Sabtu, 05 Mei 2012

Bank dan Lembaga Keuangan

Tugas MID Hukum Perbankan


Bank dan Lembaga Keuangan


OLEH
Muh. Mahathir
NIM: 10500109050

JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR





KATA PENGANTAR


Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Bank dan Lembaga Keuangan ini dengan baik. Makalah ini kami mengambil topik tentang Kesehatan Bank. Dalam makalah ini, terdapat ulasan yang menjelaskan tentang bagaimana ciri-ciri bank yang sehat dan alternatif-alternatif apa saja yang kita harus ambil dalam memilih bank sehat. Dalam makalah ini juga dibahas tentang cara-cara memilih dan memilih bank yang sehat. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini
Atas perhatian, bimbingan, bantuan moril dan materiil sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Semoga para pembaca dapat memanfaatkan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam makalah yang kami buat ini. Untuk itu, diharapkan kritik dan saran dari segala pihak demi penyempurnaan makalah ini.                                                                    
                                                                                           Makassar,  2  Mei 2012


                                                                                                          Penyusun

Pendahuluan


Latar Belakang Masalah
            Kegiatan perekonomian suatu negara tidak terlepas dari  lalu lintas pembayaran uang, dimana industri perbankan  memegang peranan yang sangat strategis dapat dikatakan sebagai urat nadi dari sistem perekonomian. Kegiatan pokok bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat, mempunyai fungsi sebagai  intermediary service.
             Perkembangan perekonomian Indonesia yang semakin pesat, membutuhkan modal yang cukup besar yang sebaiknya dipenuhi dari sumber dana domestik, sehingga perlu adanya iklim penggalian sumber dana masyarakat melalui mobilisasi dana masyarakat yang dilakukan sektor perbankan. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui Otoritas Moneter, dalam hal ini adalah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, telah mengeluarkan rangkaian deregulasi di bidang keuangan, moneter dan perbankan yang berkelanjutan, yang tujuannya untuk menciptakan iklim perbankan yang sehat, mandiri dan efisien. Kebijakan ini pertama digulirkan pada tanggal 1 Juni 1983 (Pakjun’83), merupakan awal perkembangan industri perbankan yang berdasarkan mekanisme pasar (interest rate regulation). Melalui Pakjun’83 bank-bank diberi kebebasan dalam memobilisasi dana masyarakat dengan menghapus pembatasan kredit dan plafon suku bunga serta pemabatasan kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Kebijakan selanjutnya yaitu pada tanggal 27 Oktober 1988 (Pakto’88) , yang bertujuan meningkatkan mobilisasi dana domestik dengan menurunkan hambatan masuk ke dalam sektor perbankan, sehingga mempermudah persyaratan membuka bank baru maupun cabang bank dan penurunan Cadangan Wajib Minimum ( Reserve Requirement/RR) dari 15% menjadi 2% . Dampak dari kedua kebijakan tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan perbankan, baik jumlah bank dan jaringan kantor bank yang diikuti oleh peningkatan volume usaha dan jenis produk yang ditawarkan. Jumlah bank sebelum Pakto’88 hanya 63 buah bank dan 1.863 kantor bank. Secara kumulatif pasca Pkato’88 sampai dengan 1997 jumlah bank menjadi 238 buah bank dan 7.775 buah kantor bank. Dengan struktur kelembagaan tersebut kegiatan operasional bank mengalami perkembangan yang sangat pesat sekali, hal ini tercermin dari hasil pengerahan dana masyarakat dari Rp. 37,5 trilyun pada tahun 1987 menjadi Rp. 357 trilyun pada tahun 1997. (Sumber : Bank Indonesia). Perkembangan mobilisasi dana masyarakat yang tinggi mununjukkan betapa besar kepercayaan masyarakat terhadap bank, dengan kata lain banking habit masyarakat sudah tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini tentang perkembangan jumlah bank dan kantor bank , serta perkembangan simpanan masyarakat, khususnya di wilayah Propinsi Jawa Barat yang ditetapkan sebagai obyek penelitian.
            Mengingat kepercayaan masyarakat merupakan modal pokok dari kegiatan usaha bank, sementara dilain pihak bahwa bank merupakan urat nadi bagi kelancaran kegiatan perekonomian melalui fungsinya sebagai intermediary service. Menciptakan dan memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank, tidak hanya menjadi tanggung jawab industri perbankan, akan tetapi menjadi tanggung jawab  pemerintah dengan lembaga-lembaga terkait.  Dengan demikian kepercayaan masyarakat terhadap bank merupakan suatu hal yang sangat penting  dalam menjaga kontinuitas usaha bank , menciptakan dan menjaga kestabilan moneter disatu pihak dan stabilitas ekonomi dilain pihak. Untuk itu sudah saatnya dilakukan penelitian untuk mengkaji perihal kepercayaan masyarakat pada bank, dan penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “Analisi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Masyarakat Terhadap Bank”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank, dengan pembatasan masalah yang akan diteliti adalah  (a) bagaimana nasabah dapat mengetahui kriteria bank yang sehat, (b) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank dan (c) sampai seberapa besar faktor-faktor tersebut mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank.
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik bagi obyek penelitian, maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan.       Kerangka pemikiran  penelitian ini didasakan pada landasan teori yang relevan, dimana bank sebagai lembaga kepercayaan yang merupakan bagian dari sistem moneter merupakan sarana untuk pembentukan dana alokasi tabungan masyarakat, maka peranan kebijakan moneter dalam suatu perekonomian sangat penting dalam menciptakan dan memelihara suatu tingkat kestabilan ekonomi. Sesuai dengan pengertian bank menurut UU-RI No. 10/1998 tentang Perbankan , bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Sedangkan dalam pasal 29 dikatakan bahwa “ Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya” .  Dari kedua penjelasan tersebut  dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan pokok bank  diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Untuk dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, tentu  diperlukan modal kepercayaan masyarakat dan kepercayaan ini akan diberikan hanya kepada bank yang sehat. Dengan demikian tingkat kesehatan bank sangat erat hubungannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Badudu Zain (1994:1040) mengatakan tentang kepercayaan, bahwa “Kepercayaan adalah meletakkan kepercayaan atau memberikan kepada seseorang untuk menjaga, memelihara, menyimpan , merahasiakan dan sebagainya”. 
            Masyarakat sebagai salah satu bagian dari pelaku ekonomi, dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat perkembangan dari teknologi informasi, telah mempengaruhi perilakunya sebagai pelaku ekonomi. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Soemitro Djojohadikusumo (1991:149) bahwa “..dalam proses pengambilan keputusan para pelaku ekonomi mengandalkan pengalaman dan pengetahuannya dari masa lalu dan masa kini, perkiraan-perkiraan yang akan terjadi di masa mendatang ditambah dengan segenap informasi data yang sekarang tersedia” . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa informasi yang tersedia tentang kondisi sektor perbankan, dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil yang berkaitan dengan dengan kepercayaannya kepada bank.
            Peranan bank yang sangat strategis dalam perkembangan ekonomi, sehingga perlu diperhatikan dan dijaga kontinuitas usahanya, dengan meningkatkan kemampuan menggali sumber dana masyarakat. Untuk itu perlu didukung oleh instrumen yang efektif yang dapat memotivasi masyarakat menyimpan uangnya di bank. Instrumen tersebut diantaranya adalah (a) adanya jaminan keamanan atas simpanan masyarakat, (b)  tingkat bunga yang stabil dan kompetitif, (c)  pelayanan yang  baik dan (d) informasi yang tersedia tentang perkembangan industri perbankan.
            Motivasi masyarakat mempercayakan dananya di bank tentunya selain mengharapkan mendapatkan keuntungan, juga mengharapkan adanya jaminan keamanan atas simpanan masyarakat secara hukum. Perilaku seseorang pada saat tertentu biasanya ditentukan oleh kebutuhan yang paling kuat, yaitu rasa aman. Kerangka kekuatan kebutuhan manusia telah dikembangkan oleh Abraham Maslow, yang dikenal dengan Hirarki Kebutuhan Maslow – fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan dan perwujudan diri. Dikatakan bahwa “Kebutuhan rasa aman yang berada pada alam sadar cukup jelas dan sangat umum diantara semua orang pada umumnya”. Sedangkan Paul Hersey mengutip pendapat dari Soul W. Gellerman (1992:36) dikatakan bahwa “Semua orang memiliki keinginan untuk terbebas dari bahaya yang mengancam kehidupannya, yaitu kecelakaan, peperangan dan ketidakpastian ekonomi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap individu maupun kelompok sangat membutuhkan rasa aman, tanpa kecuali kebutuhan rasa aman yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya.
             Instrumen berikutnya yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap berbagai kondisi ekonomi yaitu  tingkat bunga .    Wasis (1998:94) mengatakan bahwa “Tingkat bunga yang tinggi akan dapat menarik masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank, karena para pemilik dana mengharapakan keuntungan dari dana yang disimpan di bank”. Sedangkan Budiono (1980:2) mengatakan bahwa “Tingkat bunga adalah harga dari penggunaan uang yang  dapat dipandang sebagai sewa atas penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu”. Dengan demikian bahwa tingkat bunga yang tinggi masih efektif dijadikan sebagai instrumen dalam meningkatkan mobilisasi dana masyarakat. Seperti halnya yang diungkapkan Soemitro Djojohadikusumo (1991:149)  tentang pelaku ekonomi yang memiliki perilaku rasional, yaitu “Perilaku ekonomi (economic behaviour) pada dasarnya bersifat rasional, artinya para pelaku ekonomi bersikap rasional di dalam mengadakan pilihan ekonomi dan mengambil keputusan ekonomi”. Sikap ini tercermin dari perkembangan simpanan masyarakat bila dibandingkan dengan perkembangan jumlah nasabah. Dimana pada tahun 1997 dimana perekonomian Indonesia sedang dilanda krisis dan langkah berani dari BPPN dengan melikuidasi 16 bank umum swasta nasional , yang dilanjutkan dengan program beku operasi atau pengambil alihan operasional. Namun demikian minat masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank masih tetap tinggi, yaitu memanfaatkan tingkat bunga deposito yang cukup tinggi (67% per bulan tahun 1997/1998), walaupun jika dilihat jumlah orang (nasabah) mengalami penurunan. Kondisi ini membuktikan masih berlakunya teori Keynes  bahwa “ Bunga uang ditentukan oleh preferensi likuiditas, yaitu motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif spekulasi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat bunga merupakan imbalan atau kontraprestasi yang diberikan oleh bank kepada penyimpanan dana. Suku bunga yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk menghemat pengeluaran konsumsinya dan menyimpan bagian yang lebih dari aktiva totalnya dalam bentuk aktiva yang memberikan penghasilan.
            Kepercayaan masyarakat terhadap bank tidak terlepas dari masalah kepuasan, yang dapat dipenuhi salah satunya dari pelayanan yang prima. Sehingga pembahasan masalah konsep kepuasaan pelanggan (nasabah) menjadi suatu hal yang vital. Persaingan antar bank yang semakin ketat, dimana semakin banyak produsen yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen, menyebabkan setiap bank harus menempatkan orientasi pada kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama. Hal ini tercermin dari banyaknya bank menyertakan konsumennya terhadap kepuasan nasabah dalam penyertaan misinya. As. Mahmoeddin (1996:2) mengatakan bahwa “Pelayanan yang baik merupakan salah satu syarat untuk berhasilnya bank dalam usaha pengumpulan dana sebanyak mungkin, penjualan jasa seoptimal mungkin yang pada akhirnya memperoleh laba semaksimal mungkin”. Sedangkan Tjiptono, yang mengutip pendapat Engel,et.all. (1995:27) mengatakan bahwa  “Kepuasaan pelanggan merupakan evaluasi purna beli, dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil tidak memenuhi harapan”.  Dapat disimpulkan bahwa pelayanan yang baik, ramah, cepat dan akurat merupakan suatu prinsip yang harus dimiliki oleh setiap petugas bank, yang harus memberikan pelayanan prima kepada nasabah. Semakin baik pelayanan yang diberikan, maka semakin tinggi tingkat kepuasan nasabah, semakin tinggi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank.
Perilaku masyarakat sebagai pelaku ekonomi tentu sangat berkepentingan dengan tersedianya informasi yang   dapat dipertanggung jawabkan. Tindakan  atau pengambilan keputusan secara rasional berdasarkan pengalaman dan informasi yang diperoleh. Kondisi perilaku masyarakat yang semakin kritis, menuntut peranan Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan informasi, dapat secara aktif mensosialisasikan setiap perubahan kebijakan tentang perbankan, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengikuti  perkembangan perbankan dengan baik, khususnya tingkat kesehatan bank. Dengan demikian  informasi dapat dijadikan sebagai instrumen yang dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Sumitro Djojohadikusumo (1991:149) tersebut diatas.


PEMBAHASAN
I.          KRITERIA KESEHATAN BANK
Pada akhir tahun 2001 Bank harus memenuhi persyaratan Kesehatan Bank dari Bank Indonesia :
  • CAR minimal 8 %
  • NPL maksimal 5 %
II.        TAHAPAN PENYUSUNAN CETAK BIRU PERBANKAN
  1. Langkah1
    Analisa CAMEL berdasarkan peraturan Bank Indonesia untuk mengklasifikasikan Bank sehat dan Bank tidak sehat

  1. Langkah2  
    Klasifikasi Bank. Proses penyaringan Bank sehat menjadi Bank kuat dan Bank lemah
 Parameternya adalah sebagai berikut :
    1. Kualitas SDM
      • Manajemen profesional
      • Uji kepatutan (Fit and Proper Test) pemegang saham
    2. Kemampuan finansial
      • Tingkat permodalan
      • Skala ekonomi
      • Efisiensi dari akumulasi dana / pendanaan
      • Kemampuan menyalurkan kredit kepada sektor riil
    3. Tingkat keunggulan kompetitif secara regional
    4. Good Governance�
      Manajemen kredit yang prudent

  1. Langkah3  
    Evaluasi terhadap Nilai Waralaba (Franchise Value untuk Bank yang tidak sehat.
    Melakukan evaluasi terhadap Nilai Waralaba (Franchise Value� dari Bank yang tidak sehat untuk menentukan apakah Bank tersebut diikutsertakan dalam proses konsolidasi atau harus ditutup.

  1. Langkah4  
    Pemetaan Perbankan Nasional. Proses pemetaan Bank yang kuat dan Bank yang lemah untuk menentukan posisi relatif dari setiap Bank di dalam Perbankan


                        Langkah5  
Proses Pengelompokan . Proses untuk menentukan Kelompok Bank dengan cara:
Penggabungan Bank-Bank (Merger Banks)
§  Tidak diperlukan injeksi modal
§  Diperlukan injeksi modal
Bank berdiri sendiri (Stand Alone Banks)
§  Tidak diperlukan injeksi modal
§  Diperlukan injeksi modal
Parameter yang digunakan pada langkah 5 :
1.      Infrastruktur jaringan distribusi
§  Cabang
§  Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
§  Jaringan pendebetan
§  Pelayanan perbankan on-line dan melalui telepon
§  Rencana pengembangan
2.      Bank Konsumer (Consumer Banking)
§  Deposito
§  Produk / Portofolio Kartu Kredit
§  Kredit konsumsi dan produk lainnya
§  Pelayanan perbankan melalui internet
3.      Bank Korporasi dan retail (Corporate dan Retail Banking)
§  Pinjaman (Loans)
§  Rencana usaha (Business Plan)
§  Manajemen resiko
4.      Sumber Daya Manusia
5.      Teknologi dan Operasi
§  Infrastruktur teknologi
§  Teknologi untuk manajemen resiko
6.      Peraturan dan aspek legal  Litigasi, kontingensi, dan aspek legal lainnya

                        Langkah6
Proses penentuan Posisi Akhir . Proses penentuan posisi akhir akan mengarahkan Bank-Bank untuk menjadi :
o    Bank Inti (Core Banks)
1.      Bank Internasional
§  Memiliki cabang di seluruh propinsi
§  Memenuhi standar perbankan internasional
§  Kemampuan permodalan untuk operasi skala nasional
§  Pelayanan yang meliputi seluruh produk perbankan
§  Nasabah korporasi besar, menengah dan retail
2.      Bank regional
§  Pelayanan produk perbankan terbatas sektor tertentu
§  Bank berdasarkan tata nilai agama (mis. Bank Syariah)
§  Geografi (mis. Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi)
§  Nasabah (mis. Korporasi besar, menengah)

o    Bank Non-Inti (Non-Core Banks)
Bank Khusus Menawarkan produk tertentu seperti :
§  Pembiayaan sektor pertanian dan agribisnis
§  Pembiayaan untuk usaha kecil
§  Bank tabungan nasional khusus untuk Kredit Pemilikan Rumah
§  Pembiayaan untuk proyek-proyek nasional berskala besar
Parameter yang digunakan untuk mencapai proses akhir adalah sebagai berikut :
§  Jenis usaha
§  Jumlah cabang
§  Bank devisa
§  Teknologi dan operasi
§  Budaya perusahaan



III.       PEMETAAN PERBANKAN NASIONAL

1.                  Sesuai dengan Program Aksi Prioritas Sektor Riil yang telah disampaikan pada Sidang Kabinet tanggal 8 Pebruari 2001 (Dokumen II), khususnya Sektor Keuangan, Kantor Menteri Muda Urusan Restrukturisasi Ekonomi Nasional telah melakukan kajian Cetak Biru Perbankan Nasional
2.                  Cetak Biru Perbankan Nasional ini sangat diperlukan saat ini mengingat rencana pemberlakuan peraturan Bank Indonesia pada akhir tahun 2001 di mana semua bank diharuskan memiliki rasio kecukupan modal (CAR) minimal 8% dan tingkat kredit bermasalah (NPL) maksimal 5%
3.                  Dari catatan Bank Indonesia dan data serta analisa yang kami lakukan, akan terdapat kurang lebih 20 bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut di atas
4.                  Dari beberapa alternatif yang kami analisa untuk penyelesaian masalah ini, maka penggabungan dan konsolidasi bank-bank merupakan alternatif yang terbaik
5.                  Kajian tersebut terlampir dalam laporan ini.

IV.       ALTERNATIF PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL
1.                  Merubah peraturan Bank Indonesia (CAR 8% dan NPL 5%)
Alternatif pertama akan menimbulkan �moral hazard� CAR 8% belum cukup untuk mendukung Bank yang kuat dan efisien
2.                  Redistribusi Obligasi Pemerintah
Alternatif kedua sulit dilakukan karena tidak sesuai dengan kondisi pasar
3.                  Penukaran dengan Aset (Asset Swap)
Alternatif ketiga juga sulit dilakukan disebabkan terbatasnya aset yang telah direstrukturisasi di BPPN, sulitnya penentuan harga, dan mekanisme swap
V.        KONSOLIDASI DAN MERGER
Alternatif keempat, konsolidasi Bank-Bank Nasional menjadi pilihan yang paling menguntungkan, karena: - Bank-Bank hasil konsoldasi / merger dapat mencapai skala ekonomi yang menguntungkan. - Meningkatkan nilai Bank-Bank Nasional dan akan menarik investor. - Pengawasan yang lebih efektif dengan berkurangnya jumlah Bank.
SESUAI dengan nature krisis yang menimpa negeri kita, perbankan memainkan peran penting dalam pemulihan ekonomi. Ada dua generasi utama dalam krisis ekonomi, dilihat dari faktor fundamental yang menyebabkannya. Pertama, krisis nilai tukar (currency crisis) dan kedua, krisis sistem finansial (financial crisis). Berbeda dengan krisis di kawasan Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Argentina) dan Eropa Timur (Yugoslavia, Bulgaria, Hongaria), krisis yang menimpa kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia) menunjukkan kausalitas yang erat antarkeduanya (faktor moneter dan finansial).

 Demikian, maka krisis di kawasan ini dinamai krisis generasi ketiga (third generation). Jika ditelusuri lebih jauh, akar dari dua generasi krisis tersebut sebenarnya ada pada faktor kepercayaan yang hilang. Runtuhnya perekonomian kita sangat dipengaruhi oleh perilaku destruktif para pelaku ekonomi, sebagai refleksi atas harapan akan realita ekonomi (fulfilling destructive prophecy). Maka tidak berlebihan jika dalam rangka memantapkan pemulihan ekonomi, kredibilitas adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dari pemerintah sekarang ini.

Kita agak tersentak dengan kejadian yang menimpa PT Bank Global Tbk serta perusahaan reksadana Prudence International, beberapa waktu lalu. Demikian pula dengan berita masuknya Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) di bawah pengawasan khusus (special surveillance) Bank Indonesia. Ternyata, industri perbankan serta sektor keuangan masih berlumur dengan persoalan yang serius. Padahal, tanpa kebangkitan sektor perbankan serta perkembangan sektor finansial yang kuat, pemulihan ekonomi akan tersendat. Lalu apa yang harus dilakukan? Sektor finansial Secara sederhana, tugas utama pemerintah hanyalah dua, yaitu meredam gejolak jangka pendek serta menggali potensi pertumbuhan dalam jangka panjang. Boleh dikatakan, pemerintahan baru sudah tidak terlalu dibebani oleh persoalan gejolak jangka pendek. Nilai tukar sudah stabil, inflasi terkendali, dan tingkat suku bunga juga makin bisa ditekan. Bahkan kredibilitas pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla juga makin bersinar. Salah satu indikatornya adalah melonjaknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) hingga menyentuh nilai tertinggi dalam sejarah pasar modal di Indonesia mencapai titik 1.003 poin. Berita mengenai penipuan terhadap nasabah PT Bank Global adalah berita buruk yang turut menahan pergerakan perdagangan saham. Demikian pun, keraguan akan kredibilitas dari tata perekonomian di bawah pemerintahan baru mulai merebak. Keraguan tersebut bukanlah tanpa sebab. Dalam kasus Bank Global, persoalannya terkait dengan industri reksadana yang sedang tumbuh sangat pesat akhir-akhir ini. Hingga di penghujung 2004 ini, dana yang bergerak di industri tersebut sudah mencapai Rp100 triliun. Padahal, di akhir 2002 baru mencapai Rp41,6 triliun. Di seluruh dunia, industri reksadana memang sedang mengalami booming. Majalah The Economist edisi 27 November-3 Desember 2004 mengusung judul The capitalism's New Kings. Dalam kurun dua tahun terakhir ini, industri reksadana (private equity) telah tumbuh sebesar 60%.

Dan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan sebesar 3.000%. Betapa industri reksadana tengah menjadi pusat bisnis baru yang merajai sistem kapitalisme modern, begitu The Economist menerangkan. Di Indonesia, industri reksadana merupakan salah satu alternatif pembiayaan perusahaan yang berkembang terutama setelah krisis. Sebagaimana kita tahu, sebelum krisis ekonomi, sumber pembiayaan perusahaan hanya mengandalkan sistem perbankan. Bahkan hingga 2000 yang lalu, perbankan masih menguasai 90,40 persen perputaran dana di sektor finansial. Artinya, sektor finansial yang lainnya (pasar modal, asuransi, multifinance, dan pegadaian) belum begitu berkembang. Tidak berkembangnya pasar modal secara optimal, sehingga pertumbuhan obligasi (obligasi pemerintah dan perusahaan) serta saham masih di bawah pertumbuhan sektor perbankan. Akibatnya, struktur permodalan perusahaan dan instrumen investasi masih sangat tergantung pada sektor perbankan. Kehancuran sektor perbankan telah memberi pelajaran untuk secara berangsur mengembangkan sektor investasi yang lain. Maka sumber pembiayaan yang berbasis pada pasar modal semakin menjadi kebutuhan.

Dalam konteks sektor pembiayaan konsumsi (multifinance), akhir-akhir ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Di tengah kelesuan sektor perbankan yang menderita akibat sektor riil yang tidak bergerak, bisnis multifinance tumbuh secara meyakinkan. Hingga 2004 ini, penyaluran dana bank ke multifinance naik sebesar 67% (atau Rp8,3 triliun) dibanding 2003 yang hanya mampu menyalurkan kredit sebesar Rp4,9 triliun. Secara kuantitatif, jumlah perusahaan multifinance juga mengalami lonjakan, hingga pertumbuhan sektor tersebut selama 2004 naik sekitar 20-30%. Fenomena lain adalah terjadinya merger antara bank dan perusahaan multifinance, sebagaimana terjadi antara Bank Danamon dengan Adira Finance serta Bank Internasional Indonesia (BII) dengan Wahana Otomitra Multiarta. Selain itu, perkembangan sektor pembiayaan juga didukung oleh kemitraan, seperti terjadi antara Bank Mandiri dengan PT Astra Sedaya, yang menerima kucuran kredit sebesar Rp2,5 triliun. Pendek kata, selain perbankan, sekarang sektor pembiayaan dan reksadana adalah ujung tombak dalam sektor finansial kita. Sayangnya, pemerintah nampak tidak siap menghadapi perkembangan di sektor-sektor tersebut, selain pemulihan dunia perbankan pun mengalami hambatan yang berarti. Kelembagaan Beralihnya pusat peredaran uang dari perbankan ke industri pembiayaan dan industri reksadana menyisakan berbagai persoalan kelembagaan. Sudah siapkan kelembagaan sektor finansial kita terhadap perkembangan reksadana dan multifinance? Sektor yang lebih krusial adalah industri reksadana, karena sangat rentan terhadap manipulasi. Sebagaimana pada awal pertumbuhan sektor perbankan pada 1988, persoalan utamanya adalah institusi hukum dan aturan main yang ternyata sangat lemah. Akibatnya, liberalisasi sektor perbankan bukannya menghasilkan struktur pembiayaan yang kuat bagi sektor riil, justru sebaliknya menyebabkan keterpurukan yang luar biasa. Inti persoalannya, sektor perbankan tidak dikelola dengan baik, sehingga tidak memiliki daya dukung yang kuat terhadap struktur perekonomian nasional secara umum. Sekilas, kita bisa melihat betapa liberalisasi hanya menciptakan struktur industri perbankan yang rapuh. Sejak Paket Oktober 1988 (Pakto), terlalu banyak bank berdiri sehingga persaingan sangat tinggi dan pada gilirannya kualitasnya menjadi sangat buruk. Sementara itu, struktur aset dan kewajiban timpang karena fungsi pengawasan yang lemah. Hal tersebut bisa ditunjukkan dengan besarnya off balance sheet liabilities dari keseluruhan aset di sektor perbankan, yaitu sekitar 63% yang tidak diungkapkan dan di-hedging secara benar. Singkatnya, liberalisasi tanpa kerangka kelembagaan yang baik, justru berakibat sangat fatal. Zaman dengan orde liberalisasi berulang kembali.

Sektor finansial yang dibiarkan tumbuh tanpa adanya regulasi dan kelembagaan yang kuat, dipastikan hanya akan menjadi bumerang di kemudian hari. Sudah saatnya otoritas di sektor keuangan, seperti Bappepam, BEJ, BI mengintegrasikan koordinasi untuk membangun kerangka kelembagaan yang kuat bagi perkembangan sektor finansial. Dunia perbankan yang ternyata masih menyimpan bara persoalan, harus segara diselesaikan, baik dengan cara merger, likuidasi maupun dengan mengaktifkan seluruh perangkat pengawasan yang sementara ini masih terlihat tidak maksimal. Tanpa pemulihan sektor perbankan serta kesehatan sektor finansial pada umumnya, stabilitas ekonomi makro yang sudah mulai tercipta akan terganggu kembali. Dan jika stabilitas jangka pendek kembali terjadi (meski dalam derajat yang lebih kecil ketimbang 1997/1998 lalu) tetap saja akan mengganggu usaha menciptakan pertumbuhan dalam jangka panjang. Sebenarnya, pemerintahan baru memiliki peluang yang sangat besar untuk secara lebih terfokus membenahi kelembagaan di setiap sektor ekonomi, agar tercipta struktur ekonomi yang kuat. Sayangnya, pemerintahan baru belum juga maksimal mengarahkan kebijakan-kebijakannya dalam rangka penguatan kelembagaan. Sebaliknya aroma yang terasa adalah usaha untuk melanggengkan kekuasaan dengan berimprovisasi melalui penetrasi pada kekuatan-kekuatan politik. Moga-moga manuver Wakil Presiden Jusuf Kalla mencengkeram Partai Golkar tidak berlanjut dengan manuver politik yang lain, karena stabilitas serta pemulihan ekonomi akan menjadi taruhannya.

Sementara itu, rakyat sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi kesungguhan pemerintah mengatasi krisis ekonomi. Tanpa kredibilitas dari pemerintah, kebijakan tidak populis seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), mencabut subsidi, privatisasi serta liberalisasi di berbagai sektor hanya akan menggerakkan kemarahan massa-rakyat. Kesungguhan, kredibilitas dan kerja keras harus terlebih dahulu ditunjukkan, sebelum mengajak rakyat bersama-sama hidup lebih menderita, guna mencapai tahap pemulihan ekonomi yang lebih tinggi.
Bank Indonesia diminta mengumumkan kesehatan bank di Indonesia demi menjamin keselamatan uang masyarakat. Per 22 Maret 2007, rencananya pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya akan menjamin simpanan masyarakat di perbankan sampai Rp 100 juta per nasabah per bank. Lantaran hal itu, masyarakat perlu mengetahui kesehatan bank secara transparan melalui intervensi BI.
Demikian diungkapkan Pengamat Ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi, Kamis (15/3) di Medan dalam sebuah diskusi perbankan yang diselenggarakan Bank Mandiri. “Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, maka bank dan masyarakat harus sama-sama proaktif. Pihak perbankan harus meyakinkan mereka,” kata Pande.
Dia menuturkan akan terjadi perang informasi bahwa masing-masing bank mengklaim dirinya sehat. Para nasabah perlu mengetahui mana bank yang terindikasi tidak sehat. Dia meminta agar masyarakat tidak terkelabui dengan apa yang disampaikan pihak bank. Salah satunya adalah dengan mengetahui indikator-indikator Loan Deposit Ratio (LDR), Capital Adequaces Ratio (CAR), dan Net Interest Margin (NIM).
“Indikator-indikator itu tidak dengan sendirinya bisa diketahui masyarakat. Namun, perlu adanya pihak ketiga yang menginformasikan hal itu. Mereka bisa datang dari media ataupun Bank Indonesia. Saya kira BI bisa melakukan itu,” tutur dia.
Hati-hati
“Saya memprediksi, BI akan dituntut masyarakat untuk mengumumkan kesehatan bank ke masyarakat. Pada tahap selanjutnya, Nasabah bank yang menyimpan dana di atas Rp 100 juta harus betul-betul mencermati kesehatan dan kemampuan bank mereka,” tutur dia.  
Berdasarkan data BI, dana pihak ketiga yang disimpan di perbankan meningkat dari Rp 1.127 triliun di tahun 2005 menjadi Rp 1.287 triliun pada Desember 2006. Indikator kesehatan perbankan seperti CAR, LDR, dan NIM rata-rata meningkat 2,2 persen, 1,9 persen, dan 0,6 persen.
Di kesempatan yang sama, senada dengan Pande, Direktur Penjamin dan Manajemen Resiko Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani mengatakan bank harus dikelola secara profesional dan terbuka agar dapat dipercaya. Menurut dia, nasabah harus selektif dan tidak mudah terbujuk oleh imbalan bunga tinggi.
Kepala Kantor Wilayah I Bank Mandiri Medan Wahyu Widodo mengatakan Bank Mandiri siap dengan kebijakan baru tersebut. “Struktur permodalan yang kuat dengan CAR 25,3 persen jauh di atas ketentuan minimum BI sebesar 8 persen. Ini adalah alasan untuk melaksanakan ketentuan baru itu. Prioritas kenyamanan nasabah menjadi prioritas utama bagi Bank Mandiri,” tutur dia.
VI.       BI SUSUN ATURAN BANK SYARIAH
`Bank Indonesia saat ini masih menggodok peraturan mengenai kesehatan bank syariah, menyusul aturan-aturan dasar lain yang telah dikeluarkan. Menurut Deputi Gubernur BI Maulana Ibrahim di Jakarta, Jumat (23/1), aturan mengenai kesehatan perbankan syariah harus dibedakan dengan sistem konvensional.
"Mengingat titik berat sistem syariah adalah proteksi pada investor atau nasabah, menggunakan sistem bagi hasil," ujar Maulana. Maulana juga mengatakan, Arsitektur Perbankan Indonesia (API) tetap menjamin eksistensi perbankan syariah. Dalam kerangka dasar sistem perbankan Indonesia itu, bank syariah diakomodasi dalam kelompok bank yang melakukan jasa khusus.
Menurut Maulana, API disusun mengacu pada peraturan perbankan yang telah ada. "Rancangan API kan harus sesuai dengan undang-undang, dan peraturannya sudah mengamanatkan sistem perbankan kita terdiri atas perbankan konvensional dan syariah. Karena itu, perbankan syariah ditampung dalam kelompok bank yang melaksanakan jasa khusus," ujarnya.
Dalam rancangan API yang disampaikan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dua pekan lalu disebutkan, dalam 10-15 tahun ke depan bank-bank diharapkan dapat meningkatkan permodalan untuk mencapai struktur perbankan yang optimal.
Berdasarkan besarnya modal, perbankan nasional ke depan digolongkan dalam empat kelompok, yaitu dua hingga tiga bank dengan kapasitas dan kemampuan beroperasi di wilayah internasional dengan modal minimum Rp 50 triliun. Kelompok kedua, tiga sampai lima bank nasional dengan modal Rp 10 triliun-Rp 50 triliun.
Di bawahnya adalah 30-50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kompetensi masing-masing bank, dengan modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun. Terakhir, kelompok bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas bermodal kurang dari Rp 100 miliar.

Dirilis, Sistem Baru Penilaian Kesehatan Bank Syariah

Perkembangan perbankan Syariah saat ini dan ke depan diperkirakan akan memiliki produk dan jasa perbankan yang semakin beragam dan kompleks, sehingga eksposur risiko yang dihadapi juga akan meningkat.
''Perkembangan metodologi penilaian kondisi bank yang bersifat dinamis, mendorong pengaturan kembali sistem penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah, agar dapat memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai kondisi saat ini dan mendatang,'' kata Deputi Gubernur, Siti Chalimah Fadjrijah di Jakarta, pekan lalu.
Dia menjelaskan, meningkatnya eksposur risiko tersebut akan mengubah profil risiko bank syariah yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank tersebut. Untuk itulah Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yang berlaku mulai 24 Januari 2007.
Dalam penilaian tingkat kesehatan tersebut, bank syariah telah memasukkan risiko yang melekat pada aktivitas bank. Ini merupakan bagian dari proses penilaian manajemen risiko.
Bank Umum Syariah wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara triwulanan, yang meliputi faktor-faktor Permodalan (capital), Kualitas aset (asset quality),Rentabilitas (earning), Likuiditas (liquidity), Sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk), dan Manajemen (management).
Ia menambahkan, penilaian peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor financial (permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar) dihitung secara kuantitatif dan kualitatif dengan mempertimbangkan unsur judgement. (bn-59)


VII.     KESEHATAN BANK NASIONAL MEMBAIK
Kondisi kesehatan perbankan nasional mengalami perbaikan, di mana rasio kecukupan modal (CAR) rata-rata hingga saat ini mencapai 20,7 persen dengan jumlah kredit yang disalurkan Rp 904 triliun, atau tumbuh 19,4 persen.
Demikian dikemukakan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah pada acara Forum Strategis Bank Indonesia 2007, Rabu (29/8).
"Saya berharap hingga akhir tahun ini kredit bisa tumbuh 20 hingga 22 persen dan kredit bermasalah (NPL) terus dijaga pada tingkat yang relatif rendah 6,36 persen (gross) atau 2,89 persen (nett)," kata Burhanuddin Abdullah. Kesehatan bank, hemat dia, kian menjadi bekal penting guna membendung gejolak eksternal.
Burhanuddin mengemukakan gejolak eksternal dalam tiga minggu terakhir telah memberi pelajaran penting dalam manajemen makroekonomi Indonesia di tengah rezim devisa bebas nilai tukar yang dianut. "Setidaknya ada tiga pelajaran penting yang dapat dipetik dari kondisi ini," kata Burhanuddin.
Pertama, perlunya Bank Indonesia berhati-hati dalam merumuskan dan mengelola kebijakan ekonomi nasional. Kedua, pentingnya membangun fundamental ekonomi yang kokoh. Ketiga, tetap melaksanakan proses pembangunan secara bertahap dengan tetap menjaga keseimbangan berbagai hal terkait proses pembangunan tersebut.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan industri perbankan nasional secara fundamental, relatif sudah jauh lebih kuat dibanding sebelum krisis perbankan 1997.
Indikasi keberhasilannya, lanjut Presiden, bisa dilihat pada saat ini di mana pasar finansial global sedang terjadi gonjang-ganjing sementara industri perbankan sudah punya mekanisme dalam mengelola risiko dan juga katup-katup pengaman.

“Terbukti, gejolak pasar finansial global tidak sampai mempengaruhi industri perbankan kita. Makroekonomi kita juga makin kokoh, yang tak luput dari kontribusi perbankan juga,” kata Presiden.  

Penjaminan Bergantung pada Kesehatan Bank

Menteri Keuangan Boediono mengatakan, premi penjaminan dalam Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan didasarkan pada tingkat kesehatan bank. "Idealnya, penetapan premi didasarkan pada tingkat kesehatan tiap-tiap bank atau risk based-nya," tuturnya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, kemarin.
Modal awal pendirian LPS, lanjut dia, akan bersumber pada premi penjaminan yang ada pada saat pelaksanaan program penjaminan oleh pemerintah sampai terbentuk LPS yang diperkirakan sekitar Rp 4 triliun. "Jumlah itu masih tetap terbuka untuk dibahas bersama Dewan mengenai modal yang cukup bagi LPS," tambahnya.
Sementara itu, Darmin Nasution, Dirjen Lembaga Keuangan mengatakan, premi penjaminan akan berdasarkan pada risiko kegagalan bank, sehingga makin besar risiko bank ditutup kian besar pula preminya.
"Makin kecil risiko bank ditutup atau makin sehat banknya, kian kecil pembayaran preminya," tegas dia.
Dalam LPS, kata dia, diusulkan pembayaran premi 0,1% dari rata-rata dana pihak ketiga untuk satu sampai dua tahun pertama. Setelah itu berdasarkan pada risiko kesehatan bank. Pada saat ini premi penjaminan yang ditentukan oleh BPPN 0,25% dari rata-rata dana pihak ketiga setahun.
Dia menyebutkan, kisaran antara premi terkecil dan tertinggi yang harus dibayarkan untuk penjaminan tidak sampai 0,5%, sehingga bank yang paling sehat preminya bisa di bawah 0,1%.
Mengenai lingkup penjaminan simpanan, dia mengatakan, nanti hanya akan menjamin simpanan dana pihak ketiga. Namun, pengurangan lingkup penjaminan dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, satu tahun setelah LPS terbentuk penjaminan hanya berlaku untuk dana pihak ketiga dan transaksi antarbank. Kedua, enam bulan berikutnya hanya simpanan dana pihak ketiga yang akan dijamin.
Dalam RUU LPS disebutkan, LPS merupakan lembaga independen yang memiliki kewenangan publik dan bertanggung jawab kepada presiden. Presiden tidak dapat memberhentikan pemimpin LPS kecuali berdasarkan ketentuan yang ditetapkan UU LPS.
LPS akan dipimpin oleh dewan komisioner dan kepala eksekutif yang terdiri atas profesional yang memiliki pengalaman dan keahlian di bidangnya.
Tambah Modal
Sementara itu 55 bank yang saat ini modalnya masih di bawah Rp 100 miliar bersedia menambah modal sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia.
"Namun untuk penambahan modal tersebut saat ini Bank Indonesia (BI) belum memperbolehkan bank-bank tersebut melakukan lewat kredit investasi kolektif efek beragunan aset," kata Mulyaman Hadad, Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan yang juga Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan BI di Gedung BI Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Keinginan bank menambah modal lewat kredit investasi kolektif efek beragunan aset tersebut, menurut di, masih belum memungkinkan karena hingga saat ini BI belum memiliki aturannya.
"Kami masih akan mengkaji apakah bank bisa menambah modalnya lewat kredit tersebut. Itu nanti akan ada peraturannya. Sekarang belum, mungkin pada akhirnya bisa karena aturannya belum ada. Tapi memang memungkinkan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)," tambahnya.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia BI memutuskan agar bank meningkatkan modal minimumnya menjadi di atas Rp 100 miliar pada tahun 2010. Saat ini ada 55 bank yang modalnya masih di bawah Rp 100 miliar.
"Namun pada dasarnya ke-55 bank itu telah bersedia mengikuti koridor yang diatur dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Mereka saat ini tengah bersiap-siap menambah modal atau melakukan merger," tuturnya.
Bahkan, lanjut dia, bank-bank yang saat ini memiliki modal di atas Rp 100 miliar, contohnya Bank BRI, Bank BNI, dan Bank Mandiri tengah menggelar sejumlah program dalam upaya meningkatkan dan memperkuat permodalan.
BI, tegas dia, tidak akan mengubah ketentuan yang berlaku dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Sejauh ini belum ada yang mengajukan rencana merger mengingat tenggang waktu untuk mencapai ketentuan modal itu masih sekitar 7 tahun lagi.
"Untuk bank syariah sejauh ini tidak ada masalah karena semua modalnya sudah di atas Rp 100 miliar."(dtc-53e)

VIII.    CARA MUDAH MEMILIH BANK SEHAT

Jangan panik menghadapi turunnya batas penjaminan yang kini hanya berlaku untuk simpanan di bawah Rp 100 juta. Agar dana simpanan Anda aman, pilihlah bank yang sehat dan berwatak baik. Memilih bank seperti itu tidak terlalu sulit. Berikut beberapa tipnya.
Ini berarti, para deposan yang memiliki dana simpanan dalam jumlah besar harus bersiap menerapkan strategi baru. Maklum, mulai hari itu, Lembaga Penjamin Simpanan menurunkan batas penjaminan simpanan di bank, dari Rp 1 miliar menjadi hanya Rp 100 juta Kebijakan ini berlaku terhadap gabungan seluruh rekening simpananseperti deposito, tabungan, giroatas nama seorang nasabah di sebuah bank.
Salah satu langkah paling penting dan mutlak dalam menghadapi penurunan batas penjaminan simpanan bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan itu adalah: teliti memilih bank. Sebab, kita sebetulnya membutuhkan talangan dari LPS hanya jika bank tempat kita menyimpan duit itu bermasalah, bangkrut, dan akhirnya dilikuidasi oleh Bank mdonesia Kalau banknya sehat-sehat saja, mestinya berapa pun besarnya dana simpanan kita tak ada masalah sama sekali.
Bagaimana cara memilih bank yang sehat dan layak dipercaya? Ada dua faktor yang bisa kita gunakan sebagai alat ukur. Yakni:
1.                  Faktor kuantitatif Indikator kesehatan bank secara kuantitatif bisa kita lihat dari rasio-rasio keuangannya Ada dua rasio utama yang bisa menjadi alat ukur kesehatan sebuah bank.
Pertama, rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR). Secara sederhana, rasio ini mencerminkan tingkat kekuatan permodalan bank menghadapi kemungkinan terjadinya kredit macet. Saat ini, Bank Indonesia menentukan batasan minimal CAR adalah 8%. Jika rasio kecukupan modal sebuah bank berada di bawah 8%, kemungkinan besar Bank Indonesia akan melikuidasi atau menutup bank tersebut.
Meskipun resminya BI masih membatasi CAR minimal sebesar 8%, namun di pasar umumnya orang menilai sebuah bank layak dikatakan sehat jika CAR-nya tidak lebih kecil dari 12%.
Kedua, lihat pula dari rasio kredit bermasalah alias nonperforming loan atau yang biasa disingkat NPL. Berbalikan dengan CAR, semakin kecil rasio NPL ini semakin aman bank tersebut. BI sendiri mematok batasan NPL ini maksimal 5%.
Jika sebuah bank menawarkan bunga yang amat tinggi atau uningiming hadiah mewah, sementara kita lihat NPL-nya sudah melewati 5%, waspadalah! Sebab, bank itu memenuhi persyaratan utama untuk mati.
Lantas, dulu di saat krismon, kredit macet di sektor korporasi memang menjadi biang kerok matinya bank. Belakangan, bank-bank memang sudah mengerem penyaluran kredit korporasi. Tapi, itu bukan berarti bahwa risiko likuidasi bank akibat membengkaknya NPL sudah hilang. Menurut Iigwina Poerwo-Hananto,
CEO Quantum Magna Financial, saat ini risiko kredit macet bank datang dari sektor kredit konsumsi dan kredit tanpa agunan yang jor-joran ditawarkan bank.
Di luar dua rasio utama kesehatan bank tadi, ada beberapa rasio lain yang bisa kita perhatikan untuk memantapkan langkah kita memilih sebuah bank. Sebut saja rasio penyaluran kredit alias loan to deposit ratio (LDR). Bank yang sehat adalah bank yang tingkat LDR-nya tinggi, namun tingkat NPL-nya rendah. Ini berarti bank tersebut cukup aktif menyalurkan kredit dan kredit tersebut lancar. Angka ideal LDR ini adalah sekitar 85%-90%.
Rasio lain adalah rasio bunga bersih alias net interest margin (NIM) yang mencerminkan tingkat keuntungan sebuah bank. Semakin besar NTM-nya, semakin besar dan semakin sehat sebuah bank.
Lalu, dari mana kita bisa memperoleh data mengenai rasio-rasio kesehatan itu? Enggak sulit, kok. Kita tinggal memelototi publikasi laporan keuangan perbankan yang setiap tiga bulan sekali dimuat di media massa Atau, kita juga bisa mengunjungi situs-situs bank yang biasanya memuat data-data laporan keuangan, termasuk rasio-rasio penting tersebut. "Masalahnya, selama ini, tidak semua orang membacanya. Yang banyak membaca itu justru analis dan pelaku bisnis," cetus Imam T. Saptono, Sekretaris Perusahaan Permata Bank. Nah, mulai sekarang, meskipun bukan analis saham, Anda pun kudu rajin memelototi data-data keuangan bank.
2.                  Faktor kualitatif Faktor kualitatif ini bisa kita cermati dari sepak terjang alias track record pemegang saham mayoritas sebuah bank. Secara umum, kita bisa membedakan kepemilikan saham bank menjadi bank lokal dan bank asing. Umumnya, orang menilai prosedur audit bank asing lebih ketat dibandingkan dengan bank lokal. Meskipun kini, prosedur audit bank lokal juga mulai membaik.
Kini semakin sulit memisahkan antara bank lokal dan bank asing secara saklek. Sebab, banyak pula bank lokal yang kini mayoritas sahamnya sudah berada di tangan investor asing. Sebut saja Bank Danamon, Permata Bank, Bank Niaga, Bank Buana, Bank NISP, BH, dan lippo Bank.
Hal lain dalam faktor kualitatif ini adalah tim manajemennya apakah mereka kompeten, berpengalaman, dan prudent alias menerapkan prinsip kehati-hatian. "Soal ini, bisa kita lihat dari tata kelola yang baik atau good corporate governance. Lihat juga cara mereka melaporkan hasil kerja mereka, transparan atau tidak," saran Roy. Tak lupa, nasabah sebaiknya juga memperhatikan kualitas pelayanan bank. Semakin banyak fasilitas, semakin luas jaringan, dan semakin banyak kemudahan bertransaksi yang ditawarkan sebuah bank, tentu akan semakin menguntungkan nasabah.
"Soal ini, bisa kita lihat dari tata kelola yang baik atau good corporate governance.
Sekarang giliran Anda untuk menilai. Apakah bank tempat Anda menyimpan dana hasil jerih payah Anda selama ini sudah memenuhi ukuran sehat tersebut, sehingga Anda memang layak menyimpan duit di situ?
Konsep mengenai bank bermasalah berdampak sistemik yang diatur pada PBI tentang FPD berbeda dengan konsep bank bermasalah berdampak sistemik yang diatur dalam UU No. 24 tahun 2004 tentang LPS. Bank bermasalah disebut juga dengan bank gagal yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bank gagal berdampak sistemik dan bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Suatu bank disebut sebagai bank gagal apabila:

·         Bank mengalami kesulitan keuangan.
·         Masalah keuangan yang dialami bank dapat membahayakan usahanya.
·         Bank tidak lagi dapat disehatkan kembali oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP).

Salah satu syarat penyaluran FPD adalah bahwa bank yang kesulitan likuiditas dan berdampak sistemik haruslah masih dalam keadaan solven sehingga masih dapat diselamatkan. Sementara pada UU tentang LPS, penanganan bank gagal yang berdampak sistemik oleh LPS adalah terhadap bank yang tidak dapat diselamatkan karena dianggap tidak solven. Masalah solven atau tidaknya suatu bank dapat dilihat dari faktor modal yang bersifat jangka menengah dan panjang. Sedangkan masalah likuiditas dilihat dari kebutuhan jangka pendek bank untuk memenuhi kewajibannya.
Penyelesaian yang diserahkan oleh Komite Koodinasi diperuntukkan bagi penyelesaian bank gagal berdampak sistemik. LPS menerima pemberitahuan dari LPP mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan. Jika bank yang bermasalah tersebut dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh LPP sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya maka bank bermasalah tersebut menjadi bank gagal. Jika bank gagal tersebut dinyatakan berdampak sistemik oleh komite koordinasi, maka LPS melakukan penanganan bank gagal berdampak sistemik setelah menerima penyerahan dari komite koordinasi. Dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Dengan penyetoran modal dari pemegang saham lama (open bank assistance). Pemegang saham yang melakukan penyetoran modal adalah seluruh atau sebagian dari pemegang saham lama. Salah satu cara penyetoran modal yang dapat ditempuh oleh pemegang saham lama adalah dengan menerbitkan saham biasa (common stock).
Penanganan bank gagal berdampak sistemik dengan mengikutsertakan pemegang saham lama dapat dilakukan apabila:
1.                  Pemegang saham telah menyetorkan modal sekurang-kurangnya dua puluh persen dari perkiraan biaya penanganan. enyetoran modal sebagaimana dimaksud, wajib dipenuhi oleh pemegang saham selambat-lambatnya:
·         Lima belas hari kalender setelah LPS menerima bank gagal sistemik dari Komite Koordinasi, untuk bank yang yang sahamnya tidak diperdagangkan di pasar modal.
·         Tiga puluh lima hari kalender setelah LPS menerima bank gagal sistemik dari Komite Koordinasi, untuk bank yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal.
2.                  Ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk:
·         Menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS.
·         Menyerahkan kepada LPS kepengurusan bank.
·         Tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS jika proses penanganan tidak berhasil sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terhitung sejak penyerahan pananganan bank gagal oleh Komite Koordinasi kepada LPS.

                        Pernyataan RUPS bank tersebut dituangkan dalam akta notariil. Dengan adanya pernyataan dari RUPS tersebut maka LPS dapat:
·         Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau yang menjadi hak-hak bank dan atau kewajiban bank.
·         Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan atau kewajiban bank tanpa persetujuan nasabah kreditur (purchase and assumption).
·         Melakukan penyertaan modal sementara.
·         Mengalihkan menejemen bank kepada pihak lain.
·         Melakukan merger dan atau konsolidasi dengan bank lain.
·         Melakukan pengalihan kepemilikan bank.
·         Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri dan atau mengubah
 kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.
·         Jika peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran dan atau pengubahan kontrak yang dilakukan oleh LPS menimbulkan kerugian bagi suatu pihak, pihak tersebut hanya dapat menuntut penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang diperoleh dari kontrak dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan dengan nyata dan jelas kerugian yang dialaminya.

3.                  Bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai:
·         Penggunaan fasilitas pendanaan dari BI.
·         Data keuangan nasabah debitur.
·         Struktur permodalan dan susunan pemegang saham tiga tahun
      terakhir.
·         Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan
      permodalan bank yang dibutuhkan LPS.

Penyerahan pernyataan RUPS dan dokumen bank yang dimintakan LPS tersebut di atas wajib dipenuhi oleh bank selambat-lambatnya satu hari kerja setelah LPS menerima penanganan bank gagal sistemik dari Komite Koordinasi.

Keputusan dari LPS untuk melakukan penanganan dengan mengikutsertakan pemegang saham lama adalah tiga hari kerja setelah tanggal penyetoran modal sebesar dua puluh persen dari perkiraan biaya penanganan oleh pemegang saham. Keputusan LPS tersebut ditetapkan dalam suatu keputusan dewan komisioner yang diberitahukan kepada LPP dan Komite Koordinasi. LPS juga dapat mengumumkan bank gagal berdampak sistemik yang sedang dalam penanganan pada home page LPS.

Lembaga Penjamin Simpanan menghitung dan menetapkan perkiraan biaya penanganan bank gagal sistemik. Perkiraaan biaya dimaksud adalah jumlah perkiraan biaya untuk menambah modal disetor bank yang bersangkutan sampai bank tersebut memenuhi ketentuan mengenai tingkat kesehatan bank. Penghitungan perkiraan biaya penanganan adalah sebesar jumlah kekurangan KPMM yang ditetapkan oleh LPP dan dapat ditambah dengan jumlah tertentu yang dipandang perlu oleh LPS.
Sejak tanggal adanya penetapan LPS untuk melakukan penanganan bank gagal dengan mengikutsertakan pemegang saham lama, maka:
1.      Pemegang saham dan pengurus bank melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hak, kepemilikan, kepengurusan, dan atau kepentingan lain pada bank dimaksud.
2.      Pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Setelah pemegang saham bank melakukan penyetoran modal perlu diperhatikan keadaan ekuitas bank, jika:
1.      Ekuitas bank bernilai positif, LPS dan pemegang saham lama membuat perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham bank. Dalam perjanjian tersebut diatur mengenai penggunaan hasil penjualan saham bank dengan urutan sebagai berikut:
·         Pengembalian seluruh biaya penanganan yang telah dikeluarkan LPS.
·         Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada posisi sesaat setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal.
·         Jika setelah penggunaan hasil penjualan saham bank masih ada sisa maka akan dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama.

2.      Ekuitas bank bernilai nol atau negatif, maka pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank.

Lembaga Penjamin Simpanan bertanggung jawab atas kekurangan biaya penanganan bank setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal dan seluruh biaya penanganan bank menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. Kekurangan biaya penanganan tersebut dapat dapat disetorkan oleh LPS secara sekaligus atau bertahap. Jika syarat yang dari LPS belum dipenuhi oleh bank sebelum berakhirnya jangka waktu, maka LPS dapat melakukan penyetoran pendahuluan atas kekurangan biaya penanganan bank gagal sistemik setinggi-tingginya sebesar 80% dari perkiraan biaya penanganan.
Lembaga Penjamin Simpanan juga berkewajiban menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama tiga tahun sejak pemegang saham dan pengurus bank menyerahkan segala hak, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan bank kepada LPS. Penjualan saham tersebut harus dilakukan secara transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. Jika tingkat pengembalian optimal tidak dapat dicapai dalam jangka waktu tiga tahun, maka dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya dua kali dengan masing-masing perpanjangan selama satu tahun.

Jika penanganan bank gagal berdampak sistemik dengan mengikutsertakan pemegang saham tidak dapat dilakukan, maka LPS melakukan penanganan bank gagal tanpa mengikutsertakan pemegang saham. Adapun yang menjadi penyebab LPS tidak mengikutsertakan pemegang saham dalam penanganan bank gagal berdampak sistemik adalah:
1.            Pemegang saham lama tidak bersedia memenuhi syarat penyetoran modal sebesar dua puluh persen dari perkiraan biaya penanganan tanpa menunggu berakhirnya batas waktu.
2.            Bank tidak dapat memenuhi persyaratan yang diajukan oleh LPS dalam jangka waktu yang ditentukan.

Keputusan penanganan bank gagal berdampak sistemik tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama ditetapkan dalam suatu keputusan dewan komisioner LPS yang diberitahukan kepada LPP dan Komite Koordinasi. LPS dapat mengumumkan bank gagal sistemik tersebut pada home page LPS.
Sejak LPS menetapkan untuk menangani bank gagal tanpa melibatkan pemegang saham lama maka:
1.            LPS mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan atau kepentingan lain pada bank dimaksud. Setelah itu LPS dapat melakukan tindakan:
·         Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau yang menjadi hak-hak bank dan atau kewajiban bank.
·         Melakukan penyertaan modal sementara.
·         Menjual dan mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan atau kewajiban bank tanpa persetujuan nasabah kreditur.
·         Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain.
·         Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain.
·         Melakukan pengalihan kepemilikan bank.
·         Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga yang menurut LPS merugikan bank.

Jika peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran dan atau pengubahan kontrak yang dilakukan oleh LPS menimbulkan kerugian bagi suatu pihak, pihak tersebut hanya dapat menuntut penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang diperoleh dari kontrak dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan dengan nyata dan jelas kerugian yang dialaminya.
2.                  Pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk oleh LPS jika penanganan bank gagal tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pernyataan RUPS tersebut dituangkan dalam suatu akta notariil.

Seluruh biaya penanganan bank gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. LPS berkewajiban menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama tiga tahun sejak dimulainya penanganan. Penjualan saham tersebut dilakukan secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS, yaitu paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. Jika dalam jangka waktu tiga tahun tingkat pengembalian optimal belum dapat dicapai, maka dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya dua kali dengan masing-masing perpanjangan selama satu tahun. Jika dengan perpanjangan waktu tersebut tingkat pengembalian optimal tidak dapat dicapai, maka LPS dapat menjual saham bank dengan mengabaikan ketentuan tingkat pengembalian optimal dalam jangka waktu satu tahun berikutnya.
Jika ekuitas bernilai positif pada saat penyerahan bank kepada LPS, maka dibuat perjanjian mengenai penggunaan hasil penjualan saham bank dengan ketentuan:
o    Pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh LPS.
o    Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada saat penyerahan.
o    Jika masih ada sisa dari hasil penjualan saham, maka sisa tersebut akan dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama.
Namun jika ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat penyerahan bank kepada LPS, maka pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank setelah penanganan.
Saham preferen yang dapat dikonversikan menjadi saham biasa (convertible preferred stock) akan diterbitkan bank dalam rangka penyertaan sementara LPS. Saham preferen yang dapat dikonversikan menjadi saham biasa akan dijual LPS kepada pihak lain. Saham preferen yang dapat dikonversikan menjadi saham biasa adalah saham yang memberikan hak istimewa dalam:
·         Perolehan pembayaran deviden tidak secara kumulatif.
·         Perolehan pembayaran terlebih dahulu dalam hal bank dilikuidasi.

Selama masa penananganan bank tidak diperkenankan untuk membagi deviden dan seluruh biaya yang timbul sehubungan dengan penjualan saham bank menjadi beban pemegang saham. Selain itu bank gagal sistemik yang berada di dalam penanganan LPS juga diwajibkan menyampaikan:
·         Laporan mengenai kinerja keuangan.
·         Laporan rasio-rasio keuangan termasuk rasio kewajiban KPMM.
·         Laporan lainnya yang diperlukan LPS.
Selama bank gagal sistemik dalam penanganan LPS, jika menurut penilaian LPP kondisi keuangan bank menurun sehingga memerlukan tambahan modal disetor untuk memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank, maka LPS meminta Komite Koordinasi untuk membahas permasalahan bank serta langkah-langkah yang akan diambil untuk penanganan bank tersebut.
Penanganan bank gagal sistemik dinyatakan berakhir apabila LPS telah menjual seluruh saham bank. Berakhirnya penanganan bank sistemik ditetapkan dalam suatu keputusan dewan komisioner LPS dan diberitahukan kepada LPP dan Komite Koordinasi.

KESIMPULAN


Alternatif  Penyehatan Perbankan Nasional

Ada 3 alternatif yang dapat digunakan untuk penyehatan perbankan Nasional, yaitu :
  • Merubah peraturan Bank Indonesia (CAR 8% dan NPL 5%)
    Alternatif pertama akan menimbulkan
    moral hazard CAR 8% belum cukup untuk mendukung Bank yang kuat dan efisien
  • Redistribusi Obligasi Pemerintah
    Alternatif kedua sulit dilakukan karena tidak sesuai dengan kondisi pasar
  • Penukaran dengan Aset (Asset Swap)
    Alternatif ketiga juga sulit dilakukan disebabkan terbatasnya aset yang telah direstrukturisasi di BPPN, sulitnya penentuan harga, dan mekanisme swap.
Cara Memilih Bank Yang Sehat
Ada dua faktor yang dapat kita gunakan sebagai alat ukur yaitu :
  •  Faktor kuantitatif Indikator kesehatan bank secara kuantitatif bisa kita lihat dari rasio-rasio keuangannya Ada dua rasio utama yang bisa menjadi alat ukur kesehatan sebuah bank.
  • Faktor kualitatif Faktor kualitatif ini bisa kita cermati dari sepak terjang alias track record pemegang saham mayoritas sebuah bank. Secara umum, kita bisa membedakan kepemilikan saham bank menjadi bank lokal dan bank asing. Umumnya, orang menilai prosedur audit bank asing lebih ketat dibandingkan dengan bank lokal. Meskipun kini, prosedur audit bank lokal juga mulai membaik.

DAFTAR PUSTAKA
·        Sudarsono, Heri, 2004, Bank dan lembaga keuangan Syari’ah, Ekonisia, Yogyakarta.
·        Kasmir, 2002, Bank dan lembaga keuangan lainnya, Raja grafindo persada, Jakarta.
·        Alma, Prof. DR.H, Buchari, 2003, Dasar-dasar etika bisnis Islami, alfabeta, Bandung.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar