadang-kadang dalam melaksanakan peraturan undang-undang dapat bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini dipakai pedoman : “lex specialis derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Yang diperbolehkan adalah tindakan eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.

MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)).
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana. Colonel polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Bilamanakah perintah itu dikatakan sah ? apabila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan. Anatar orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan), meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51 inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.
Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :
1. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.
2. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.
Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.
Contoh lainnya :
Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa perintah itu tidak sah.
Catatan :
Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan).
Contoh lainnya :
Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.


ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.
Dimuka telah dibicarakan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :
a. hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
b. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);
c. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);
d. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
e. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);
f. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada arrest susu dan air).
ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN AVAS.
Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Dapatkah orang tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana, apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP / CONCURSUS)

Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang, melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pada orang tersebut, di mana untuk tindak pidana itu belumada putusan hakim diantaranya dan terhadap perkara-perkara pidana itu akan diperiksa serta diputus sekaligus.
I. BEBERAPA PANDANGAN.
Ada dua kelompok pandangan mengenai persoalan concursus :
1. Yang memandang sebagai masalah pemberian pidana a.l Hazewinkel- Suringa
2. Yang memandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana a.l : Pompe, Mezger, Moelyatno.


II. PENGATURAN DIDALAM KUHP
Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari :
1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling) pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71.
III. PENGERTIAN
1. Menurut rumusan KUHP :
Sebenarnya didalam KUHP tidak ada definisi mengenai Concursus, namun demikian dari rumusan pasal-pasal diperoleh pengertian sbb :
 Concursus Idealis, pasal 63 (suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.
 Ada perbuatan berlanjut, apabila pasal 64
Seseorang melakukan beberapa, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Catatan : Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada (concursus realis dan perbuatan berlanjut) narus belum ada keputusan hakim.
2. Menurut pendapat sarjana :
Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam pasal-pasal di atas menimbulkan masalah yang cukup sulit, khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan perbuatan. Kesulitan ini timbul karena dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, “perbuatan” (feit) itu ada meninjaunya secara materiil, secara fisik jasmaniah, yaitu dipikikan terlepas dari akibatnya, terlepas dari unsur-unsur tanbahan (dikenal dengan jaran feit materiil), dan ada pula yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang dihubungkan dengan danya akibat / keadaan yang terlarang.
Sehubungan dengan kesulitan itu, maka para sarjana mengemukakan beberapa pendapat :
HAZEWINKEL-SURINGA
Ada concursus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain.
Misal : perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281 (melanggar kesusilaan di muka umum).
POMPE
Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh dengan anak sendiri yang belum berusia 15 th, perbuatan ini masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belim berusia 15 tahun diluar perkawinan).
TAVERNE
Ada concursus Idealis , apabila :
- Dipandang dai sudut hukumpidana ada dua perbuatan atau lebih;
- Antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama lain.
Contoh : Oranga dalam keadaan mabuk mengendarai mobil diwaktu malam tanpa lampu. Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu “mengendarai mobil”, tetapi dilihat dari sudut hukumada dua perbuatan yang masing-masing dapat dipikirkan terlepas satu sama lain, yaitu:
Pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan mabul” (menggambarkan keadaan orang / pelakunya) dan kedua “mengendarai mobil tanpa lampu diwaktu malam” (menggambarkan keadaan mobilnya). Jadi dalam hal ini ada Concursus Realis.
VAN BEMMELEN
Ada Concursus Idealis, apabila :
- Dengan melanggar satu kepentingan hukum.
- Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.
Contoh : Perkosaan dijalan umum (melanggar pasal 285 & 281 KUHP). Khusus mengenai penjelasan M.v.T mengenai criteria untuk adanya “perbuatan berlanjut” seperti dikemukakan diatas, Simons tidak sependapat. Mengenai syarat “ ada satu keputusan kehendak”, Simons mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu “tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap kejahatan”. Berdasar pengertian yang luas ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan itu sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan tujuan. Misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh.
IV. SISTEM PEMBERIAN PIDANA / STELSEL PEMIDANAAN
1. Concursus Idealis (pasal 63).
a). Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.
Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).
Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.
b). Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
c). Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.
d). Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali” Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.
2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b). Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun) kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 tahun penjara
c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
a. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal :
 A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam.
 A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masing-masing kejahatan tersebut.
b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak.
Misal :
1). A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara.
Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan.
2). Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- ? mengenai hal ini ada dua pendapat :
- Menurut Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-;
- Menurut blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimumnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka 6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- (atau dibulatkan menjadi Rp. 334,-_
- Perhitungan blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih didasarkan pada perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut UU No. 18 tahun 1960.
- Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung sama dengan satu hari kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3) maksimum kurungan pengganti 6 bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya kurungan penggantinya 6 bulan.
- Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka 1 hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,- kurungan penggantinya sama dengan 134 hari (dibulatkan).
- Dengan demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum 8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76.
3). Bagaimanakah dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351 (diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360 (diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan ?
Dalam hal ini hakim harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat (pasal 65).
c. Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi. Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
d. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal :
 A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi).
 Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.
e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”.
Misal :
A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
 Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);
 Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);
 Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);
 Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).
Kemudian A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (pasal 372 yang diancam pidana penjara 4 tahun), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.
Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi pasal 71 diatas dirumuskan secara singkat sbb :
Putusan ke II = (putusan sekaligus) – (putusan ke-I).