Selasa, 16 Oktober 2012

Saksi Mahkota



Pada mulanya, keberadaan saksi mahkota ini mulai dikenal semenjak terjadinya kasus Marsinah yang terjadi pada tahun 1994. Kemudian beranjak dari peristiwa tersebut, nama saksi mahkota seakan berkembang. Namun kemunculan dari saksi mahkota oleh sebagian orang dapat dikatakan sebagai jalan keluar satu-satunya apabila sudah tidak dapat lagi dilakukan pembuktian, namun oleh sebagian lainnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak diboleh dilakukan karena bertentangan dengan HAM. Seperjalanan hukum yang berkembang, ternyata bukan hanya persoalan boleh atau tidaknya saksi mahkota itu dapat dijadikan sebagai alat bukti. Terdapat kenyataan baru mengenai perbedaan definisi dari saksi mahkota, berikut ini adalah masing-masing pengertian dari saksi mahkota:

Pendapat pertama:
Saksi Mahkota, terjemahan dari kroongetuige ialah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam suatu peristiwa penyertaan. Adapun yang disebut dengan penyertaan adalah: 
"Apabila terjadi suatu tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang, biasanya penuntutan dan pemeriksaan didepan sidang dilakukan secara terpisah. Dalam hal demikian, seorang terdakwa diminta kesaksian untuk teman peserta dalam tindak pidana itu. Sebaliknya, terdakwa yang lain diajukan sebagai saksi terhadap teman yang lain pula. Dengan demikian, dalam melakukan pembuktian jadi amat mudah."

Perumpamaan agar mudah dipahami adalah jika terjadi penyertaan dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh A dan B, pada tahap penuntutan serta pemeriksaan pengadilan dilakukan secara terpisah (splitsing). Pada saat A diperiksa sebagai terdakwa, maka B diajukan sebagaai saksi. Sebaliknya, pada saat B diperiksa sebagai terdakwa, maka A menjadi saksi. Menurut Loebby Loqman, kesaksian seperti ini dapat digunakan apabila saksi memberikannya dengan sukarela. Karena itulah disebut sebagai saksi mahkota, dengan sukarela, memberikan saksi yang justru akan memberatkan dirinya. Kesepahaman pengertian saksi mahkota ini di aplikasikan dan terlihat jelas penggunaannya oleh Adi Andojo dalam memutus perkara Marsinah. Hal ini dapat dilihat dalam Pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Agung No.1174 K/pid/1994 dengan terdakwa Ny Mutiari, SH dan Putusan MA No. 1952 K/Pid/1994 dengan terdakwa Bambang Wuryangtoyo, Widayat dan Ahmad Sutiyono Prayogi. Meskipun terlihat kesetujuan atas pengertian dari saksi mahkota, namun dari pertimbangan hukumnya menunjukkan ketidaksetujuan atas penggunaannya. Berikut adalah petikan dari pertimbangan hukumnya: 

"Bahwa judex factie salah menerapkan hukum pembuktian dimana para saksi yang adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi HAM, lagipula para terdakwa telah mencabut keterangannya didepan penyidik dan pencabutan tersebut beralasan karena adanya tekanan phisik maupun psikis dapat dibuktikan secara nyata, disamping itu keterangan saksi-saksi lain yang diajukan ada persesuaian satu sama lain."

Sebagian besar berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota terdapat pengaturannya dalam KUHAP Pasal 168 meskipun dirasa tidak tegas. Berikut adalah bunyi dari Pasal 168 KUHAP: 
Pihak yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi antara lain: 
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai dengan derajat ketiga dari 
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga 
mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat 
ketiga. 
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 

Pendapat Kedua:
Pendapat kedua ini diberikan oleh Andi Hamzah yang mengemukakan bahwa bergantian menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota. Adapun definisi atau pengertian dari saksi mahkota sebagai "Salah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi, jadi diberi mahkota, yang tidak adakn dijadikan terdakwa lagi. Atau lebih mudahnya bahwa saksi mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai terdakwa dilepaskan (terdakwa yang mengkhianati temannya). Pengertian ini berdasarkan atas praktek dan peraturan perundang-undangan yang terdapat dinegara Perancis dan Belanda. Menurut beliau, penggunaan kesaksian ini diperbolehkan berdasarkan adagium bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa. Penarikan seorang terdakwa menjadi saksi, terlebih dahulu diberi janji-janji seperti akan diperingan hukumannya atau bahkan dibebaskan, apabila bersedia untuk membongkar kejahatan yang dilakukan teman-temannya. 
Pemeriksaan didepan pengadilan atas terdakwa (yang menjadi saksi mahkota) dilakukan setelah putusan terdakwa-terdakwa lainnya. Terhadapnya tidak dapat diakukan terdakwa lainnya sebagai saksi sebagaimana yang ia lakukan terhadap terdakwa yang lain sebelumnya, tetapi mengandalkan alat bukti lainnya. Pengertian saksi mahkota ini pada negara lain berbunyi:

“Een Kroongetuige is een getuige die zelf een verdachte is, maar die bereid is om in ruil voor een beloning een verklaring tegen èèn of meer andere verdachten af te leggen. De beloning houdt vaak in dat wordt toegezegd dat ke kroongetuige zelf niet vervolgd zal worden. Een andere vorm van beloning is dat de anonimiteit van de getuige wordt gegarandeerd; dit is met name van toepassing in situaties waar het leven van de getuige in gevaar kan komen wanneer hij of zij in de publiciteit komt.
Een belangrijk bezwaar tegen het gebruik van kroongetuigen is de vermeende onbetrouwbaarheid; de kroongetuige is immers zelf een (mogelijke) misdadiger, die op deze manier ook nog eens zijn straf kan ontlopen. Het gebruik van kroongetuigen wordt in principe dan ook alleen toegestaan wanneer er sprake is van de ‘klaarblijkelijke onmogelijkheid om een misdrijf op een andere wijze op te lossen’. In de praktijk vindt altijd een zorgvuldige toetsing plaats voordat wordt besloten om een getuige als kroongetuige te gebruiken. In sommige gevallen wordt e rook van een kroongetuige gesproken wanneer de getuige zelf niet verdacht is maar wel op een andere manier heel nauw bij de misdaad betrokken was, bijvoorbeeld als slachtoffer.”
(Saksi mahkota adalah seorang saksi yang juga seorang terdakwa, tetapi, yang bersedia untuk memberi pernyataan melawan salah seorang saksi lain atau lebih, dengan penggantian suatu ganjaran. Ganjaran itu seringkali berupa janji bahwa saksi mahkota itu sendiri tidak akan dituntut di muka pengadilan. Bentuk ganjaran lain ialah bahwa anonimitas saksi dijamin; hal ini terutama berlaku dalam keadaan dimana hidup saksi mungkin dalam bahaya jika ia tampil di depan umum.
Suatu keberatan penting terhadap pemakaian saksi-saksi mahkota adalah kemungkinan bahwa saksi mahkota tidak dapat dipercaya, karena saksi mahkota sendiri (mungkin) seorang penjahat, yang dengan cara ini juga dapat menghindari hukumannya. Oleh karena itu pemakaian saksi-saksi mahkota hanyalah dibenarkan bila terjadi ‘kemustahilan yang nyata untuk memecahkan kejahatan dengan cara lain’. Dalam praktek selalu diadakan pengujian yang seksama, sebelum diputuskan untuk memakai seorang saksi sebagai saksi mahkota. Dalam beberapa hal kita juga bicara tentang saksi mahkota, bila saksi sendiri bukan terdakwa, tetapi dengan cara lain sangat terlibat dalam suatu kejahatan, misalnya sebagai korban.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar