Pada mulanya, keberadaan
saksi mahkota ini mulai dikenal semenjak terjadinya kasus Marsinah yang
terjadi pada tahun 1994. Kemudian beranjak dari peristiwa tersebut, nama
saksi mahkota seakan berkembang. Namun kemunculan dari saksi mahkota
oleh sebagian orang dapat dikatakan sebagai jalan keluar satu-satunya
apabila sudah tidak dapat lagi dilakukan pembuktian, namun oleh sebagian
lainnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak diboleh dilakukan karena
bertentangan dengan HAM. Seperjalanan hukum yang berkembang, ternyata
bukan hanya persoalan boleh atau tidaknya saksi mahkota itu dapat
dijadikan sebagai alat bukti. Terdapat kenyataan baru mengenai perbedaan
definisi dari saksi mahkota, berikut ini adalah masing-masing
pengertian dari saksi mahkota:
Pendapat pertama:
Saksi Mahkota, terjemahan dari kroongetuige
ialah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam suatu
peristiwa penyertaan. Adapun yang disebut dengan penyertaan adalah:
"Apabila
terjadi suatu tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang,
biasanya penuntutan dan pemeriksaan didepan sidang dilakukan secara
terpisah. Dalam hal demikian, seorang terdakwa diminta kesaksian untuk
teman peserta dalam tindak pidana itu. Sebaliknya, terdakwa yang lain
diajukan sebagai saksi terhadap teman yang lain pula. Dengan demikian,
dalam melakukan pembuktian jadi amat mudah."
Perumpamaan agar mudah dipahami adalah jika terjadi penyertaan dalam
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh A dan B, pada tahap penuntutan
serta pemeriksaan pengadilan dilakukan secara terpisah (splitsing). Pada
saat A diperiksa sebagai terdakwa, maka B diajukan sebagaai saksi.
Sebaliknya, pada saat B diperiksa sebagai terdakwa, maka A menjadi
saksi. Menurut Loebby Loqman, kesaksian seperti ini dapat digunakan
apabila saksi memberikannya dengan sukarela. Karena itulah disebut
sebagai saksi mahkota, dengan sukarela, memberikan saksi yang justru
akan memberatkan dirinya. Kesepahaman pengertian saksi mahkota ini di
aplikasikan dan terlihat jelas penggunaannya oleh Adi Andojo dalam
memutus perkara Marsinah. Hal ini dapat dilihat dalam Pertimbangan hukum
dalam Putusan Mahkamah Agung No.1174 K/pid/1994 dengan terdakwa Ny
Mutiari, SH dan Putusan MA No. 1952 K/Pid/1994 dengan terdakwa Bambang
Wuryangtoyo, Widayat dan Ahmad Sutiyono Prayogi. Meskipun terlihat
kesetujuan atas pengertian dari saksi mahkota, namun dari pertimbangan
hukumnya menunjukkan ketidaksetujuan atas penggunaannya. Berikut adalah
petikan dari pertimbangan hukumnya:
"Bahwa judex factie salah
menerapkan hukum pembuktian dimana para saksi yang adalah para terdakwa
dalam perkara dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah adalah
bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi HAM,
lagipula para terdakwa telah mencabut keterangannya didepan penyidik dan
pencabutan tersebut beralasan karena adanya tekanan phisik maupun
psikis dapat dibuktikan secara nyata, disamping itu keterangan
saksi-saksi lain yang diajukan ada persesuaian satu sama lain."
Sebagian besar berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota terdapat
pengaturannya dalam KUHAP Pasal 168 meskipun dirasa tidak tegas. Berikut
adalah bunyi dari Pasal 168 KUHAP:
Pihak yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi antara lain:
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai dengan derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga
mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat
ketiga.
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Pendapat Kedua:
Pendapat kedua ini diberikan oleh Andi Hamzah yang mengemukakan
bahwa bergantian menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota. Adapun
definisi atau pengertian dari saksi mahkota sebagai "Salah seorang
terdakwa (biasanya yang paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik)
menjadi saksi, jadi diberi mahkota, yang tidak adakn dijadikan terdakwa
lagi. Atau lebih mudahnya bahwa saksi mahkota adalah seorang terdakwa
menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai terdakwa
dilepaskan (terdakwa yang mengkhianati temannya). Pengertian ini
berdasarkan atas praktek dan peraturan perundang-undangan yang terdapat
dinegara Perancis dan Belanda. Menurut beliau, penggunaan kesaksian ini
diperbolehkan berdasarkan adagium bahwa jaksa adalah dominus litis dalam
penuntutan terdakwa. Penarikan seorang terdakwa menjadi saksi, terlebih
dahulu diberi janji-janji seperti akan diperingan hukumannya atau
bahkan dibebaskan, apabila bersedia untuk membongkar kejahatan yang
dilakukan teman-temannya.
Pemeriksaan didepan pengadilan atas terdakwa (yang menjadi saksi
mahkota) dilakukan setelah putusan terdakwa-terdakwa lainnya.
Terhadapnya tidak dapat diakukan terdakwa lainnya sebagai saksi
sebagaimana yang ia lakukan terhadap terdakwa yang lain sebelumnya,
tetapi mengandalkan alat bukti lainnya. Pengertian saksi mahkota ini
pada negara lain berbunyi:
“Een
Kroongetuige is een getuige die zelf een verdachte is, maar die bereid
is om in ruil voor een beloning een verklaring tegen èèn of meer andere
verdachten af te leggen. De beloning houdt vaak in dat wordt toegezegd
dat ke kroongetuige zelf niet vervolgd zal worden. Een andere vorm van
beloning is dat de anonimiteit van de getuige wordt gegarandeerd; dit is
met name van toepassing in situaties waar het leven van de getuige in
gevaar kan komen wanneer hij of zij in de publiciteit komt.
Een
belangrijk bezwaar tegen het gebruik van kroongetuigen is de vermeende
onbetrouwbaarheid; de kroongetuige is immers zelf een (mogelijke)
misdadiger, die op deze manier ook nog eens zijn straf kan ontlopen. Het
gebruik van kroongetuigen wordt in principe dan ook alleen toegestaan
wanneer er sprake is van de ‘klaarblijkelijke onmogelijkheid om een
misdrijf op een andere wijze op te lossen’. In de praktijk vindt altijd
een zorgvuldige toetsing plaats voordat wordt besloten om een getuige
als kroongetuige te gebruiken. In sommige gevallen wordt e rook van een
kroongetuige gesproken wanneer de getuige zelf niet verdacht is maar wel
op een andere manier heel nauw bij de misdaad betrokken was,
bijvoorbeeld als slachtoffer.”
(Saksi
mahkota adalah seorang saksi yang juga seorang terdakwa, tetapi, yang
bersedia untuk memberi pernyataan melawan salah seorang saksi lain atau
lebih, dengan penggantian suatu ganjaran. Ganjaran itu seringkali berupa
janji bahwa saksi mahkota itu sendiri tidak akan dituntut di muka
pengadilan. Bentuk ganjaran lain ialah bahwa anonimitas saksi dijamin;
hal ini terutama berlaku dalam keadaan dimana hidup saksi mungkin dalam
bahaya jika ia tampil di depan umum.
Suatu
keberatan penting terhadap pemakaian saksi-saksi mahkota adalah
kemungkinan bahwa saksi mahkota tidak dapat dipercaya, karena saksi
mahkota sendiri (mungkin) seorang penjahat, yang dengan cara ini juga
dapat menghindari hukumannya. Oleh karena itu pemakaian saksi-saksi
mahkota hanyalah dibenarkan bila terjadi ‘kemustahilan yang nyata untuk
memecahkan kejahatan dengan cara lain’. Dalam praktek selalu diadakan
pengujian yang seksama, sebelum diputuskan untuk memakai seorang saksi
sebagai saksi mahkota. Dalam beberapa hal kita juga bicara tentang saksi
mahkota, bila saksi sendiri bukan terdakwa, tetapi dengan cara lain
sangat terlibat dalam suatu kejahatan, misalnya sebagai korban.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar