Selasa, 02 Agustus 2016

Dissenting Opinion & Concurrin Opinion dalam Putusan Hakim

Sebuah keniscayaan persepsi seorang terhadap peristiwa hukum memungkinkan terjadi perbedaan tafsir hukum, istilah penafsiran hukum oleh Jazim Hamidi[1] disebut sebagai hermeneutika. Ada seperangkat prapemahaman yang memberi dasar bagi seorang untuk mengambil sebuah pemahaman atas fakta yang diamatinya.

Sistem hukum yang terbagi atas dua peta dasar yakni sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law, perbedaan yang paling mendasar dari kedua sistem hukum tersebut, tampak pada model dan Dennis, penalaran hukum yang berlaku dalam mengurai fakta-fakta hukum. Negara dengan sistem hukum Civil Law menggunakan penalaran deduktif, yakni melihat pada aturan perundang-undangan kemudian ditarik konklusi atas perbuatan masuk dalam peristiwa hukum apa. Sedangkan negara dengan tipe Common Law seperti Amerika penalarannya lebih dominan didasarkan pada putusan hakim yang sebelumnya.

Selain dikenal penalaran hukum juga ada istilah hukum penalaran. Penalaran hukum cara kerjanya mengacu pada aliran pemikiran dalam ilmu hukum (aliran hukum alam, positivisme, sejarah, sociological jurisprudent, realisme hukum) sementara hukum penalaran lebih dominan sebagai studi ilmu yang ditelaah berdasarkan objek kajian filsafat murni (positivisme dan empirisme logis, rasionalisme kritis, empirisme, dan hermeneutika).[2]

Sudut pandang yang berbeda itulah dalam diri hakim yang melakukan penalaran kemudian diakui bahwa dapat terjadi penafsiran yang berbeda dalam alam pemikiran manusia. Sehingga di negara yang menganut sistem hukum Common Law, secara demokratis memberi keluwesan kepada hakim untuk menguraikan pendapatnya yang berbeda di sebuah forum pengadilan. Pendapat yang berbeda yang dicantumkan dalam sebuah putusan pengadilan disebut dissenting opinion.

Suatu dissenting opinion tidak dapat dijadikan suatu yurisprudensi karena dissenting opinion itu bukanlah suatu putusan pengadilan terhadap suatu perkara, melainkan hanya bagian (yang tidak terpisahkan) dari putusan pengadilan. Suatu dissenting opinion dibuat bersamaan dengan putusan pengadilan sebagai pernyataan tentang ketidak setujuan hakim minoritas terhadap kesimpulan hakim mayoritas dalam suatu putusan pengadilan. Dissenting opinion umumnya dapat terjadi karena adanya perbedaan interpretasi hukum, perbedaan interpretasi terhadap suatu fakta, serta perbedaan prinsip-prinsip dan teori-teori hukum. Mekanisme dissenting opinion juga seringkali dipahami sebagai cara persuasif dalam mengakomodir pendapat hakim minoritas yang secara terbuka menyatakan perbedaan pendapat dengan putusan pengadilan[3]

Doktrin dissenting opinion mula-mula lahir dan berkembang dalam negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law atau peradilan Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa putusan-putusan badan peradilan di negara-negara yang menganut sistem Anglo-Saxon, seperti Inggris dan Amerika Serikat, serta negara-negara lain yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, sudah amat biasa ditemukan putusan-putusan badan peradilan yang mencantumkan dissenting opinion.

Dalam sistem Common Law, hakim terikat pada sistem preseden dan sistem "stare decisis". Setiap putusan hakim harus mengikuti putusan hakim-hakim terdahulu terhadap perkara sejenis. Olehnya dalam setiap putusan hakim harus menjelaskan pertimbangan dan argumentasi mengapa keputusan itu sampai diambil sehingga hakim-hakim yang datang belakangan dapat memahami jalan berpikir dari hakim-hakim terdahulu yang akan mengikat menjadi preseden. Dengan kata lain, hakim-hakim Anglo-Saxon dengan sistem Common Lavmya, harus memberikan alasan atau pertimbangan mengapa satu keputusan dipilih mengingat ada sejumlah alternatif lain yang tersedia, demikian pula bila ada perbedaan pendapat, seorang hakim harus memberikan pertimbangan-pertimbangan yang melandasi ketidak setujuannya dengan pandangan koleganya.

Di sisi lain dalam praktik peradilan di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental, seperti Belanda, Perancis, Jerman dan lain-lain, putusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk diikuti oleh hakim-hakim lainnya. Putusan hakim tidak direpresentasikan sebagai pandangan atau opini bersama, olehnya tidak ada keharusan bagi hakim untuk memaparkan argumentasi dari penalaran yang diambilnya, hanya argumentasi yang terpenting saja yang dikemukakan yang disebut apodictish', sedangkan argumentasi dari suara minoritas tidak dimuat.

Namun sesuai perkembangan zaman yang menuntut adanya asas keterbukaan untuk menjelaskan alasan (motivering) dari putusan hakim, termasuk yang kalah suara, maka doktrin dissenting opinion kemudian diadopsi oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa-Kontinental.

Dalam praktik pada dasarnya suara minoritas diantara hakim dalam memutus perkara dapat dibedakan atas dua yakni:


1) Pendapat yang Berbeda (Dissenting Opinion)


2) Alasan yang Berbeda (Concurrin Opinion)


1. Pendapat yang Berbeda (Dissenting Opinion)

Kata dissenting berasal dari kata bahasa Latin, dissentiente, dissentaneus, dissentio, kesemuanya bermakna tidak setuju, tidak sependapat atau berbeda dalam pendapat.

Dalam Black's Law Dictionary mengartikan dissenting opinion sebagai berikut:

"Contrariety of opinion; disagreement with the majority; refusal to agree with something already stated or adjudged or to an act previously performed. The term is most commonly used to denote the explicit disagreement of one or more judge of a court with the decision passed by the majority upon a case before them. In such even, non occuring judge is reported as "dissenting". Adissent may or may not be occonpanied by dissenting opinion.”

Sedangkan dalam Black's Law Dictionary, merumuskan dissenting opinion sebagai:

“An opinion by one or more judges who disagree with the decision reached by majority. Dikatakan, dissenting opinion dinamakan pula minotiry opinion. dissenting opinion adalah a disagreement with a majority opinion, esp. Among judges.”

Menurut Law Dictionary, dissenting opinion diartikan sebagai;

“One that disagrees with the disposition made the case by the court, the facts or law on the basis of which the court arrives at its decision, and/or the principles of law deciding the case.”

Dalam The Law Dictionary memahami dissenting opinion sebagai a judicial opinion disagreeing with that of the majority of the same court, given by one or more of the member of the court.

Dalam Legal Dictionary, dissenting opinion diartikan sebagai:

"The opinion given by a justice of an apellate court, indicating his reason for disagreeing with the result reached by the majority. It is usually in writing, and has a certain measure of persuasive authority for other tribunals."

Sedangkan dalam Dictionary of Law, dissenting opinion diartikan sebagai: "the disagrees with other judges in a case with has been heard by several judges".

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Artidjo Alkostar:

"Dissenting opinion pada dasarnya merupakan suatu pendapat berbeda yang dilakukan oleh seorang anggota majelis hakim, yang wajib dimuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan".[4]

Pendapat yang berbeda yang dikenal dengan dissenting opinion ini merupakan pendapat minoritas dari para hakim dalam suatu kasus yang sedang diperiksanya, meskipun tidak memiliki kekuatan mengikat disertakan utuh dalam putusan25.

Menurut hakim konstitusi H.M. Laica Marzuki, pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dari hakim dissenter pada hakikatnya mengandung legal reasoning yang berbeda secara prinsipil dengan legal reasoning para hakim mayoritas. Perbedaan dalam pendasaran legal reasoning membawa perbedaan dalam outcome of the case. Lawrence Baum, menyatakan dissenting opinion sebagai "Strictly Speaking, dissent represent disagreement with the outcome of a case and with the supreme court's treatment of the parties involved'. Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, mengibaratkan dissenting opinion bagaikan dua bus yang menempuh dua arah jalan yang berlawanan, selepas beranjak meninggalkan stasiun[5].

2. Alasan yang Berbeda (Concurring Opinion)

Selain dissenting opinion, ada juga istilah lain yang disebut dengan Concurring Opinion yaitu pendapat yang sama atau setuju dengan pendapat majelis hakim atau suara mayoritas namun dengan menggunakan alasan yang berbeda.

Menurut Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, pendapat alasan yang berbeda (concurring opinion) mendukung pendapat hakim mayoritas (majority opinion) tetapi dengan alasan berbeda. Hakim yang mengajukan alasan yang berbeda (concurring opinion), pada hakikatnya mendukung the outcome of the case yang hendak dicapai hakim-hakim mayoritas namun didasarkan pada alasan fen aanz/en van het recht yang berbeda.[6]

Concurring opinion kerap kali dialihbahasakan sebagai, alasan yang berbeda, aksentuasinya pada legal reasoning yang diberikan hakim concurring adalah berbeda secara prinsipil dengan legal reasoning para hakim mayoritas daiam mencapai kesamaan het doeleinden van de zaak. Tidak salah jika concurring opinion dinamakan pula, pendapat yang mendukung.

Alasan yang berbeda (concurring opinion) menurut Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, diandaikan bagaikan sebuah bus yang rnenempuh tujuan yang sama dengan bus lainnya namun masing-masing mengambil jalan yang berbeda. Kedua bus kelak bertemu di stasiun tujuan yang sama. Tujuan kedua bus adalah sama, namun bus yang satu menyusuri jalan yang sepi (the lonely way)[7]


[1] Jazim Hamidi, Op. Cit, Hal. 63.


[2] Sidharta, Penalaran Hukum dan Hukum Penalaran, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, Hal 78-120.

[3] Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).

[4] Wiwie Heryani,op.cit, hal. 63-67.

[5] Ibid, hat.67

[6] Ibid., Hal. 68

[7] Ibid., Ha. 69

Tidak ada komentar:

Posting Komentar