Minggu, 05 Juni 2011

HUKUM PERDATA (PERIKATAN/PERJANIIAN)



PERTEMUAN I

ISTILAH, PENGERTIAN, HUBUNGAN, MACAM-MACAMNYA, PENGATURAN, DAN SUMBER-SUMBER HUKUM PERIKATAN



A. Referensi :

1. KUHPerdata
2. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang lahir dari Perjanjian, 1995.
3. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXIII, 1991.
4. M. Yahya harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, 1986.

B. Istilah Perikatan/Perjanjian

Istilah perikatan yang dijumpai dalam literatur berbahasa Indonesia dan Buku III KUHPerdata merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Verbintenis”, sementara istilah Verbintenis itu sendiri merupakan salinan dari istilah “Obligation” dalam Code Civil Perancis yang selanjutnya merupakan pula terjemahan dari perkataan “Obligatio” sebagaimana ditemukan dalam Hukum Romawi Corpus Iuris Civilis.

Namun, penggunaan istilah perikatan sebagai terjemahan dari istilah Verbintenis belum mendapat kesepakatan di antara para Sarjana Hukum di Indonesis. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan menerjemahkan Verbintenis dengan istilah “Perutangan”, Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan Verbintenis menjadi “Perjanjian”, sementara Overeenkomst oleh Wirjono Prodjodikoro diterjemahkan menjadi “Persetujuan”. Dengan demikian, di dalam literatur Hukum berbahasa Indonesia terdapat 3 macam terjemahan dari istilah Verbintenis yaitu : Perikatan, Perutangan, dan Perjanjian.

Hofmann menerjemahkan istilah Verbintenis menjadi “Perikatan” karena pada hakikatnya dalam Verbintenis, kedua belah pihak terikat untuk saling melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Sri Soedewi M.S. mengatakan bahwa Verbintenis diterjemahkan menjadi “perutangan” karena perikatan pada hakikatnya mengandung isi hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, sedangkan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian, pihak yang dituntut (berkewajiban) merupakan pihak yang berutang, sedangkan pihak yang berhak menuntut (berhak) merupakan pihak yang berpiutang.

Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan Verbintenis menjadi Perjanjian karena Verbintenis mengandung (berisi) kesepakatan, di mana pihak yang satu myetujui/menyepakati untuk menyerahkan, melakukan, dan tidak melakukan sesuatu, sementara pihak lain menyepakati untuk menerima kehendak pihak yang satu tadi. Kesepakatan dan persetujuan itulah yang diistilahkan “perjanjian”.

Dari ketiga istilah tersebut, penulis lebih cenderung menerima istilah perikatan sebagai terjemahan dari istilah Verbintenis, karena pada hakikatnya dalam Verbintenis mengandung/berisi kewajiban salah satu pihak atau kewajiban dua belah pihak untuk memenuhi apa yang telah disepakati sebelumnya atau apa yang telah menjadi ketentuan undang-undang.

C. Pengertian Perikatan

Dalam Buku III BW Tentang Perikatan, Bab Kesatu tentang Perikatan-perikatan Umumnya, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-ketentuan Umum, khususnya pada :

1. Pasal 1233 BW berbunyi “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.

2. Pasal 1234 BW berbunyi “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Dari kedua pasal tersebut tidak ditemukan penjelasan tentang pengertian perikatan itu sendiri, sekalipun perikatan dinyatakan bersumber dari perjanjian, untuk itu perlu dikemukakan pasal BW yang mengatur tentang pengertian perjanjian untuk menelusuri apakah dalam pasal tersebut ditemukan tentang pengertian perikatan.

3. Pasal 1313 BW berbunyi “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pasal 1313 BW ini pada hakikatnya merupakan pasal yang memberikan pengertian tentang “perjanjian” bukan mengenai pengertian “Perikatan”, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam BW tidak ada satu pasalpun yang memberikan pengertian tentang perikatan, oleh karena itu pengertian perikatan diserahkan kepada Ilmu Hukum, sehingga para sarjana Hukum mencoba mendefinisikan perikatan sesuai persinya masing-masing.

1. R.M. Suryodiningrat (1985 : 14) mengartikan bahwa “Perikatan ialah ikatan dalam bidang hukum benda (vermogens rechts) antara dua orang atau lebih, di mana satu pihak berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban untuk melaksanakannya”.

2. R. Subekti (1982 : 122) mengartikan bahwa “Perikatan sebagaimana dimaksud Buku III BW ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedang orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

3. Achmad Kuzari (1995 : 1) mengartikan bahwa “Dua pihak subjek hukum, biasanya dua orang apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dalam kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan”.

4. Hoffmann yang terkutip dari R. Setiawan (1978 : 2) mengartikan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian”.

5. Pittlo yang terkutip dari R. Setiawan (1978 : 2) mengartikan bahwa “Perikatan sebagai hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”.

6. Riduan Syahrani (1992 : 203) mengartikan bahwa “perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi itu (debitur)”.

7. Abdulkadir Muhammad (1992 : 6) mengartikan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena, perbuatan, peristiwa atau keadaan”.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perikatan itu mempunyai lapangan yang sangat luas, yaitu bisa di dalam lapangan hukum harta kekayaan (harta benda) seperti jual-beli, wakil tanpa kuasa (zaakwarneming), lapangan hukum keluarga seperti perikatan karena perkawinan (lahirnya anak), lapangan hukum waris seperti mewaris karena kematian, membayar utang pewaris, lapangan hukum pribadi seperti perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya dan sebagainya.

Namun, perikatan yang dibahas dalam Mata Kuliah Hukum Perdata III semata-mata perikatan yang terjadi di dalapangan harta kekayaan (harta benda), baik perikatan yang lahir dari perjanjian, lahir dari undang-undang, dan sedikit menyinggung perikatan moral atau perikatan alamia menurut istilah J. Satrio serta perikatan yang lahir karena putusan pengadilan.

D. Hubungan Antara Perikatan dengan Perjanjian

Hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan, perjanjian adalah sumber perikatan. Dengan demikian, perjanjian antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian menimbulkan hubungan hukum karena dengan perjanjian itu, memberi hak kepada yang satu, dan kewajiban pada pihak yang lainnya yang disebut perikatan.

E. Macam-macam Perikatan

1. Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadinya.

a. baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu. Perikatan semacam ini disebut perikatan dengan syarat tangguh. Artinya, nanti betul-betul peristiwa itu terjadi barulah lahir perikatan. Contoh, saya akan menyewakan rumah saya apabila saya jadi pindah ke luar negeri.

b. maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Perikatan semacam ini disebut perikatan dengan syarat batal. Contoh, persewaan rumah saya akan berakhir apabila anak saya jadi pindah dari luar negeri.

2. Perikatan dengan ketetapan waktu, yaitu perikatan yang ditetapkan dengan waktu tertentu. Jadi perikatan ini tidak menangguhkan lahirnya atau batalnya perikatan, melainkan menentukan lamanya jangka waktu berlangsungnya perikatan. Contoh, saya akan menjual sawah saya jika sudah panen atau saya akan menjual sapi saya setelah beranak. Peristiwanya akan terjadi dan pasti akan terjadinya.

3. Perikatan mana suka, yaitu perikatan yang dimana debiturnya diberi pilihan untuk menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian sebagai pelunasan hutangnya. Tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang satu dan sebagian dari barang yang lainnya.

4. Perikatan tanggung-menanggung, perikatan yang debiturnya banyak dan di antara debitur-debitur itu tanggung-menanggung atas utang-utangnya, akan tetapi apabila ada di antara debitur melunasinya, maka tanggungan debitur lainnya ikut lunas.


5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi, yaitu perikatan yang objeknya dapat dibagi atau tidak dapat dibagi untuk melunasi utang. Contoh yang dapat dibagi yaitu penyerahan hasil penen, sedangkan yang tak dapat dibagi yaitu penyerahan seekor kuda/sapi.

6. Perikatan dengan ancaman hukuman, yaitu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti dari penggantian kerugian apabila perikatannya tidak dipenuhi.

F. Pengaturan Hukum Perikatan

Hukum Perikatan diatur dalam Buku III BW dengan judul “van Verbintenis (Tentang Perikatan) yang terdiri dari 18 Bab; tiap-tiap bab dibagi lagi menjadi bagian-bagian. Dari 18 bab ini diklasifikasikan menjadi ketentuan-ketentuan umum dan ketentuan-ketentuan khusus dengan sistematika sebagai berikut :

1. Bagian Umum :

Bagian umum ini masih dibagi menjadi beberapa bab, antara lain :

Bab I : Perikatan pada umumnya
Bab II : Perikatan yang lahir dari perjanjian
Bab III : Perikatan yang lahir karena undang-undang
Bab IV : Hapusnya perikatan

2. Bagian Khusus :

Bab V : Jual beli
Bab VI : Tukar menukar
Bab VII : Sewa menyewa
Bab VIII : Perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan
Bab IX : Persekutuan
Bab X : Hibah
Bab XI : Penitipan barang
Bab XII : Pinjam pakai
Bab XIII : Pinjam meminjam
Bab XIV : Bunga tetap atau bunga abadi
Bab XV : Perjanjian untung-untungan
Bab XVI : Pemberian kuasa
Bab XVII : Penanggungan
Bab XVIII : Perdamaian

Ketentuan-ketentuan umum tersebut dapat diterapkan terhadap perjanjian dan perikatan baik perjanjian yang bernama (telah memiliki nama) seperti yang diatur dalam Bagian Khusus tersebut maupun perjanjian yang tidak bernama (belum memiliki nama) seperti perjanjian sewa-beli, perjanjian arisan, perjanjian baku (standard contract) dan sebagainya perjanjian yang belum bernama atau belum diatur dalam undang-undang, sebagaimana ditenrtukan dalam Pasal 1319 BW bahwa “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.

G. Sumber Perikatan

Pada Pasal 1233 BW disebutkan bahwa “Perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang”. Dari Pasal 1233 BW ini dapat diketahui secara jelas bahwa ternyata perikatan hanya dapat dilahirkan dari dua macam, yaitu : dari perjanjian dan dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang terbagi lagi atas dua bagian, yaitu : perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang karena perbuatan manusia. Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manisia terbagi lagi atas dua, yaitu : perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia yang melanggar hukum.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN II

PERSONALIA, PRESTASI/WANPRESTASI, GANTI KERUGIAN, DAN HAPUSNYA PERIKATAN

REFERENSI :

1. KUHPerdata
2. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian
3. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.

A. Subejek dan Objek Perjanjian

1. Subjek Hukum Perjanjian

Subjek hukum adalah pembawa/pemikul hak dan kewajiban. Subjek hukum dapat terbagi atas 2 jenis, yaitu :

1. Manusia (naturlijke person)

2. Badan hukum (recht person), terbagi atas 2 lagi, yaitu :

a. Badan hukum privat (Perusahaan swasta, yayasan, koperasi, perkumpulan dagang dll).

b. Badan hukum publik (Negara, Propinsi, Kabupaten/Kota, BUMN, dan lain-lain)

2. Objek Hukum Perjanjian

Objek hukum perjanjian adalah segala sesuatu yang merupakan kewajiban dari pada si debitur dalam hal mana pihak kreditur berhak menuntutnya. Seperti (menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu yang lahir karena perjanjian).

B. Personalia dalam Suatu Perjanjian

Yang dimaksudkan dengan personalia dalam suatu perjanjian adalah siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian. Mengenai hal ini, Pasal 1315 KHUPerdata mengatakan bahwa “Pada umumya tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri”. Asas ini disebut asas kepribadian suatu perjanjian.

Kata mengikatkan diri ditujukan pada memikul kewajiban-kewajiban atau kesanggupan melakukan sesuatu. Sedangkan kata minta ditetapkannya suatu janji ditujukan pada memperoleh hak-hak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu. Dengan demikian, perjanjian hanyalah mengikat diri pribadi masing-masing yang mengadakan perjanjian, karena merekalah yang meletakkan kewajiban apa yang disanggupinya untuk dilakukan, sebaliknya merekalah yang menghendaki hak-hak apa yang ingin dituntut dari pihak lawan janjinya.

Perkecualian dari Asas Kepribadian dari suatu perjanjian adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata bahwa “Lagipun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan suatu janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu”.

Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu, tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya. Contoh perjanjian untuk pihak ketiga :

1) Saya menjual mobil saya kepada A, dengan perjanjian bahwa selama satu bulan mobil itu boleh dipakai dulu oleh si B.

2) Seorang memberikan modal cuma-cuma kepada orang lain untuk dipakai berdagang dengan perjanjian bahwa orang lain ini akan membiayai sekolah seorang mahasiswa.

C. Prestasi dan Wanprestasi

1. Prestasi

Sebagaimana telah dikemukakan pada perkuliahan terdahulu bahwa perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan “harta kekayaan”, di mana pihak yang satu adalah “kreditur” berhak atas suatu “prestasi” atau biasa juga disebut pihak yang berpiutang, sedangkan pihak lainnya adalah “debitur” berkewajiban memenuhi prestasi yang biasa juga disebut pihak berutang.

Pertanyaannya sekarang adalah apa yang dimaksud “prestasi” ? Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan, yang dalam hukum perikatan (Buku III BW), kewajiban dimaksud adalah kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Prestasi ini, pada garis besarnya dapat dibagi atas 3 bagian seperti ditentukan dalam Pasal 1234 BW, yaitu :
Menyerahkan sesuatu yang bernilai uang
Melakukan sesuatu pekerjaan yang bernilai uang, missal. perjanjian pemborongan
Tidak melakukan sesuatu yang bernilai uang, missal. Tidak membangun tembok yang dapat menghalangi pemandangan tetangganya.

Menurut Riduan Syahrani, syarat-syarat prestasi adalah :
Harus diperkenankan, artinya tidak boleh beertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1335 dan 1337 BW)
Harus tertentu atau dapat ditentukan, harus terang dan jelas (Pasal 1320 ayat (3) dan 1333 BW.
Harus mungkin dilakukan menurut ukuran manusia. Pengertian tidak mungkin, terbagi atas 2, yaitu : ketidakmungkinan secara objektif yaitu menurut pendapat banyak orang bahwa itu tidak mungkin, sehingga kreditur tidak dapat mengharapkan prestasi itu (misal. Tomat busuk di atas kapal angkut karena sudah 7 hari di atas kapal akibat overmacht). Ketidakmungkinan secara subjektif adalah hanya orang-orang tertentu saja yang dianggap tidak mungkin melakukan itu, sehingga barangsiapa yang melakukan perikatan dengan objek ketidak mungkinan menurut orang-orang tertentu (subjektif) tetap diwajibkan melaksanakan prestasi itu, kalau tidak debitur harus mengganti kerugian kreditur (malam harinya kecurian).

2. Sekarang, Apa yang dimaksud “Wanprestasi” ?

Wanprestasi adalah tidak terlaksananya suatu kewajiban oleh pihak yang berkewajiban yaitu debitur.

Wanprestasi terjadi karena 2 hal, yaitu :
Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian.
Karena keadaan memaksa (force majeure), jadi di luar kemampuan debitur (overmacht)

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa/berbentuk 4 macam, yaitu :
Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
Tidak memenuhi prestasi sepenuhnya seperti diperjanjikan atau perikatan yang lahir dari undang-undang.
Terlambat memenuhi prestasi
Keliru memenuhi prestasi, artinya tidak sesuai dengan kualitas sebagaimana diperjanjikan
Prof. Subekti menambahkan lagi menjadi debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Jika debitur wanprestasi, maka ada 5 bentuk kemungkinan tuntutan kreditur (Pasal 1267 BW) yaitu :
Pemenuhan perikatan
Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
Ganti kerugian
Pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi.

D. Ganti Kerugian

Mengenai ganti kerugian telah diatur dalam Pasal 1243 BW sampai Pasal 1252 BW. Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Ganti Kerugian adalah “sanksi yang yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi (wanprestasi) dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga.

Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur.

Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur.

Bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan oleh kreditur.

Ganti kerugian terdiri atas 3 unsur, yaitu :
Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Missal. Ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.
Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buahan Karena kelambatan penyerahan.
Bunga atau keuntungan yang diharapkan karena debitur lalai.

E. Hapusnya Perikatan

Menurut ketentuan Pasal 1381 BW bahwa hapusnya perikatan disebabkan karena 10 hal, yaitu :
Karena pembayaran
Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, yaitu terjadi dalam kasus Ahmad meminjam uang kepada Arman dengan bunga 10 % setiap bulan. Sebelum perikatan jatuh tempo, Ahmad menawarkan untuk membayar utangnya kepada Arman dan Arman menolaknya karena ia hendak menerima bunga 10 % setiap bulan hingga perikatan berakhir menurut yang diperjanjikan. Lalu Ahmad pergi ke Notaris menitipkan pembayaran utang itu, lalu notaries menitipkan lagi kepada Panitera Pengadilan, untuk kemudian Pengadilan membayarkan utang-utang Ahmad. Maka ketika terjadi penitipan uang itu, maka perikatan itu berakhir.
Karena pembaharuan utang, misalnya utang diperpanjang waktunya.
Karena perjumpaan utang atau kompensasi = sama-sama punya utang yang seimbang
Karena percampuran utang, misalnya, Calon ahli waris berutang kepada calon pewaris, kemudian pewaris meninggal, maka utang calon ahli waris bercampur dengan harta warisan dalam satu orang, kini perikatan utang-piutang hapus dengan sendirinya.
Karena pembebasan utang, utangnya dinyatakan oleh kreditur telah lunas walaupun tidak lunas.
Karena musnahnya barang yang terutang. Misalnya musnahnya barang bukan karena kesalahan debitur, atau lalai karena keadaan memaksa (tenggelam kapalnya di lautan di luar kemampuan manusia).
Karena kebatalan dan pembatalan (Syarat-syarat perjanjian, Pasal 1320 BW, syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian batal demi hukum. Syarat objektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan, semuanya ini menghapus perikatan).
Karena berlakunya syarat batal. Misalnya, A menyerahkan kebunnya kepada B untuk digarap sendiri, jika B menyerahkan lagi kepada C untuk digarap, maka perikatan antara A dengan B batal karena melanggar syarat (syarat batal).
Karena lewat waktu atau daluarsa. Pasal 1967 ditentukan bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN III

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN


A. Pengertian Perjanjian

Bab II Buku III BW berjudul “Perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian”.

Digunakannya kata atau di antara kata “Kontrak” dan “Perjanjian” menunjukkan bahwa kedua kata itu memiliki arti yang sama. Pembuat Buku III BW sengaja membuat demikian dengan maksud untuk menunjukkan bahwa kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama (J. Satrio, 1992 : 19). Jadi di sini tidak ditafsirkan dalam arti sehari-hari bahwa ada anggapan bahwa kontrak adalah perjanjian yang berlaku untuk jangka waktu tertentu dan dibuat dalam bentuk tertulis.

Subekti mengartikan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (1979 : 1).

Riduan Syahrani (1992 : 256) mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hokum di lapangan harta kekayaan, dimana seseorang (salah satu pihak) berjanji atau dianggap berjanji kepada seorang (salah satu pihak) yang lain atau kedua orang (pihak) saling berjanji untuk melakukan suatu atau tidak melakukan sesuatu.

Pasal 1313 BW disebutkan bahwa suatu persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan hokum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya.

Rumusan Pasal 1313 BW mengandung kelemahan yaitu :
Kata “perbuatan” dalam pasal tersebut seharusnya lebih tepat jika diganti dengan kata “tindakan hokum” karena istilah ini tidak hanya menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki, tetapi di dalamnya telah tersimpul adanya “sepakat” yang menjadi salah satu syarat mutlak adanya perjanjian.
Kata-kata dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih, menimbulkan kesan bahwa hanya satu pihak yang memiliki kewajiban, sementara pihak lainnya hanya memiliki hak, yang demikian ini cocok untuk perjanjian sepihak saja, dan untuk perjanjian kedua belah pihak tidak cocok batasan Pasl 1313 BW ini.


B. Pengertian Perikatan

Subekti (1979 : 1) mengartikan bahwa perikatan adalah suatu perhubungan hokum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lainnya, dan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi tututan itu.

Perhubungan antara dua orang atau lebih tadi adalah suatu “perhubungan hokum” yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hokum atau undang-undang. Artinya, apabila tuntutan si berpiutang tidak dipenuhi secara sukarela oleh pihak debitur, maka si berpiutang dapat menuntut pemenuhannya di mukan pengadilan.

C. Saat lahirnya Perjanjian

Saat/detik lahirnya perjanjian tidak menjadi permasalahan apabila antara pihak penawar dengan pihak lawannya saling berhadap-hadapan di suatu tempat yang sama, karena jarak waktu antara penawaran dengan penerimaan dapat terjadi dalam jangka waktu yang sangat singkat. Detik lahirnya perjanjian dipermasalahkan apabila antara pihak yang menawarkan dengan pihak lawannya tidak berada pada tempat yang sama dan penawarannya dikirim melalui alat komunikasi seperti surat atau telegram. Ketetapan mengenai kapan perjanjian lahir/timbul memiliki arti yang penting bagi :

1. Penentuan risiko;
2. Kesempatan penarikan kembali penawaran;
3. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluarsa;
4. Menentukan tempat terjadinya perjanjian.


Penentuan mengenai lahirnya/timbulnya perjanjian telah menimbulkan beberapa teori, yakni :

1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

Teori ini menyatakan bahwa “perjanjian telah ada” pada saat “telah ditulis surat jawaban penerimaan” atas suatu penawaran, atau dengan perkataan lain “perjanjian itu ada”, “pada saat pihak lain menyatakan penerimaannya/akseptasinya (penerimaan dinyatakan dalam bentuk tulisan. Artinya, pada saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan akseptor dinyatakan saling bertemu.

Kelemahan Teori ini

1. Orang tidak dapat menetapkan secara pasti kapan perjanjian telah lahir karena sulit bagi kita untuk mengetahui dan membuktikan secara pasti “saat penulisan surat jawaban tersebut” sebagai bukti pernyataan menerima penawaran.

2. Selama surat jawaban itu masih berada di tangan akseptor (orang yang menyatakan menerima penawaran), maka selama itu, akseptor masih dapat mengulur atau membatalkan/menarik kembali pernmyataan penerimaannya atas penawaran, sehingga jika hal itu terjadi, sekalipun surat telah ditulis, akan tetapi perjanjian batal karena ditariknya pernyataan penerimaan penawaran tadi, sekalipun surat jawaban sudah ditulisnya.


2. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie)

Teori ini menyatakan bahwa saat lahirnya perjanjian adalah pada “saat/detik pengiriman jawaban akseptasi” (pengiriman jawaban atas penawaran). Untuk menentukan kapan saat dikirimnya jawaban akseptasi dapat diketahui melalui tanggal cap pos menjadi patokan karena sejak saat surat tersebut dikirimkan, akseptor tidak lagi memiliki kekuasaan lagi atas surat jawaban tersebut.

Teori ini pada hakikatnya merupakan koreksi atau keberatan-keberatan atas teori pernyataan.

Kelemahan Teori ini

Kelemahan teori ini adalah “perjanjian tersebut sudah lahir atau telah mengikat orang yang menawarkan” ketika surat sudah dikirimkan oleh pihak pos, sedangkan pihak yang menawarkan belum tahu apakah pihak akseptor telah menjawab/menerima tawarannya itu.

Konsekuensi hukum diterimanya teori ini adalah bahwa pihak yang menawarkan dapat saja menarik kembali penawarannya sebelum tanggal pengiriman surat jawaban penerimaan tawaran dari akseptor. Jika terjadi hal demikian, maka perjanjian antara mereka tidak lahir. Teori ini yang dianut di Inggris.

Pada hakikatnya teori ini mengandung unsur ketidakadilan dilihat dari sudut yang menawarkan, karena setiap saat pihak yang menawarkan selalu memiliki kemungkinan untuk menarik penawarannya. Sedangkan pihak akseptor tidak memiliki kesempatan untuk menarik kembali pernyataan penerimaannya atas penawaran saat/detik dikirmnya oleh pihak pos jawaban penerimaannya atas penawaran.

3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Untuk mengatasi kelemahan teori pengiriman, orang menggeser saat lahirnya perjanjian, yaitu pada saat pihak yang menawarkan telah menerima jawaban dari akseptor bahwa telah menerima penawaran, dalam arti pihak yang menawarkan telah mengetahui isi jawaban penerimaan atas penawaran dari akseptor. Teori ini kiranya sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar pertemuan dua kehendak yang dinyatakan (pernyataan kehendak), dan kedua pernyataan kehendak itu harus dapat dimengerti oleh pihak yang lain (lawan janji).

Kelemahan Teori ini

Teori ini masih memiliki kelemahan, yaitu apabila si penerima surat yang dikirim oleh akseptor dibiarkan berlama-lama tiudak dibuka dan dibaca. Apabila terjadi demikian, apakah perjanjian dinyatakan tidak lahir atau malahan karenanya dinyatakan tidak akan pernah lahir.

Hanya pihak yang menerima surat (penawar) yang tahu pasti,m kapan ia terima surat, kapan ia buka, dan kapan ia baca dan mengetahui isi surat itu dari akseptor. Dengan rentang waktu kemungkiinan diterimanya surat dengan dibuka dan dibaca itu, pihak penawar masih punya waktu untuk mengulur saat lahirnya perjanjian.

Sekalipun waktu/saat surat itu diterima oleh pihak penawar dapat ditentukan secara pasti, namun saat membacanya dan mengetahui isinya tidak dapat ditentukan secara pasti.

4. Teori Pitlo

Pitlo selaku ahli hukum mengembangkan teori sendiri dengan menyatakan bahwa “perjanjian lahir pada saat dimana orang yang mengirimkan jawaban secara patut boleh mempersangkakan (beranggapan) bahwa orang yang diberikan jawaban mengetahui jawaban itu”.

Dengan demikian, jawaban itu harus sudah sampai di tangan yang dituju, terlepas dari apakah si penerima surat sudah membuka, membaca atau mengetahui isinya, yang jelas secara patutu penerima surat diduga keras telah menerima surat jawaban dari akseptor. Teori ini pada hakikatnya hendak menampik kelemahan teori pengetahuna bahwa nanti setelah pihak penerima surat jawaban telah membaca dan mengetahui isi surat jawaban penerimaan tawaran dari akseptor.

Kelemahan Teori ini

Kelemahan teori ini adalah bahwa tidak memperhitungkan apakah si penerima surat secara riil telah menngetahui isi jawaban, sehingga memungkinkan perjanjian dinyatakan lahir atas dasar hanya “persangkaan bahwa penerima surat telah mengetahui isi surat sebagai jawabannya”.

5. Teori Penerimaan (Ontvangsttheorie)

Untuk mengatasi kelemahan teori pengetahuan, maka teori penerimaan ini dikembangkan. Menurut teori ini, terjadinya atau saat lahirnya perjanjian dinyatakan pada saat surat jawaban pernyataan penerimaan atas penawaran “telah diterima” oleh pihak penawar, tidak memperdulikan apakah sudah dibuka, dibaca dan diketahui isinya, yang penting surat itu telah dinyatakan telah sampai di alamat penerima surat. Hingga saat ini, teori ini diterima luas oleh kalangan ahli hukum.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN IV

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN (LANJUTAN……)


A. Asas-Asas Perjanjian

Satjipto Rahardjo (1991 : 45) mengatakan bahwa asas hokum merupakan jantungnya peraturan hukum, karena :

Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hokum. Jantung Hukum oleh Paton diistilah sebagai sarana yang membuat hokum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hokum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka, karena asas-asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.

Dalam hukum perjanjian dijumlai beberapa asas penting, yaitu sebagai berikut :

1. Asas Kebebasan berkontrak (Freedom of making contract)

Asas kebebasan berkontrak ini memiliki arti bahwa setiap orang bebas membuat atau mengadakan perjanjian apa saja baik itu sudah diatur dalam undang-undang maupun belum diatur dalam undang-undang, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum (Pasal 1337 BW). Jadi, arti kebebasan berkontrak di sini adalah setiap orang bebas menentukan syarat-syarat perjanjiannya, bahkan bebas membuat perjanjian sekalipun belum dikenal oleh undang-undang seperti perjanjian sewa-beli.

Kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Buku III BW bahwa setiap perjanjian atau persetujuan yang dibuat antara dua pihak berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

2. Asas Konsensuil

Asas ini mengandung arti bahwa sejak saat/detik tercapaimnya kata sepakat antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, maka saat/detik itu juga dinyatakan perjanjian sudah sah. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hokum sejak saat/detik tercapainya kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakannya.

Perjanjian yang mensyaratkan dengan bentuk formal tertentu tidak masuk dalam kategori perjanjian konsensuil seperti perjanjian jual-beli benda tidak bergerak (tanah misalnya) harus dengan syarat akta otentik (PPAT) (PP No. 10 Tahun 1961 dan disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997).

3. Asas Itikad Baik

Artinya, setiap orang yang membuat suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas ini dibedakan atas 2, yaitu : itikad baik yang subjektif dan itikan baik yang objektif. Itikad baik yang subjektif sangat ditentukan oleh sikap batin oleh pembuat perjanjian, sedangkan itikad baik yang objektif adalah pihak mengadakan perjanjian dianggap beritikad baik karena didasarkan pada norma-norma kepatutan yang berlaku di dalam masyarakat.

4. Asas Pacta Sun Servanda

Artinya, perjnjian yang dibuat adalah mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti undang-undang atau dengan kata lain perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berlaku seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya.


5. Asas Berlakunya Suatu Perjanjian

Artinya, perjanjian hanya mengikat atau hanya berlaku bagi pihak yang membuatnya, terhadap pihak ketiga, perjanjian tidak berlaku atau tidak mengikat pihak ketiga, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang, seperti perjanjian garansi (borgtoct) dan perjnjian untuk pihak ketiga (baca Pasal 1315 dan 1340 BW) yang berbunyi “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. “persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya………

6. Asas Bersifat Obligatoir (Obligatory)

Artinya, perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership). Hak milik baru berpindah apabila diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst).

B. Jenis-jenis Perjanjian

Perjanjian yang dimaksud pada pembahasan ini adalah perjanjian obligatoir sebagaimana dimaksud oleh Buku III BW, yaitu :


1. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian Cuma-cuma adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi diri sendiri (Pasal 1314 BW). Misalnya, Perjaniian pinjam pakai, hibah, penitipan barang Cuma-Cuma.

Perjanjian atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasi pihak lain, dimana kontra prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas prestasi yang satu atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri. Misal A menyanggupi menyerahkan sejumlah uang kepada B, jika B menyerahkan barang kepada A. Perjanjian di sini bukan perjanjian jual-beli barang, melainkan barang hanya merupakan kontra prestasi atas kesanggupan A menyerahkan sejumlah uang kepoada B.

2. Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Misalnya, perjanjian hibah, hadiah.

Perjanjian Timbal Balik adalah (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya, jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.

3. Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Real

Perjnjian Konsensuil adalah perjanjian yang timbul/lahir karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Artinya, sejak terjadinya persetujuan/consensus, maka sejak itu perjanjian dinyatakan sah sekalipun belum diikuti penyerahan nyata. Misalnya, perjanjian jual-beli barang bergerak.

Perjanjian Real adalah perjnjian di samping disyaratkan adanya persetujuan kehendak juga diharuskan disertai penyerahan nyata atas barangnya. Misalnya, jual-beli barang tanah, perjanjian penitipan, pinjam pakai.

4. Perjanjian Bernama dan Perjaniian Tidak bernama

Pasal 1319 BW menyebutkan dua kelompok perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan nama khusus disebut perjanjian bernama (benoemde contracten) dan perjanjian yang dalam undang-undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut perjanjian tak bernama (onbenoemde contracten).

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah memiliki nama sendiri yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan dll.

Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. Misalnya, perjanjian sewa-beli.

5. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian Kebendaan (zakelijke overeencomst) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual-beli, sedangkan perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.

Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian timbulllah hak dan kewajiban pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

C. Unsur-Unsur Perjanjian

Adapun unsure-unsur perjanjian adalah sebagai berikut :

1. Unsur Essensialia adalah unsure perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian atau disebut juga unsure mutlak, di mana tanpa adanya unusr ini, maka perjanjian tidak mungkin ada. Misalnya, “sebab yang halal” merupakan essensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjanjian jual-beli, harga dan barang yang disepakati kedua belah pihak harus ada. Pada perjanjian real, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, atau syarat formal tertentu dalam jual-beli merupakan essensialia darti perjanjian formal.

2. Unsur Naturalia adalah unsure perjanjian yang oleh undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Misalnya, penjual menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin (Pasal 1476 dan 1491 BW) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak, dengan menyatakan bahwa justeru pembeli yang menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin.

3. Unsur Accidentalia adalah unsure perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak. Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal ini. Misalnya, di dalam suatu perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bias dikecualikan.



HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN V

PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN (LANJUTAN…..)

A. Syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 BW menetapkan patokan secara umum tentang bagaimana suatu perjanjian lahir secara sah, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (consensus)
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian (capacity)
3. Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter)
4. Ada suatu sebab yang halal (legal causa)

Ad. 1. Sepakat. Permasalahn dalam kata sepakat ini jika kedua belah pihak mengadakan perjanjian tidak berada dalam tempat dan waktu yang sama untuk mengadakan perjanjian. Misalnya perjanjian diadakan melalui surat menyurat atau melalui telephon dsb. Untuk ini, dikenal 4 teori, yaitu :

a. Uitings Theori (Teori saat melahirkan kemauan)

Teori ini, perjanian dinyatakan terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat penerimaannya.

b. Verzend Theori (Teori Saat Mengirim Surat Penerimaan)

Menurut teori ini, perjanjian dianggap terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada si penawar.

c. Onvangs Theori (Teori Saat Menerima Surat Penerimaan)

Menurut teori ini, perjanjian dianggap terjadi pada saat menerima surat penerimaan/sampai di alamat penawar.

d. Vernemings Theori (Teori Saat Mengetahui Suirat Penerimaan)

Menurut teori ini perjanjian dianggap terjadi apabila si penawar telah membuka dan membaca surat penerimaan itu.


KESEPAKATAN KEHENDAK DIANGGAP CACAT APABILA :

1. Ada Paksaan (Dwang), paksaan disini terbagi dua, yaitu : paksaan pshikis (ancaman) dan paksaan pisik (tanggannya dipegang untuk tanda tangan.

2. Ada Kekeliruan/Kekhilafan/Kesesatan (Dwaling). Misalnya, dikira Jam tangan merek Seiko asli dan baru pada hal Seiko palsu, Pertunjukan, dikiranya yang dikontrak adalah Paramita Rusady padahal orang lain yang mirip dengan Paramita Rusadi.

3. Penipuan (Bedrog), Penipuan dimaksud disini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP yang dengan cara melakukan tipu muslihat atau daya upaya sehingga orang lain sebagai teman janjinya seakan-akan menyadari bahwa hal itu adalah sesuatu yang benar. Misalnya, penjual obat kaki lima, menyatakan obatnya mujarrab, pada halo bat itu adalah tai gergaji.

Ad. 2. Cakap Untuk membuat Perjanjian (capacity)

Pada umumnya orang yang telah genap umur 21 tahun dianggap cakap untuk melakukan perjanjian, artinya sudah dewasa. Pasal 1330 BW mengatakan tidak cakap membuat perjanjian adalah orang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, wanita yang bersuami (untuk hokum Indonesia wanita bersuami dianggap cakap). Jadi, syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung keasadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.

Ad. 3. Ada Suatu Hal Tertentu (a certain subject matter)

Pasal 1333 BW bahwa barang yang menjadi suatu objek perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedanhgkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.

Ad. 4. Ada Suatu Sebab Yang halal (legal causa)

Causa atau sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud causa yang halal dalam Pasal 1320 BW bhka nlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Apakah tujuan itu dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, apakah bertentangan dengan kesusilaan atau tidak.

B. Isi Perjanjian

Yang dimaksudkan isi perjanjian di sini pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperjanjiankan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat ini berisi hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang harus mereka penuhi. Dalam hal ini tercermin asas kebebasan berkontrak yaitu berapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan perjanjian, hubungan-hubungan apa yang terjadi antara mereka, dan berapa jauh hokum mengatur hubungan antara mereka.

Pada garis besarnya, isi perjanjian itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Syarat-syarat yang tegas (Express terms)

Syarat-syarat yang tegas adalah syarat-syarat yang secara khusus disebutkan dan disetujui oleh pihak-pihak pada waktu membuat perjanjian, apakah dilakukan secara tertulis atau secara lisan. Dalam perjanjian jual-beli barang bergerak biasanya syarat tegas yang diminta hanyalah apa yang dilihat (barang jualan) di depan matanya. Akan tetapi perjanjian yang membutuhkan jangka waktu lama, biasanya pihak-pihak menentukan syarat-syarat tegas dan rinci, misalnya jual-beli tanah memerlukan syarat-syarat tegas dan rinci, perjanjian asuransi yang butuh waktu lama, memerlukan syarat tegas dan rinci.

2. Syarat yang diam-diam (Implied Terms)

Syarat yang diam-diam adalah syarat-syarat yang tidak ditentukan secara tegas mengenai suatu hal dalam perjanjian. Namun demikian, pihak-pihak pada dasarnya mengakui syarat-syarat demikian itu karena member akibat komersial terhadap maksud para pihak. Misalnya, dalam perjanjian pengangkutan laut, pemilik kapal secara diam-diam melaksanakan kewajibannya berupa kapalnya dalam keadaan layak laut, kapal berlayar dengan kecepatan layak, tidak akan terjadi penyimpangan arah yang tidak perlu. Demikian pula dalam perjanjian kerja, majikan dibebani kewajiban diam-diam supaya memelihara keselamatan para karyawannya secara layak, dan para karyawan dengan itikad baik melaksanakan keahliannya secara layak.

Syarat diam-diam pada umumnya ada jika tidak ada syarat tegas, sehingga syarat tegas mengesampingkan syarat diam-diam.

3. Klausula-klausula Penyamping

Klausula penyamping ini adalah untuk membatasi tanggung jawab salah satu pihak, bisanya pihak penjual. Dengan klausula penyamping, ia membatasi tanggung jawabnya dan membebankan kewajiban itu kjepada pihak pembeli. Misalnya dalam suatu nota pembelian sering dijumpai klausula yang berbunyi “Barang yang sudah dijual tidak dapat dikembalikan”. Dalam klausula ini, penjual membebaskan diri dari kewajiban menanggung kemungkinan ada cacat pada barang itu, artinya jika ada cacat, rusak, barang itu tidak dapat dikembalikan lagi. Ini berarti bahwa kerugian dibebankan kepada pembeli.

Klausula penyamping ini sering memberatkan pihak lainnya, yaitu pihak pembeli dengan menetapkan syarat “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”. Untuk menghindari syarat yang berat sebelah seperti ini, Abdulkadir Muhammad merekomendasikan beberapa hal penting :

a. Menetapkan syarat perlu memperhatikan ketentuan undang-undang yang bersifat mengatur hak dan kewajiban berdasarkan itikad baik;

b. Penulisan klausula penyamping dibuat secara jelas supaya mudah dibaca oleh setiap orang yang mau mengadakan perjanjian;

c. Klausula penyamping tidak boleh mengenai syarat pokok;

d. Klausula penyamping memuat kewajiban menanggung bersama akibat yang timbul dari perjanjian itu, misalnya jika terdapat kerusakan pada barang yang dibeli, maka penjual menanggung biaya servis.

C. Akibat Hukum Perjanjian

Pasal 1338 BW menetapkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya perjaniian nyang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan Pasal 1320 BW dan syarat-syarat khusu lainnya, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, pada garis besarnya, akibat hokum perjanjian dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu :


1. Berlaku Sebagai Undang-undang

Berlaku sebagai undang-undang artinya, perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu, keberlakuannya sama seperti undang-undang bagi mereka sendiri, perjaniian itu tidak berlaku sebagai undang-undang selain dari mereka yang membuat perjanjian. Di sinilah titik perbedaan antara keberlakuan sebagai undang-undang dari suatu perjanjian, karena hanya berlaku bagi mereka yang membuat perjanjian, sedangkan undang-undang (produk legislative) berlaku untuk public.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hokum tertentu yaoitu sanksi hokum. Jadi jika dilanggar maka ia akan mendapat sanksi hokum sebagaimana telah ditentukan oleh undang-undang.

2. Janji itu Mengikat

Pasal 1338 ayat (1) dikatakan bahwa “Perjniian itu mengikat”. Mengapa mengikat ? apakah karena ketentuan undang-undang menentukan demikian ? Bukan, melainkan karena isi perjanjian itu sendiri, di mana isi perjanjian ditentukan sendiri oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sangat tidak wajar, tidak logis, tidak manusiawi jika mereka sendiri yang menentukan isi perjanjian, lalu mereka juga yang tidak mau terikat atau tidak mau melaksanakannya dengan itikad baik. Oleh karena itu, mereka terikan karena mereka sendiri yang memberikan janjinya, mereka sendiri yang menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan suatu kewajiban yang diletakkan/diadakannya dalam perjanjian.

3. Tidak dapat Ditarik Kembali secara sepihak

Pasal 1338 ayat (2) BW merupakan konsekuensi logis dari pada “perjanjian itu mengikat”. Para pihak tak dapat menarik diri daripada akibat-akibat perjanjian yang dibuatnya “secara sepihak”. Artinya, perjanjian dapat diubah, ditambah, dikurangi, dan dibatalkan dengan syarat harus atas persetujuan kedua belah pihak.

Namun demikian, perjanjian dapat ditarik secara sepihak jika alas an-alasan yang doiberikan oleh undang-undang itu dapat diketahui dalam pasal-pasal undang-undang seperti berikut ini :

a. Perjanian yang bersifat terus menerus, berlakunya itu dapat dihentikan secara sepihak. Misalnya Pasal 1571 BW tentang sewa-menyewa yang dibuat secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan memberitahukan kepada penyewa.

b. Perjanjian sewa rumah Pasal 1587 BW, setelah berakhir waktu sewa seperti ditentukan dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah tersebut tanpa teguran dari pemilik yang menyewakan, maka penyewa dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar sewa menyewa dengan syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan menurut kebiasaan setempat. Jika pem,ilik ingin menghentikan sewa menyewa tersebut, ia harus memberitahukan kepada penyewa menurut kebiasaan setempat.

c. Perjanian pemberian kuasa Pasal 1817 BW, penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya dengan memberitahukan kepada pember kuasa

d. Perjaniian pemberian kuasa Pasal 1814 BW, pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya, apabila ia menghendakinya.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN VI

PEMBEDAAN PERJANJIAN

1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
♫ Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
♫ Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
♫ Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
♫ Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
♫ Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
♫ Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
♫ Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
♫ Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
♫ Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
♫ Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.


HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN
PERTEMUAN VII

PELAKSANAAN TERHADAP PERJANJIAN

A. Arti Pelaksanaan Perjanjian

Pelaksanaan perjanjian tidak adalah pemenuhan hak dan kewajiban tepat waktu sebagaimana telah diperjanjikan oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Pelaksanaan perjanjian berupa pelaksanaan kewajiban yang dapat berupa pembayaran/penyerahan barang dan melakukan suatu perbuatan.

1. Pembayaran

Pembayaran adalah penyerahan sejumlah uang sebagai harga dari barang yang dibelinya, dengan demikian pembayaran adalah pemenuhan kewajiban debitur kepada krediturnya berdasarkan perjanjian yang telah diadakan.

-Pihak yang melakukan pembayaran adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian. Namun, dapat juga debitur menyuruh orang lain mewakili debitur disertai surat kuasa.

-Alat bayar yang digunakan pada umumnya berupa uang. Surat berharga seperti cek bukan alat pembayaran yang sah, utang belum terlunasi sampai cek itu dibayar banker, karena cek hanya alat pembayaran bersyarat.

-Tempat pembayaran dilakukan di tempat yang telah ditetapkan dalam perjanjian, jika tidak ditentukan dalam perjanjian, maka pembayaran dilakukan di tempat di mana barang itu berada waktu membuat perjanjian

-Media pembayaran dapat dilakukan dengan mengirim uang lewat pos dan rekening bank dengan cara transper.

-Biaya penyelenggaraan pembayaran ditanggung debitur (Pasal 1395 BW)

2. Penyerahan barang

Penyerahan barang dimaksudkan adalah pemindahan penguasaan atau pemilikan hak atas barang berdasarkan perjanjian. Penyerahan barang dapat berupa penyerahan nyata dan penyerahan yuridis (untuk barang tidak bergerak).

3.Syarat-syarat Penyerahan

-Harus ada perjanian yang bersifat kebendaan

-Harus ada alas hak (title)

-Dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai barang

-Dilakukan penyerahan nyata

B. Penafsiran Dalam pelaksanaan Perjanjian

Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian biasanya mengatur yang pokok-pokoknya saja, banyak hak-hak dan kewajiban yang tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian, maka diperlukan penafsiran. Dalam melakuka n penafsiran kita berpedoman kepada Pasal 1342 s/d 1351 BW yang menyatakan bahwa :

a. Apabila kata-kata suatu prjanjian adalah jelas maka kata-kata itu tidak boleh disimpangi dengan jalan menafsirkannya (Psl. 1342 BW)

b. Jika kata-kata dalam perjnjian tidak jelas, maka ditafsirkan berdasarkan maksud kedua belah pihak pada waktu membuat perjanjian (Psl. 1343 dan 1350 BW)

c. Jika perjaniian mengandung dua macam pengertian maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan perjanjian dilaksanakan (Psl. 1344 BW)

d. Jika perjanjian mengandung dua pengertian maka harus dipilih yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Psl. 1345 BW)

e. Jika perjanjian meragukan, maka harus ditafsirkan berdasarkan kebiasaan setempat (Psl. 1346 BW) dan Harus ditafsirkan berdasarkan kerugian kreditur dan untuk keuntungan debitur (Psl. 1349).

f. Segala sesuatu yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimaksudkan dalam perjanjian sekalipun tidak dinyatakan secara tegas (Psl. 1347 BW)

g. Semua janji-janji yang dibuat dalm perjanjian harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian secara keseluruhan (Psl. 1348 BW).


C. Itikad Baik Dalam pelaksanaan Perjanjian

Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dimaksudkan sebagai pelaksanaan perjanjian berdasarkan kepatutan. Kepatutan yang dimaksudkan adalah kepatutan dalam masyarakat, kepatutan yang berlaku dalam suatu bidang-bidang tertentu seperti kepatutan dalam transfer melalui rekening dsb.


HUKUM PERJANJIAN/PERIKATAN
PERTEMUAN VIII

PELAKSANAAN PERJANJIAN

A. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian

Sekalipun perjaniian sudah disetujui/ditandatangani, namun dalam pelaksanaan tidak menutup kemungkinan terdapat hambatan. Hambatan dimaksud disebabkan karena dua kemungkinan, yaitu :

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian (wanprestasi)
2. Karena keadaan memaksa (force majeur, overmacht). Jadi di luar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.

Ad. 1. Wanprestasi debitur dapat berupa 4 macam, yaitu :

a. Samasekali tidak memenuhi prestasi. Artinya, tidak melaksanakan kewajiban yang telah disanggupinya sebagaimana dalam perjanjian.

b. Tidak tunai memenuhi prestasi. Artinya, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak memenuhi seluruhnya.

c. Terlambat memenuhi prestasi. Artinya, debitur memenuhi seluruh kewajibannya, namun terlambat.

d. Keliru memenuhi prestasi. Artinya, debitur memenuhi seluruh prestasi namun keliru. Misalnya, debitur memenuhi prestasi namun tidak sesuai dengan kualitas barang sebagaimana diperjanjikan.

Ad. 2. Karena keadaan memaksa (overmacht).

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahan debitur, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dengan demikian, unsure-unsur keadaan memaksa adalah :

a. Tidak terpenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan. Ini bersifat tetap.

b. Tidak terpenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi. Ini dapat bersifat tetap atau sementara.

c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur.

Keadaan memaksa (overmacht) terbagi atas 2 bagian, yaitu :

a. Overmacht yang bersifat mutlak (absolute) objektif

-Overmacht yang bersifat mutlak karena suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun tidak mungkin bias dilaksanakan.

-Overmacht yang bersifat objektif karena benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat dipenuhi oleh siapapun, yakni objek musnah di luar kesalahan debitur.

b. Overmach yang bersifat Nisbi (relative)/subjektif

-Overmacht yang bersifat nisbi ini adalah suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan-pengorbanan yang demikian besarnya sehingga tidak lagi sepantasnya pihak kreditur menuntut pelaksanaan perikatan tersebut.

-Overmach yang bersifat subjektif adalah karena menyangkut subjek (debitur) sendiri yang mengalami suatu keadaan yang ketika itu tidak mungkin memenuhi prestasi. Misalnya, debitur dalam keadaan sakit untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam perikatan kerja.

Ukuran yang digunakan untuk menentukan apakah keadaan memaksa yang bersifat nisbi/relative/subjektif ini, terdapat 2 ukuran, yaitu :

a. Ukuran objektif, yaitu ukuran bagaimana keadaan orang pada umumnya. Bilamana suatu keadaan menyebabkan semua orang tidak melaksanakan perikatan maka keadaan ini merupakan keadaan memaksa yang diukur secara objektif.. Misalnya, dalam perikatan A berjani untuk mengirim sebuah barang kepada B, tiba-tiba ada peraturan keluar yang melarang mengirim barang semacam itu.

b. Ukuran subjektif, yaitu keadaan seseorang tertentu yang berbeda dengan orang lain. Misalnya, A berjanji untuk menyerahkan barang kepada B, namun malamnya tiba-tiba dirampak barang itu.

B. Risiko

Risiko adalah kewajiban menanggung kerugian akibat overmacht. Mengenai rsiko overmacht ini, KUHPerdata/BW mengaturnya secara berbeda-beda.

a. Pasal 1237 BW bahwa dalam hal perjanjian untuik memberikan sesuatu kebendaan, jika barang itu belum diserahkan kepada pihak yang berhak, kemudian barang itu musnah di luar kesalahan debitur (overmacht), maka musnahnya barang ditanggung oleh pihak yang akan menerima barang. Ini berlaku khusus untuk perjanjian yang bersifat sepihak.

b. Pasal 1264 BW menentukan bahwa apabila perjanjian yang di adakan adalah perjanjian dengan syarat tangguh, maka apabila terjadi kemusnahan barang yang diperjanjinakan, maka menjadi tanggungan pemilik barang, karena syarat perjanjian belum terpenuhi, karena masih ditangguhkan.

1 komentar: