Sabtu, 05 Mei 2012

TURUT BERBUAT JARIMAH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Pembicaraan dalam makalah ini di bagi menjadi empat bagian, yaitu mengenai pengertian dan bentuk-bentuk turut berbuat serta perhatian fuqaha terhadap soal: turut berbuat-langsung dan turut berbuat tidak-langsung.
A.           PENGERTIAN DAN BENTUK TURUT BERBUAT
Suatu jarimah adakalanya diperbuat oleh seorang diri dan adakalanya oleh beberapa orang. Apabila di perbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama antara mereka tidak lebih dari empat :
a.    Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain (memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan bersama-sama.
b.    Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
c.    Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk memperbuat jarimah.
d.    Member bantuan dan kesempatan untuk dilakukannya jarimahdengan brbagai-bagai cara tanpa turut berbuat.
Untuk membedakan antara turut-berbuat-langsung dengan turut-berbuat-tidak-langsung, maka dikalangan fuqaha diadakan dua penggolongan, yaitu: 1. Orang yang turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah, disebut syarik mubasyir”. Dan perbuatannya disebut “isytirak-mubasyir” 2. Orang yang tidak turut berbuat-secara langsung dalam melaksanakan jarimah disebut “syarik mustasabbib” , dan perbuatannya disebut “isytirak ghairul mubasyir”, atau “ isytirak bit-tasabbubi”.
Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah kalau orang pertama menjadi kawan nyata dalam pelaksanaan jarimah, sedang orang kedua menjadi sebab adanya jarimah, baik karena janji-janji atau menyuruh (menghasut) atau memberikan bantuan, tetapi tidak ikut serta secara nyata, dalam melaksanakannya.
Pada KUHP Indonesia pasal 55, kita dapati bentuk-bentuk kerjasama dalam melaksanakan jarimah, yaitu: melakukan, menyuruh melakukan, turut melakukan dan menghasut, yang dijatuhi hukuman sebagai pembuat. Pada pasal 56, kita dapati bentuk lain yang diancam sebagai pembantu melakukan jarimah, yaitu: membantu waktu kejahatan dilakukan, dan member kesempatan, ikhtiar dan keterangan untuk melakukan kejahatan. Sering-sering hanya menjadi orang yang tidak berbuat menjadi perencana (otak), kejahatan (intellectuele dader). Disebut juag “pembuat tidak langsung” (middelijke dader) atau peminjam tangan. Orang yang bebruat sendiri sering-sering hanya menjadi kaki tangan atau alat (werktuig), disebut juga “pembuat langsung” (onmiddelijke dader).
 Pembagian tersebut nampaknya terlalu intelektualistis dan formalistis. Dalam praktek tidak mudah untuk membedakan satu bentuk kerjasama dengan bentuk lainnya, sebab ada juga bentuk-bentuk tengah (tusschenvormen).  Tidak mengherankan kiranya kalau timbul keinginan untuk menyederhanakan pembagian yaitu pembuat jarimah (daders) disatu pihak, dan dipihak lain mereka yang dengan jalan apapun juga telah memberikan kerjasamanya dalam mewujudkan suatu jarimah.
PENGERTIAN FUQAHA
Para fuqaha hanya membicarakan hukum “turut berbuat langsung” (isytirak mubasyir) , sedang hokum “turut berbuat tidak langsung” (isytirak ghaitul mubasyir) boleh dikata tidak di singgung-singgung. Boleh jadi hal ini disebabkan karena menurut aturan syari’at islam, hukuman yang telah ditentukan hanya dibutuhkan atas orang yang turut berbuatdengan langsung, bukan atas orang yang turut berbuat tidak langsung dan aturan tersebut diterapkan dengan teliti sekali oleh imam Abu Hanifah.
Akan tetapi fuqaha selainnya mengecualikan jarimah pembunuhan dan penganiayaan dan ketentuan secara umum tersebut yakniuntuk kedua macam jarimah ini, baik pembuat-langsung maupun pembuat-tidak-langsungdajatuhi hukuman. Alasannya ialah karena kedua jarimah tersebut bias dikerjakan dengan langsung dan tidak langsung, sesuai dengan sifat-sifat jarimah itu. Kalau kita berpegangan seluruhnya dengan aturan tersebut maka akibatnya banyak pembuat tidak-langsung yang terhindar dari hukuman, sedang ia sebenarnya turut serta melaksanakan jarimah tersebut seperti pembuat langsung juga.
Jadi berdasarkan aturan tersebut diatas pembuat-tidak-langsung (peminjam tangan atau orang yang menghasut umpamanya) apabila turut melakukan jarimah yang diancam hukuman tertentu (tidak ada batas terendah atau batas tertinggi), maka tidak dikenakan dengan hukuman itu sendiri, sebab hukuman tersebut hanya diancam kepada pembuat langsung saja. Dengan perkataan lain turut berbuat-tidak langsung termasuk jarimah ta’zir, baik perbuatan yang dikerjakannya itu termasuk jarimah hudud atau qisas atau diyat.
Dari sini kita dapat memahami mengapa para fuqaha tidak membicarakan secara khusus terhadap soal “turut-berbuat-tidak-langsung”, sebab perbuatan tersebut tidak termasuk jarimah hudud-qisas, yaitu jarimah yang mendapat perhatian utama dari mereka.
Meskipun demikian, perbuatan tersebutdisinggung-singgung juga oleh mereka ketika membicarakan jarimah pembunuhan dan penganiayaan, sebab jarimah-jarimah ini bias terjadi dengan jalan berbuat langsung atau tidak langsung. Dari pembicaraan mereka tersebut dapat diambil aturan-aturan tentang perbuatan ikut serta dan pada umumnya aturan-atuan tersebut tidak kalah dengan sistim terbaru pada hukum pidana positif.
B.           TURUT BERBUAT – LANGSUNG

Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila orang-orang yang memperbuat jarimah-jarimah dengan nyata lebih dari seorang atau biasa di sebut di kalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama “berbilangnya pembuat asli” (madedares).
Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seseorang melakukan sesuatu perbuatan yg d pandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang sudah cukup di sifati sebagai ma’siat, yang di maksidkan untuk melaksanakan jarimah itu. Dengan istilah sekarang ialah apabila ia melakukan percobaan, baik jarimah yang di perbuatnya itu selesai atau tidak, karena selesai atau tidaknya suatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya hukuman, apabila jarimah yang di perbuatannya itu selesai, sedang jarimah itu hanya jarimah had, maka pembuat di jatuhi hukuman had, dan maka kalau tidak selesai di jatuhi hukuman ta’zir.
Akan tetapi para fukaha mempersamakan hukuman beberapa bentuk turut-berjuang-tidak-langsung dengan turut-berjuang-langsung, meskipun pada bentuk pertama tersebut (tidak langsung) pembuat tidak turut melakukan sendiri unsur jarimah. Berdasar kan itu, maka ke dua contoh berikut ini, pembuat di jatuhi hukuman sebagai orang yang turut berbuat langsung.
Pertama: orang yang memperbuat jarimah sendirian atau bersama-sama orang lain. Jika masing-masing dari tiga orang tersebut mengarah kan tembakan kepada korban dan mati karena tembakan itu, maka ketiga orang tersebut di anddap melakukan pembunuhan. Demikian pula apabila mereka bersama-sama mengambil barang orang lain, masing-masing di anggap sebagai pencuri.
Dalam pada itu, fuqaha mengadakan pemisahan apakah kerja sama dalam mewujudkan jarimah terjadi secara kebetulan, atau memang sudah di rencanakan bersama-sama sebelumnya. Keadaan pertama di sebut “tawaquf” dan keadaan ke dua di sebut “tamalu”.
Pada “tawaquf” niatan apa peserta dalam jarimah tertuju untuk memperbuatnya, tampa ada kesepakatan sebelumnya melainkan masing-masing peserta berbuat karena dorongan pribadinya dan fikirannya yang timbul seketika itu, seperti yang sering-sering terjadi pada kerusuhan-kerusuhan demonstrasi atau perkelahian secara keroyokan.
Pada “tamalu”para peserta telah bersepakat untuk memperbuat sesuatu jarimah itu dan menginginkan bersama terwujudnya hasil jarimah itu. Serta saling membantu dalam melaksanakan-nya. Apabila ada dua orang bersepakat untuk membunuh orang ke tiga, kemudian kedua-duanya pergi, lantas yang satu mengikat korban dan yang lain memukul kepalanyasehingga mati,maka kedua-duanya bertanggung jawab atas kematian tersebut.
Menurut kebanyakan fuqaha ada perbedaan pertanggungan-jawab peserta antara “tawafuq dengan “tamalu”. Pada tawafuq, masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Jadi dalam keadaan tamalu seperti pada contoh di atas,yang satu di persalahkan karena memukuli.
Pendirian syariat islam dalam persoalan turut berbuat langsung sama dengan pendiriannya mengenai soal “jarimah percobaan”,yakni menghukum berdasar kan niatan si pembuat. Pendirian tersebut sama dengan pendirian subyektif.yang banyak di pakai pada hukum-hukum positif moderen, di antaranya ialah hukum pidana RPA.
Yurisprudensi di indonesia pada mulanya mengambil pendirian obyektif. Akan tetapi kemudian terjadi perubahan, dengan timbulnya suatu macam teori campuran (gemengde theorie) antara teori subyektif. Teori campuranmelihat kepada macamnya perbuatanyang diperbuat dan kepada perjanjian yang diadakan peserta dalam jarimah. (jongkers 109)
Kedua : juga dipandang pada turut-berbuat-langsung peserta yang menjadi sebab ( tidak langsung), apabila pembuat-langsung menjadi kaki tangannya semata-mata.pendirian ini di setujui oleh para fuqaha,akan tetapi dalam penerapannya kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat.
Jika seorang penyuruh anak di bawah umur atau orang yang mempunyai khtikad baik untuk membuat orang lain, kemudian suruhan itu di laksanakannya, maka orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pembuat langsung.menurut imam malik, syafi’i dan ahmad, meskipun ia tidak melaksanakan suatu perbuatan namun dalam keadaan demikian, orang yang di suruh hanya merupakan alat semata-mata.
Akan tetapi menurut imam abu hanifa,orang yang menyuruh tersebut tdk di anggap sebagai pembuat langsung,kecuali apabila suruhannya itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakan. Kalau tidak sampai pada tingkat paksaan ( ikrah ) maka perbuatannya tersebut (suruhan) dianggap sebagai turut berbuat-tidak langsung (bittasab bubi = si pembantu ) dan hukumannya tidak sama dengan orang yang melaksanakannya langsung.
Dikalangan hukum positif dan serjana-serjana hukum positif belum ada kesepakatan apakah kawan berbuat tidak langsung dapat dianggap sebagai pembuat langsung (dader ),aturan pidana RPA sebelum tahun 1904 mengikuti pendirian tersebut di mana seorang kepala komplotan yang menyuruh anak buahnya untuk membunuh orang lain di anggap sebagai pembuat asli (dader), bukan lagi sebagai kawan berbuat (mededader).akan tetapi sesudah tahun 1904,orang yang menyuruh tersebut hanya di anggap sebagai kawan berbua, meskipun praktek peradilan RPA sekarang masih menganggap kawan berbuat tidak langsun sebagai pembuat langsung (orang yang melakukan). Hal tersebut mungkin di karenakan kuatnya aliran subyektif dan banyaknya orang yang pertahankan aliran tersebut. Dengan demikian, seolah-olah sistem peradilan RPA mengikuti pendirian fuqaha.
Pada KUHP indonesia,kawan berbuat tidak langsung di jatuhi hukumansebagai pembuat, artinya dianggap sebagai pembuat langsung.
Hukuman Para Peserta Langsung
Pada dasarnya menurut syariat islam banyaknya pembuat jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang di jatuhkan atasannya, seperti kalau masing-masing dari mereka melakukan jarimah sendiri, meskipun masing-masingnya ketika bersama-sama dengan lainnya tidak melakukan semua bagian-bagian perbuatan yang menimbulkan akibat yang terjadi.
Walaupun demikian, masing-masing peserta dalam jarimah bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri, seperti cara terjadinya perbuatan, keadaan pembuat dan niatnya.
Boleh jadi pembuat yang sama dianggap sebagai penganiayaan bagi seseorang, sebagai pembelaan diri bagi pembuat ke dua, sebagai tindakan peringatan bagi pembuat ke tiga dan seterusnya.
Atau mungkin salah seorang pembuat gila, yg lain sehat pikirannya; lainnya sengaja berbuat, dan yang lainnya lagi berbuat karena salah sangka (kekhilafan). Semua keadaan tersebut mempengaruhi kepada berat ringannya hukuman, sebab orang yang membela diri atau memberi peringatan tidak dapat di hitung, asal tidak melebihi batas-batas yang di perlukan, dan orang yang khilaf lebih ringan dari pada orang yang sengaja berbuat.
Akan tetapi pengaruh keadaan-keadaan tersebut hanya terbatas pada ornag yang bersangkutan, artinya tidak menimbulkan pengaruh pada pembuat yang lain ( kawan berbuat ) yang tidak mengalami keadaan yang sama.
Kalau seseorang melukai orang lain dengan maksud untuk membela diri, kemudian datang orang ke tiga dengan sengaja membunuh orang lain tersebut, kemudian orang itu mati, atas perbuatannya, maka pembuat pertama tidak di jatuhi hukuman, karena pembelaan diri memperbolehkan ia berbuat demikian, sedang pembuat ke dua di jatuhi hukuman pembunuhan sengaja, karena perbuataannya itu suatu kesalahan yang di sengajakan, dan hukumannya itu tidak dapat di pengaruhi oleh terbarengnya dia dengan orang yang boleh bertindak terhadap korban.
Begitulah aturan pokok yang telah di sepakati oleh para fuqaha. Nampaknya di kalangan fuqaha tergdapat perbedaan pendapat mengenai penerapan peraturan tersebut atas jarimah hudud dan qisas. Akan tetapi apabila di teliti lebih lanjut sebenarnya yang menjadi pangkal perbedaan pendapat tersebut ialah penerapan aturan lain, yaitu aturan tentang “menhindari hukuman-hukuman HAD, karena ada SUBHAT” dan perbedaan tersebut hanya terbatas pada peristiwa yang boleh jadi perbuatan salah seorang kawan berbuat itulah yang menimbulkan akibat yang dapat di hukum, buakn perbuatan kawan berbuat lainnya, seperti peristiwa kematian karena perbuatan dua orang yang satu sengaja membunuh, sedangkan yang lain karena kekhilafan semata-mata, atau yang satu sudah dewasa dan yang lain masuh di bawah umur, atau yang satu adalah penyerang (penganiaya) dan yang lain adalah dokter.
Menurut sebagian fuqaha kegaduhan dalam (kesamaran) yang timbul, yaitu kepada perbuatan siapa peristiwa kematian itu di pertalikan, menimbul kan subhat yang karenanya kawan berbuat lainnya tidak dikenakan hukuman (jadi seluruhnya). Menurut fuqaha lainnya padfa peristiwa tersebut tidak ada kegaduhan (subhat) yang bisa menghapuskan hukukman had dan masing-masing pembuat di jatuhi hukuman yang semestinya.
Jadi perbedaan pendapat tersebut tidak terletak pada asas “tidak adanya pengaryuh keadaan seseorang atas kawan berbuatnya”, melainkan atas asas “ menghindarkan hukuman karena ada subhat”, meskipun dalam hasil praktisnya bagi yang memakai asas terkhir tersebut (subhat),ialah bahwa kawan berbuatnya dalam jarimah terpengaruh juga oleh keadaan kawannya, baik keadaan perbuatan itu sendiri atau keadaan perbuatan dan niatnya.
Asas “tidak adanya pengaruh keadaan seseorang atas kawan berbuatnya” yang di kemukakan oleh syariat sesuai sekali dengan sistem hukum pidana RPA sebgai sistem yang banyak di pakai pada hukum-hukum positif sekarang. Pasal 39 KUHP RPA menyatakan sebagai berikut : “ apabila terdapat keadaan-keadaan tertentu pada salah satu pembuat yang mengharuskan adanya perubahan pada sifat jarimah atau hukum baginya, maka keadaan tersebut tidak berlaku pada orang lain dari pembuat-pembuat tersebut. Demikian juga halnya, apabila mengharuskan adanya perubahan pada niatan pembuat jarimah atau cara mengetahui jarimah itu”.
Sistem yang sama juga di pakai dalam KUHP indonesia sebagai mana sistem yang tercantum dalam pasal 58; “keadaan diri yang menyebabkan orang tidak dapat dihukum di kurangi atau di tambahi hukumannya, waktu melakukan undang-undang pidana hanyalah boleh di perhatikan terhadap si pembuat atau si pembanntu yang ada dalam keadaan itu”.

C.           TURUT BERBUAT TIDAK LANGSUNG (ISYTIRAK BI-TASABBURI)

Yang dimaksud turut berbuat tidak langsung ialah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
Dari keterangan tersebut kita mrngetahui Unsur-unsur turut berbuat tidak langsung, yaitu :
1.        Perbuatan yang dapat dihukum (jarimah)
2.        Niatan dari orang yang turut berbuat, agar sikapnya itu perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi
3.        Cara mewujudkan perbuatan tersebut  yaitu mengadakan persepakatan, atau menyuruh, atau membantu.
Unsur Pertama
Perbuatan dimana kawan berbuat tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat langsung harus dihukum pula. Jadi pada jarimah percobaan, kawan berbuat tidak langsung tidak dapat langsung dihukum. Demikian pula apabila pembuat asli tidak dapat dihukum, misalnya karena masih di bawah umur, atau gila atau karena mempunyai i’tikad baik.
Unsur kedua
Dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya sesuatu jarimah tertentu. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya.
Kalau jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkannya maka tidak ada “turut berbuat”, meskipun karena persepakatan dan lain-lain itu sendiri ia bisa dijatuhi hukuman.
Unsur Ketiga
1.    Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami dan karena kesamaan kehendak untuk berbuat jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya, maka tidak ada “turut berbuat” kalau sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.

Jika seorang bersepakat dengan orang lain untuk mencuri kambing, kemudian pembuat langsung memukul pemilik kambing atau mencuri kambing bukan milik orang dituju, maka disini tidak ada persepakatan atas jarimah yang terjadi. Akan tetapi tidak adanya “turut berbuat” tidak berbarti bahwa persepakatan itu tidak dihukum, sebab persepakatan itu sendiri sudah merupakan perbuatan ma’siat.

Untuk terjadinya “turut berbuat” sesuatu jarimah harus merupakan akibat persepakatan. Jika seseorang bersepakat dengan orang kedua untuk membunuh orang ketiga, kemudian orang ketiga tersebut telah mengetahui apa yang akan diperbuat terhadap dirinya dan oleh karena itu ia pergi ke tempat orang kedua tersebut. Dan ia (orang ketiga) itu hendak membunuhnya terlebih dahulu, akan tetapi orang kedua itu dapat membunuh orang ketiga terlebih dahulu karena untuk membela diri, maka kematian orang ketiga tersebut tidak dianggap sebagai akibat persepakatan, melainkan karena akibat pembelaan diri dari orang kedua, yaitu orang yang mestinya akan melakukan pembunuhan sendiri terhadap orang ketiga.

Meskipun terhadap orang kedua tidak dijatuhi hukuman  karena pembelaan diri tersebut namun ia dapat dihukum karena persepakatan jahatnya dengan orang lain, sebab persepakatan jahat itu sendiri adalah suatu perbuatan maksiat yang dihukum baik dapat dilaksanakan atau tidak.

Dalam hal “turut berbuat” tidak langsung, Imam Malik mempunyai pendapat yang menyendiri, yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan orang lain, di mana yang satu menjadi pembuat yang langsung, sedang yang lain tidak berbuat tetapi menyaksikan pelaksanaan jarimah, maka orang yang menyaksikan tersebut dianggap sebagai “kawan berbuat langsung” (made dader)

2.    Menyuruh (menghasut ; tahridl)
Yang dimaksud dengan menghasut  ialah membujuk orang lain untuk berbuat jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbuatnya jarimah, walaupun tidak ada hasutan atau bujukan maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah, namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
Kalau orang yang mengeluarkan perintah (bujukan) mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintah, seperti orang tua terhadap anaknya atau guru terhadap muridnya, maka perintah tersebut bisa dianggap sebagai paksaan. Kalau yang diperintah itu tidak dibawah umur, tidak dungu atau gila dan yang memerintah tidak mempunyai kekuasaan atasnya, maka perintahnya itu dianggap bujukan biasa, yang boleh jadi menimbulkan jarimah atau tidak.
3.    Memberi bantuan (I’anah)
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam perbuatan jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung. Meskipun tidak ada persepakatan untuk itu sebelumnya, seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain. Perbedaan antara memberi bantuan dengan pembuat asli ialah kalau pembuat asli (Mubasyir) adalah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat pekerjaan yang dilarang; maka memberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan-perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksanaan terhadap perbuatan tersebut.
D.           PERTALIAN PERBUATAN – LANGSUNG DENGAN PERBUATAN TIDAK- LANGSUNG (MUBASYARAH DENGAN SEBAB)

Pertalian antara kedua macam perselisihan tersebut apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih dari kemungkinan.
1.    Perbuatan-tidak-langsung lebih kuat dari pada perbuatan langsung, dan hal ini bias terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hokum (pelanggaran hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.
2.    Perbuatan-langsung lebih kuat dari pada perbuatan-tidak-langsung. Hal ini terjadi apabila perbuatan  langsung, dapat memutus daya-kerja perbuatan-tidak-langsung, dan perbuatan tidak-langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi, seperti halnya  seseorang menjatuhkan orang lain kedalam jurang, kemudian dating orang ketiga datang  membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
3.    Kedua perbuatan tersebut seimbang, yaitu pabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah yang menggerakkan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya tidak ada pemaksa  etntunya orang kedua tidak akan berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua,belum tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.

Akan tetapi dalam penerapan(pembedaan-pembedaan)tersebut terdapat perbedaan di kalangan fukaha, seperti halnya apabila ada orang yang menahan orang lain agar tidak terjadi pembunuhan oleh orang ketiga.
Menurut iman Abu hanifa dan Syafi’I orang pertama (yang menahan) adalah peserta yang member bantuan bukan pembuat asli(langsung). Alasannya ialah bahwa orang yang menahan meskipun menjadi sebab bagi kematian orang kedua, namun orang kedualah yang melakukan pembunuhan langsung, sedangkan perbuatan langsung lebih kuat dari pada perbuatan-tidak-langsung apabila perbuatan-tidak-langsung tidak mengharuskan menimbulkan akibat.
Menurut fuqaha lainnya, yaitu iman-iman malik dan bebrapa ulama mazhab hambali,baik orang menahan maupun orang yang membunuh langsung, kedua-duanya dianggap sebagai pembunuh langsung. Alasannya ialah bahea perbuatan-perbuatan langsung dan tidak langsung pada contoh  diatas sama-sama menimbulkan akibat perbuatan jarimah yaitu ke3matian si korban.
Kalau sekiranya tidak ada salah  dari kedua perbuatan itu tentunya tidak terjadi kematian tersebut.
Jadi letak perbedaan bukan kepada siapa pembantu dan pada siapa pembuat asli (langsung), melainkan apakah perbuatan tidak langsung pada contoh tersebut  sama dengan perbuatan langsung atau tidak.
Apabila kawan berbuat mengurunkan persepakatannya atau hasutannya  maupun bantuannya, akan tetapi meskipun demikian suatu jarimah terjadi dari pembuat langsung. Maka kawan berbuat tidak di hokum, karena apa yang telah di perbuatnya tidak menjadi sebab bagi terjadinya jarimah.
Khusus mengenai hasutan, maka kawan berbuat baru di manfaatkan betul-betul kalau penghasut dapat menunjukkan bahwa dia telah menghapuskan pengaruh perbuatan atas terjadinya jarimah.

E.           PERTALIAN SEBAB AKIBAT ANTARA TURUT BERBUAT DENGAN JARIMAH

Turut berbuat baru dianggap ada, apabila benar-benar ada pertalian sebaba akibat dengan jarimah yang terjadi. Kalau bentuk turut berbuat berupa persepakatan, maka jarimah yang terjadi harus merupakan akibat persepakatan tersebut begitupun pada cara turut berbuat lainnya.
Jika seseorang karena tipu muslihatnya membawa orang lain pergi kepada suatu tempat tertentu, agar di tempat itu orang ketiga dapat membunuhnya: akan tetapi orang ketiga tersebut tidak muncul di tempat yang telah ditentukan itu, kemudian orang pertama membiarkan orang kedua pulang ke rumahnya, setelah orang ketiga mengetahui apa yang terjadi ia kemudian pergi ke rumah orang kedua dan di rumahnya ini orang kedua dibunuh, oleh orang ketiga. Dalam contoh ini orang pertama tidak dianggap sebagai kawan berbuat atau pemberi bantuan, karena tidak ada pertalian sebab akibat anatara perbuatannya dengan jarimah yang terjadi: meskipun dengan kualifikasi lain orang pertama tersebut dapat dijatuhi hukuman.

Turut-berbuat-tidak-langsung dengan jalan tidak-berbuat
Bentuk-bentuk turut berbuat tersebut di ata, yaitu persepakatan dan hasutan adalah perbuatan-perbuatan nyata (positif). Akan tetapi member bantuan tidak langsung memang pada hakekatnya berupa sikap tidak berbuat, seperti orang yang melihat segerombolan penjahat yang membunuh orang lain, kemudian didiamkan olehnya atau melihat orang yang membuang anak kecil di sungai besar tetapi ia diam dan tidak menyelamatkan anak tersebut.
Menurut kebanyakan fuqaha, berdiam diri pada contoh-contoh tersebut tidak dianggap memberibantuan kepada pembuat jarimah. Meskipun bisa dianggap bantuan dari segi akhlak (moril) namun tidak bisa dianggap bantuan perbuatan tidak langsung kepada jarimah dari segi kepidanaan, sebab pemberian bantuan yang dapat dihukum ialah yang berdasarkan atas saling mengerti anatara pemberi bantuan dengan pembuat langsung dan memang jarimah yang terjadi dikehendaki oleh pemberi bantuan.
Diam diri pada contoh-contoh tersebut boleh jadi hanya dikarenakan takut atau kurang perhatian, dan dengan diamnya itu, ia sama sekali tidak menghendaki jarimah-jarimah yang terjadi.
Akan tetapi fuqaha lain tidak berpendirian demikian, dan mereka memperbedakan antara orang yang sanggup menahan terjadinya jarimah atau menyelamatkan korban dengan orang yang tidak sanggup. Bagi orang yang sanggup, maka ia bisa dituntut dari segi kepidanaan karena dirinya, sebagai peserta dan pembantu. Bagi orang yang tidak sanggup, maka ia tidak dapat dipersalahkan karena ia tidak bisa berbuat lain.

Turut berbuat “sadar-kemungkinan-akibat”
Kawan berbuat harus mempertanggung-jawabkan pula terhadap jarimah yang diperbuat oleh pembuat asli, meskipun jarimah itu lebih besar daripada yang dimaksud oleh kawan berbuat tersebut selama jarimah itu dpaat terjadi dari tutur berbuatnya dan dari pelaksanaan jarimah tersebut.
Jika seseorang menyuruh orang lain untuk memukul orang ketiga dengan pukulan biasa akan tetapi orang lain tersebut memukulnya sedemikian kuatnya sehingga berakibat kematian, maka orang pertama, sebagai kawan berbuat, tidak saja bertanggung jawab atas pemukulan tersebut, tetapi juga atas kematian semi-sengaja, karena kematian korban adalah suatu hal yang mungkin bisa terjadi dalam melaksanakan jarimah pemukulan. 

F.            HUKUM KAWAN – BERBUAT (PEMBUAT - TIDAK - LANGSUNG)

Pada dasarnya menurut syariat islam, hukuman-hukuman yang telah ditentukan jumlahnya yakni dalam jarimah hudud dan qisas dijatuhkan atas pembuat langsung jarimah, bukan atas kawan berbuatnya (pembuat langsung). berdasarkan aturan tersebut maka siapa turut berbuat dalam jarimah hudud atas qisas,tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan jumlahnya bagaimanapun bentuk turut berbuatnya itu,melainkan dijatuhi hukuman ta’zir.
Alasan pengkhususan aturan tersebut untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas ialah pada umumnya hukuman yang telah ditentukan jumlahnya itu sangat berat,dan tidak berbuat langsungnya kawan-berbuat merupakan syubhat yang bisa menghindarkan had. kawan-berbuat pada umumnya tiadak sama bahasanya seperti pembuat langsung,oleh karena itu tidak sama hukumannya.
Meskipun pada aturannya tersebut namun kalau sekiranya perbuatan kawan tersebut (pembuat tidak langsung) bisa dipandang sebagai pembuat asli, karena pembuat asli hanya sebagi alat semata-mata maka kawan-berbuat tersebut dijatuhi hukuman had atau qisas. menurut imam malik sendiri kawan-berbuat-tidak-langsung,bagaimanapun caranya,dianggap sebagai pembuat langsung, apabila ia menyaksikan terjadinya jarimah,dan apabila pembuat asli’’tidak sanggup melaksanakan,atau kerja sama dengan orang lain.
Apakah aturan tersebut diatas,yaitu pembuatan hukuman antara pembuat asli dengan kawan berbuat tidak langsung,berlaku juga jarimah ta’zir?
Kalau kita mempersamakan jarimah ta’zir atas jarimah hudud dan qisas,maka hukuman perbuatan tidak langsung lebih ringan daripada hukuman pembuat langsung,karena aturan berlaku pada jarimah-jarimah hudud dan qisas pada galibnya juga berlaku pada jarimah ta’zir.
Kalau kita mengatakan bahwa aturan pembedaan tersebut hanya berlaku untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, dan sebab pembedaan tersebut  ialah beratnya hukuman,maka pada jarimah ta’zir,tidak ada perbedaan hukuman antara pembuat langsung dengan pembuat tidak langsung,sebab perbuatan masing-masing pembuat tersebut termasuk jarimah ta’zir dan hukumannya juga ta’zir,sedang syariat tidak memisahkan antara satu jarimah ta’zir dengan jarimah ta’zir lainnya.selama hakim mempunyai kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir maka tidak ada perlinya membuat pemisahan antara hukuman perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung bisa sama berat atau lebih berat daripada hukuman pembuat langsung berdasarkan keaadaan masing-masing pembuat dan perbuatannya.
Pengaruh Pembuat-Langsung Atas Kawan-berbuatnya
Hukuman pembuat tidak langsung adakalanya terpengaruh atau tidak terpengaruh dengan keadaan diri dan perbuatan pembuat langsung.
Dari segi perbuatan,apabila perbuatan pembuat langsung sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat tidak langsung dan perbuatan itu berupa jarimah ta’zir atau hudud dan qisas maka masing-masing menerima hukumannya seperti yang dibicarakan di atas.
Dari segi keadaan pembuat asli,maka apabila hukum menjadi hapus,diberatkan atau diringankan,maka keadaan tidak terpengaruh pada pembuat tidak langsung,karena perubahan tersebut hanya didasarkan atas keadaan pembuat tidak langsung sendiri,seperti halnya anak-anak dibawah umur dengan orang dewasa,atau antara orang yang bisa memperbuat jarimah (pengulang jarimah =recidivist) dengan pembuat tidak langsung yang belum melakuka jarimah.
Keadaan pembuat tidak langsung hanya berpengaruh pada dirinya sendiri,dan tidak mempengaruhi hukuman pembuat langsung,seperti kalu pembuat pertama tersebut masih dibawah umur atau gila dan sebagainya.
Antara Syariat dengan Hukum Positif
Pendirian syariat islam sama dengan hukum positif mengenai pengertian perbuatan tidak langsung (turut berbuat tidak langsung),bentuk-bentuknya dan pertalian sebab akibat antara perbuatan tidak langsung dengan jarimah yang terjadi.mengenai hukuman terhadap para pembuat peserta-peserta dalam jarimah hudud dan qisas,pendirian sama dengan sistem hukum pidana belgia sekarang,dimana hukuman pembuat langsung lebih ringan daripada pembuat-pembuat langsung sesuai dengan sistem hukum RPA dalam jarimah pembunuhan sengaja.
Mengenai hukuman terhadap para pembuat (peserta-peserta) dalam jarimah ta’zir,pendirian syariat islam sama dengan sistem pidan RPA dan perancis untuk sebagian jarimah,dimana baik pembuat langsung maupun pembuat tidak langsung dijatuhi hukuman yang sama.
Tentang pengaruh keadaan pembuatan tidak langsung terhadap diri pembuat tidak langsung,pendirian syariat islam sama dengan sistem hukum pidana italia.

2 komentar: