Tugas
MID Hukum Perbankan
“Bank dan Lembaga Keuangan“
OLEH
Muh. Mahathir
NIM: 10500109050
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah Bank dan Lembaga Keuangan ini dengan baik. Makalah ini kami mengambil topik tentang
Kesehatan Bank. Dalam makalah ini, terdapat ulasan yang menjelaskan tentang
bagaimana ciri-ciri bank yang sehat dan alternatif-alternatif apa saja yang
kita harus ambil dalam memilih bank sehat. Dalam makalah ini juga dibahas
tentang cara-cara memilih dan memilih bank yang sehat. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini
Atas
perhatian, bimbingan, bantuan moril dan materiil sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Semoga para pembaca
dapat memanfaatkan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Tentunya masih banyak
kekurangan-kekurangan yang ada dalam makalah yang kami buat ini. Untuk itu,
diharapkan kritik dan saran dari segala pihak demi penyempurnaan makalah ini.
Makassar, 2 Mei 2012
Penyusun
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Kegiatan
perekonomian suatu negara tidak terlepas dari
lalu lintas pembayaran uang, dimana industri perbankan memegang peranan yang sangat strategis dapat
dikatakan sebagai urat nadi dari sistem perekonomian. Kegiatan pokok bank
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat,
mempunyai fungsi sebagai intermediary
service.
Perkembangan perekonomian Indonesia yang
semakin pesat, membutuhkan modal yang cukup besar yang sebaiknya dipenuhi dari
sumber dana domestik, sehingga perlu adanya iklim penggalian sumber dana
masyarakat melalui mobilisasi dana masyarakat yang dilakukan sektor perbankan.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui Otoritas Moneter, dalam
hal ini adalah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, telah mengeluarkan
rangkaian deregulasi di bidang keuangan, moneter dan perbankan yang
berkelanjutan, yang tujuannya untuk menciptakan iklim perbankan yang sehat,
mandiri dan efisien. Kebijakan ini pertama digulirkan pada tanggal 1 Juni 1983
(Pakjun’83), merupakan awal perkembangan industri perbankan yang berdasarkan
mekanisme pasar (interest rate regulation). Melalui Pakjun’83 bank-bank diberi
kebebasan dalam memobilisasi dana masyarakat dengan menghapus pembatasan kredit
dan plafon suku bunga serta pemabatasan kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI). Kebijakan selanjutnya yaitu pada tanggal 27 Oktober 1988 (Pakto’88) ,
yang bertujuan meningkatkan mobilisasi dana domestik dengan menurunkan hambatan
masuk ke dalam sektor perbankan, sehingga mempermudah persyaratan membuka bank
baru maupun cabang bank dan penurunan Cadangan Wajib Minimum ( Reserve
Requirement/RR) dari 15% menjadi 2% . Dampak dari kedua kebijakan tersebut
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan perbankan, baik
jumlah bank dan jaringan kantor bank yang diikuti oleh peningkatan volume usaha
dan jenis produk yang ditawarkan. Jumlah bank sebelum Pakto’88 hanya 63 buah
bank dan 1.863 kantor bank. Secara kumulatif pasca Pkato’88 sampai dengan 1997
jumlah bank menjadi 238 buah bank dan 7.775 buah kantor bank. Dengan struktur
kelembagaan tersebut kegiatan operasional bank mengalami perkembangan yang
sangat pesat sekali, hal ini tercermin dari hasil pengerahan dana masyarakat
dari Rp. 37,5 trilyun pada tahun 1987 menjadi Rp. 357 trilyun pada tahun 1997.
(Sumber : Bank Indonesia). Perkembangan mobilisasi dana masyarakat yang tinggi
mununjukkan betapa besar kepercayaan masyarakat terhadap bank, dengan kata lain
banking habit masyarakat sudah tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah
ini tentang perkembangan jumlah bank dan kantor bank , serta perkembangan
simpanan masyarakat, khususnya di wilayah Propinsi Jawa Barat yang ditetapkan
sebagai obyek penelitian.
Mengingat
kepercayaan masyarakat merupakan modal pokok dari kegiatan usaha bank,
sementara dilain pihak bahwa bank merupakan urat nadi bagi kelancaran kegiatan
perekonomian melalui fungsinya sebagai intermediary service. Menciptakan dan
memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank, tidak hanya menjadi tanggung
jawab industri perbankan, akan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah dengan lembaga-lembaga
terkait. Dengan demikian kepercayaan
masyarakat terhadap bank merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjaga kontinuitas usaha bank ,
menciptakan dan menjaga kestabilan moneter disatu pihak dan stabilitas ekonomi
dilain pihak. Untuk itu sudah saatnya dilakukan penelitian untuk mengkaji
perihal kepercayaan masyarakat pada bank, dan penelitian ini dilakukan dengan
mengambil judul “Analisi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Masyarakat
Terhadap Bank”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank, dengan
pembatasan masalah yang akan diteliti adalah
(a) bagaimana nasabah dapat mengetahui kriteria bank yang sehat, (b)
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank
dan (c) sampai seberapa besar faktor-faktor tersebut mempengaruhi kepercayaan
masyarakat terhadap bank.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
baik bagi obyek penelitian, maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Kerangka pemikiran penelitian ini didasakan pada landasan teori
yang relevan, dimana bank sebagai lembaga kepercayaan yang merupakan bagian
dari sistem moneter merupakan sarana untuk pembentukan dana alokasi tabungan
masyarakat, maka peranan kebijakan moneter dalam suatu perekonomian sangat
penting dalam menciptakan dan memelihara suatu tingkat kestabilan ekonomi.
Sesuai dengan pengertian bank menurut UU-RI No. 10/1998 tentang Perbankan ,
bahwa “ Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak”.
Sedangkan dalam pasal 29 dikatakan bahwa “
Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada
bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga
kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya” . Dari kedua penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan
pokok bank diharapkan dapat meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Untuk dapat meningkatkan taraf hidup rakyat,
tentu diperlukan modal kepercayaan
masyarakat dan kepercayaan ini akan diberikan hanya kepada bank yang sehat.
Dengan demikian tingkat kesehatan bank sangat erat hubungannya dengan
kepercayaan masyarakat terhadap bank. Badudu Zain (1994:1040) mengatakan
tentang kepercayaan, bahwa “Kepercayaan adalah meletakkan kepercayaan atau
memberikan kepada seseorang untuk menjaga, memelihara, menyimpan , merahasiakan
dan sebagainya”.
Masyarakat
sebagai salah satu bagian dari pelaku ekonomi, dengan perkembangan yang terjadi
di masyarakat sebagai akibat perkembangan dari teknologi informasi, telah
mempengaruhi perilakunya sebagai pelaku ekonomi. Seperti halnya yang
diungkapkan oleh Soemitro Djojohadikusumo (1991:149) bahwa “..dalam
proses pengambilan keputusan para pelaku ekonomi mengandalkan pengalaman dan
pengetahuannya dari masa lalu dan masa kini, perkiraan-perkiraan yang akan
terjadi di masa mendatang ditambah dengan segenap informasi data yang sekarang
tersedia” . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa informasi yang
tersedia tentang kondisi sektor perbankan, dapat mempengaruhi keputusan yang
akan diambil yang berkaitan dengan dengan kepercayaannya kepada bank.
Peranan
bank yang sangat strategis dalam perkembangan ekonomi, sehingga perlu
diperhatikan dan dijaga kontinuitas usahanya, dengan meningkatkan kemampuan
menggali sumber dana masyarakat. Untuk itu perlu didukung oleh
instrumen yang efektif yang dapat memotivasi masyarakat menyimpan uangnya di
bank. Instrumen tersebut diantaranya adalah (a) adanya jaminan keamanan atas
simpanan masyarakat, (b) tingkat bunga
yang stabil dan kompetitif, (c) pelayanan
yang baik dan (d) informasi yang
tersedia tentang perkembangan industri perbankan.
Motivasi masyarakat mempercayakan dananya di bank tentunya
selain mengharapkan mendapatkan keuntungan, juga mengharapkan adanya jaminan
keamanan atas simpanan masyarakat secara hukum. Perilaku seseorang pada saat
tertentu biasanya ditentukan oleh kebutuhan yang paling kuat, yaitu rasa aman.
Kerangka kekuatan kebutuhan manusia telah dikembangkan oleh Abraham Maslow,
yang dikenal dengan Hirarki Kebutuhan Maslow – fisiologis, rasa aman, sosial,
penghargaan dan perwujudan diri. Dikatakan bahwa “Kebutuhan rasa aman
yang berada pada alam sadar cukup jelas dan sangat umum diantara semua orang
pada umumnya”. Sedangkan Paul Hersey mengutip pendapat
dari Soul W. Gellerman (1992:36) dikatakan bahwa “Semua orang memiliki
keinginan untuk terbebas dari bahaya yang mengancam kehidupannya, yaitu
kecelakaan, peperangan dan ketidakpastian ekonomi”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap individu maupun kelompok sangat
membutuhkan rasa aman, tanpa kecuali kebutuhan rasa aman yang diberikan oleh
bank kepada nasabahnya.
Instrumen berikutnya yang memberikan pengaruh
sangat besar terhadap berbagai kondisi ekonomi yaitu tingkat bunga . Wasis (1998:94) mengatakan bahwa “Tingkat
bunga yang tinggi akan dapat menarik masyarakat untuk menyimpan uangnya di
bank, karena para pemilik dana mengharapakan keuntungan dari dana
yang disimpan di bank”. Sedangkan Budiono (1980:2) mengatakan bahwa “Tingkat
bunga adalah harga dari penggunaan uang yang
dapat dipandang sebagai sewa atas penggunaan uang untuk jangka waktu
tertentu”. Dengan demikian bahwa tingkat bunga yang tinggi masih
efektif dijadikan sebagai instrumen dalam meningkatkan mobilisasi dana
masyarakat. Seperti halnya yang diungkapkan Soemitro Djojohadikusumo
(1991:149) tentang pelaku ekonomi yang
memiliki perilaku rasional, yaitu “Perilaku ekonomi (economic behaviour)
pada dasarnya bersifat rasional, artinya para pelaku ekonomi bersikap rasional
di dalam mengadakan pilihan ekonomi dan mengambil keputusan
ekonomi”. Sikap ini tercermin dari perkembangan simpanan masyarakat
bila dibandingkan dengan perkembangan jumlah nasabah. Dimana pada tahun 1997
dimana perekonomian Indonesia sedang dilanda krisis dan langkah berani dari
BPPN dengan melikuidasi 16 bank umum swasta nasional , yang dilanjutkan dengan
program beku operasi atau pengambil alihan operasional. Namun demikian minat
masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank masih tetap tinggi, yaitu
memanfaatkan tingkat bunga deposito yang cukup tinggi (67% per bulan tahun
1997/1998), walaupun jika dilihat jumlah orang (nasabah) mengalami penurunan.
Kondisi ini membuktikan masih berlakunya teori Keynes bahwa “ Bunga uang ditentukan oleh
preferensi likuiditas, yaitu motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif
spekulasi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat bunga
merupakan imbalan atau kontraprestasi yang diberikan oleh bank kepada
penyimpanan dana. Suku bunga yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk
menghemat pengeluaran konsumsinya dan menyimpan bagian yang lebih dari aktiva
totalnya dalam bentuk aktiva yang memberikan penghasilan.
Kepercayaan
masyarakat terhadap bank tidak terlepas dari masalah kepuasan, yang dapat
dipenuhi salah satunya dari pelayanan yang prima. Sehingga pembahasan masalah
konsep kepuasaan pelanggan (nasabah) menjadi suatu hal yang vital. Persaingan
antar bank yang semakin ketat, dimana semakin banyak produsen yang terlibat
dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen, menyebabkan setiap bank harus
menempatkan orientasi pada kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama. Hal ini
tercermin dari banyaknya bank menyertakan konsumennya terhadap kepuasan nasabah
dalam penyertaan misinya. As. Mahmoeddin (1996:2) mengatakan bahwa “Pelayanan
yang baik merupakan salah satu syarat untuk berhasilnya bank dalam usaha
pengumpulan dana sebanyak mungkin, penjualan jasa seoptimal mungkin yang pada
akhirnya memperoleh laba semaksimal mungkin”. Sedangkan Tjiptono, yang
mengutip pendapat Engel,et.all. (1995:27) mengatakan bahwa “Kepuasaan pelanggan merupakan evaluasi
purna beli, dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau
melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil tidak
memenuhi harapan”. Dapat
disimpulkan bahwa pelayanan yang baik, ramah, cepat dan akurat merupakan suatu
prinsip yang harus dimiliki oleh setiap petugas bank, yang harus memberikan
pelayanan prima kepada nasabah. Semakin baik pelayanan yang diberikan, maka
semakin tinggi tingkat kepuasan nasabah, semakin tinggi tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap bank.
Perilaku masyarakat sebagai pelaku ekonomi tentu sangat berkepentingan
dengan tersedianya informasi yang dapat
dipertanggung jawabkan. Tindakan atau
pengambilan keputusan secara rasional berdasarkan pengalaman dan informasi yang
diperoleh. Kondisi perilaku masyarakat yang semakin kritis, menuntut peranan
Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia sebagai lembaga yang berwenang
mengeluarkan informasi, dapat secara aktif mensosialisasikan setiap perubahan
kebijakan tentang perbankan, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengikuti perkembangan perbankan dengan baik, khususnya
tingkat kesehatan bank. Dengan demikian
informasi dapat dijadikan sebagai instrumen yang dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank. Seperti halnya yang diungkapkan oleh
Sumitro Djojohadikusumo (1991:149) tersebut diatas.
PEMBAHASAN
I. KRITERIA KESEHATAN BANK
Pada akhir tahun 2001 Bank harus
memenuhi persyaratan Kesehatan Bank dari Bank Indonesia :
- CAR minimal 8 %
- NPL maksimal 5 %
II. TAHAPAN PENYUSUNAN CETAK BIRU PERBANKAN
- Langkah1
Analisa CAMEL berdasarkan peraturan Bank Indonesia untuk mengklasifikasikan Bank sehat dan Bank tidak sehat
- Langkah2
Klasifikasi Bank. Proses penyaringan Bank sehat menjadi Bank kuat dan Bank lemah
Parameternya adalah sebagai berikut :
- Kualitas SDM
- Manajemen profesional
- Uji kepatutan (Fit and Proper Test) pemegang saham
- Kemampuan finansial
- Tingkat permodalan
- Skala ekonomi
- Efisiensi dari akumulasi dana / pendanaan
- Kemampuan menyalurkan kredit
kepada sektor riil
- Tingkat keunggulan kompetitif secara regional
- Good Governance�
Manajemen kredit yang prudent
- Langkah3
Evaluasi terhadap Nilai Waralaba (Franchise Value untuk Bank yang tidak sehat.
Melakukan evaluasi terhadap Nilai Waralaba (Franchise Value� dari Bank yang tidak sehat untuk menentukan apakah Bank tersebut diikutsertakan dalam proses konsolidasi atau harus ditutup.
- Langkah4
Pemetaan Perbankan Nasional. Proses pemetaan Bank yang kuat dan Bank yang lemah untuk menentukan posisi relatif dari setiap Bank di dalam Perbankan
Langkah5
Proses Pengelompokan . Proses untuk menentukan Kelompok Bank dengan cara:
Proses Pengelompokan . Proses untuk menentukan Kelompok Bank dengan cara:
Penggabungan Bank-Bank
(Merger Banks)
§
Tidak diperlukan injeksi modal
§
Diperlukan injeksi modal
Bank berdiri sendiri (Stand
Alone Banks)
§
Tidak diperlukan injeksi modal
§
Diperlukan injeksi modal
Parameter
yang digunakan pada langkah 5 :
1.
Infrastruktur jaringan distribusi
§
Cabang
§
Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
§
Jaringan pendebetan
§
Pelayanan perbankan on-line dan melalui telepon
§
Rencana pengembangan
2.
Bank Konsumer (Consumer Banking)
§
Deposito
§
Produk / Portofolio Kartu Kredit
§
Kredit konsumsi dan produk lainnya
§
Pelayanan perbankan melalui internet
3.
Bank Korporasi dan retail (Corporate dan Retail Banking)
§
Pinjaman (Loans)
§
Rencana usaha (Business Plan)
§
Manajemen resiko
4.
Sumber Daya Manusia
5.
Teknologi dan Operasi
§
Infrastruktur teknologi
§
Teknologi untuk manajemen resiko
6.
Peraturan dan aspek legal Litigasi, kontingensi, dan aspek legal
lainnya
Langkah6
Proses penentuan Posisi Akhir . Proses penentuan posisi akhir akan mengarahkan Bank-Bank untuk menjadi :
Proses penentuan Posisi Akhir . Proses penentuan posisi akhir akan mengarahkan Bank-Bank untuk menjadi :
o
Bank Inti (Core Banks)
1. Bank
Internasional
§
Memiliki cabang di seluruh propinsi
§
Memenuhi standar perbankan internasional
§ Kemampuan permodalan untuk operasi skala nasional
§ Pelayanan yang meliputi seluruh produk perbankan
§ Nasabah korporasi besar, menengah dan retail
2. Bank regional
§ Pelayanan produk perbankan terbatas sektor tertentu
§
Bank berdasarkan tata nilai agama (mis. Bank Syariah)
§ Geografi (mis. Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi)
§ Nasabah (mis. Korporasi besar, menengah)
o
Bank Non-Inti (Non-Core Banks)
Bank Khusus Menawarkan produk tertentu seperti :
§
Pembiayaan sektor pertanian dan agribisnis
§
Pembiayaan untuk usaha kecil
§ Bank tabungan nasional khusus untuk Kredit Pemilikan Rumah
§ Pembiayaan untuk proyek-proyek nasional berskala besar
Parameter yang digunakan
untuk mencapai proses akhir adalah sebagai berikut :
§
Jenis usaha
§
Jumlah cabang
§
Bank devisa
§
Teknologi dan operasi
§
Budaya perusahaan
III. PEMETAAN
PERBANKAN NASIONAL
1.
Sesuai dengan Program Aksi Prioritas
Sektor Riil yang telah disampaikan pada Sidang Kabinet tanggal 8 Pebruari 2001
(Dokumen II), khususnya Sektor Keuangan, Kantor Menteri Muda Urusan Restrukturisasi
Ekonomi Nasional telah melakukan kajian Cetak Biru Perbankan Nasional
2.
Cetak Biru Perbankan Nasional ini sangat
diperlukan saat ini mengingat rencana pemberlakuan peraturan Bank Indonesia
pada akhir tahun 2001 di mana semua bank diharuskan memiliki rasio kecukupan
modal (CAR) minimal 8% dan tingkat kredit bermasalah (NPL) maksimal 5%
3.
Dari catatan Bank Indonesia dan data
serta analisa yang kami lakukan, akan terdapat kurang lebih 20 bank yang tidak
dapat memenuhi ketentuan tersebut di atas
4.
Dari beberapa alternatif yang kami
analisa untuk penyelesaian masalah ini, maka penggabungan dan konsolidasi
bank-bank merupakan alternatif yang terbaik
5.
Kajian tersebut terlampir dalam laporan
ini.
IV. ALTERNATIF
PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL
1.
Merubah peraturan Bank Indonesia (CAR 8% dan NPL 5%)
Alternatif pertama akan menimbulkan �moral hazard� CAR 8% belum cukup untuk mendukung Bank yang kuat dan efisien
Alternatif pertama akan menimbulkan �moral hazard� CAR 8% belum cukup untuk mendukung Bank yang kuat dan efisien
2.
Redistribusi Obligasi Pemerintah
Alternatif kedua sulit dilakukan karena tidak sesuai dengan kondisi pasar
Alternatif kedua sulit dilakukan karena tidak sesuai dengan kondisi pasar
3.
Penukaran dengan Aset (Asset Swap)
Alternatif ketiga juga sulit dilakukan disebabkan terbatasnya aset yang telah direstrukturisasi di BPPN, sulitnya penentuan harga, dan mekanisme swap
Alternatif ketiga juga sulit dilakukan disebabkan terbatasnya aset yang telah direstrukturisasi di BPPN, sulitnya penentuan harga, dan mekanisme swap
V. KONSOLIDASI DAN MERGER
Alternatif
keempat, konsolidasi Bank-Bank Nasional menjadi pilihan yang paling
menguntungkan, karena: - Bank-Bank hasil konsoldasi / merger dapat mencapai
skala ekonomi yang menguntungkan. - Meningkatkan nilai Bank-Bank Nasional dan
akan menarik investor. - Pengawasan yang lebih efektif dengan berkurangnya
jumlah Bank.
SESUAI dengan nature krisis yang menimpa negeri kita, perbankan
memainkan peran penting dalam pemulihan ekonomi. Ada dua generasi utama dalam
krisis ekonomi, dilihat dari faktor fundamental yang menyebabkannya. Pertama, krisis
nilai tukar (currency crisis) dan kedua, krisis sistem finansial (financial
crisis). Berbeda dengan krisis di kawasan Amerika Latin
(Brasil, Meksiko, Argentina) dan Eropa Timur (Yugoslavia, Bulgaria, Hongaria),
krisis yang menimpa kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Filipina,
Malaysia) menunjukkan kausalitas yang erat antarkeduanya (faktor moneter dan
finansial).
Demikian, maka
krisis di kawasan ini dinamai krisis generasi ketiga (third generation). Jika
ditelusuri lebih jauh, akar dari dua generasi krisis tersebut sebenarnya ada
pada faktor kepercayaan yang hilang. Runtuhnya perekonomian kita sangat
dipengaruhi oleh perilaku destruktif para pelaku ekonomi, sebagai refleksi atas
harapan akan realita ekonomi (fulfilling destructive prophecy). Maka tidak
berlebihan jika dalam rangka memantapkan pemulihan ekonomi, kredibilitas adalah
sesuatu yang sangat dibutuhkan dari pemerintah sekarang ini.
Kita agak tersentak dengan kejadian yang menimpa PT Bank
Global Tbk serta perusahaan reksadana Prudence International, beberapa waktu
lalu. Demikian pula dengan berita masuknya Bank Persyarikatan Indonesia (BPI)
di bawah pengawasan khusus (special surveillance) Bank Indonesia. Ternyata,
industri perbankan serta sektor keuangan masih berlumur dengan persoalan yang
serius. Padahal, tanpa kebangkitan sektor perbankan serta perkembangan sektor
finansial yang kuat, pemulihan ekonomi akan tersendat. Lalu apa yang harus
dilakukan? Sektor finansial Secara sederhana, tugas utama pemerintah hanyalah
dua, yaitu meredam gejolak jangka pendek serta menggali potensi pertumbuhan
dalam jangka panjang. Boleh dikatakan, pemerintahan baru sudah tidak terlalu
dibebani oleh persoalan gejolak jangka pendek. Nilai tukar sudah stabil,
inflasi terkendali, dan tingkat suku bunga juga makin bisa ditekan. Bahkan
kredibilitas pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla juga makin bersinar. Salah satu indikatornya adalah melonjaknya
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) hingga menyentuh
nilai tertinggi dalam sejarah pasar modal di Indonesia mencapai titik 1.003
poin. Berita mengenai penipuan terhadap nasabah PT Bank Global adalah berita
buruk yang turut menahan pergerakan perdagangan saham. Demikian pun, keraguan
akan kredibilitas dari tata perekonomian di bawah pemerintahan baru mulai
merebak. Keraguan tersebut bukanlah tanpa sebab. Dalam kasus Bank Global,
persoalannya terkait dengan industri reksadana yang sedang tumbuh sangat pesat
akhir-akhir ini. Hingga di penghujung 2004 ini, dana yang bergerak di industri
tersebut sudah mencapai Rp100 triliun. Padahal, di akhir 2002 baru mencapai
Rp41,6 triliun. Di seluruh dunia, industri reksadana memang sedang mengalami
booming. Majalah The Economist edisi 27 November-3 Desember 2004 mengusung judul
The capitalism's New Kings. Dalam kurun dua tahun terakhir
ini, industri reksadana (private equity) telah tumbuh sebesar 60%.
Dan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terjadi
peningkatan sebesar 3.000%. Betapa industri reksadana tengah menjadi pusat
bisnis baru yang merajai sistem kapitalisme modern, begitu The Economist
menerangkan. Di Indonesia, industri reksadana merupakan salah satu alternatif
pembiayaan perusahaan yang berkembang terutama setelah krisis. Sebagaimana kita
tahu, sebelum krisis ekonomi, sumber pembiayaan perusahaan hanya mengandalkan
sistem perbankan. Bahkan hingga 2000 yang lalu, perbankan masih menguasai 90,40
persen perputaran dana di sektor finansial. Artinya, sektor finansial yang
lainnya (pasar modal, asuransi, multifinance, dan pegadaian) belum begitu
berkembang. Tidak berkembangnya pasar modal secara optimal, sehingga
pertumbuhan obligasi (obligasi pemerintah dan perusahaan) serta saham masih di
bawah pertumbuhan sektor perbankan. Akibatnya, struktur permodalan perusahaan
dan instrumen investasi masih sangat tergantung pada sektor perbankan.
Kehancuran sektor perbankan telah memberi pelajaran untuk secara berangsur
mengembangkan sektor investasi yang lain. Maka sumber pembiayaan yang berbasis
pada pasar modal semakin menjadi kebutuhan.
Dalam konteks sektor pembiayaan konsumsi (multifinance),
akhir-akhir ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Di tengah kelesuan
sektor perbankan yang menderita akibat sektor riil yang tidak bergerak, bisnis
multifinance tumbuh secara meyakinkan. Hingga 2004 ini, penyaluran dana bank ke
multifinance naik sebesar 67% (atau Rp8,3 triliun) dibanding 2003 yang hanya
mampu menyalurkan kredit sebesar Rp4,9 triliun. Secara kuantitatif, jumlah
perusahaan multifinance juga mengalami lonjakan, hingga pertumbuhan sektor
tersebut selama 2004 naik sekitar 20-30%. Fenomena lain adalah terjadinya
merger antara bank dan perusahaan multifinance, sebagaimana terjadi antara Bank
Danamon dengan Adira Finance serta Bank Internasional Indonesia (BII) dengan
Wahana Otomitra Multiarta. Selain itu, perkembangan sektor pembiayaan juga
didukung oleh kemitraan, seperti terjadi antara Bank Mandiri dengan PT Astra
Sedaya, yang menerima kucuran kredit sebesar Rp2,5 triliun. Pendek kata, selain
perbankan, sekarang sektor pembiayaan dan reksadana adalah ujung tombak dalam
sektor finansial kita. Sayangnya, pemerintah nampak tidak siap menghadapi
perkembangan di sektor-sektor tersebut, selain pemulihan dunia perbankan pun
mengalami hambatan yang berarti. Kelembagaan Beralihnya pusat peredaran uang
dari perbankan ke industri pembiayaan dan industri reksadana menyisakan
berbagai persoalan kelembagaan. Sudah siapkan kelembagaan sektor finansial kita
terhadap perkembangan reksadana dan multifinance? Sektor yang lebih krusial
adalah industri reksadana, karena sangat rentan terhadap manipulasi.
Sebagaimana pada awal pertumbuhan sektor perbankan pada 1988, persoalan utamanya
adalah institusi hukum dan aturan main yang ternyata sangat lemah. Akibatnya,
liberalisasi sektor perbankan bukannya menghasilkan struktur pembiayaan yang
kuat bagi sektor riil, justru sebaliknya menyebabkan keterpurukan yang luar
biasa. Inti persoalannya, sektor perbankan tidak dikelola dengan baik, sehingga
tidak memiliki daya dukung yang kuat terhadap struktur perekonomian nasional
secara umum. Sekilas, kita bisa melihat betapa liberalisasi hanya menciptakan
struktur industri perbankan yang rapuh. Sejak Paket Oktober 1988 (Pakto),
terlalu banyak bank berdiri sehingga persaingan sangat tinggi dan pada
gilirannya kualitasnya menjadi sangat buruk. Sementara itu, struktur aset dan
kewajiban timpang karena fungsi pengawasan yang lemah. Hal tersebut bisa
ditunjukkan dengan besarnya off balance sheet liabilities dari keseluruhan aset
di sektor perbankan, yaitu sekitar 63% yang tidak diungkapkan dan di-hedging
secara benar. Singkatnya, liberalisasi tanpa kerangka kelembagaan yang baik,
justru berakibat sangat fatal. Zaman dengan orde liberalisasi berulang kembali.
Sektor finansial yang dibiarkan tumbuh tanpa adanya
regulasi dan kelembagaan yang kuat, dipastikan hanya akan menjadi bumerang di
kemudian hari. Sudah saatnya otoritas di sektor keuangan, seperti Bappepam,
BEJ, BI mengintegrasikan koordinasi untuk membangun kerangka kelembagaan yang
kuat bagi perkembangan sektor finansial. Dunia perbankan yang ternyata masih
menyimpan bara persoalan, harus segara diselesaikan, baik dengan cara merger,
likuidasi maupun dengan mengaktifkan seluruh perangkat pengawasan yang
sementara ini masih terlihat tidak maksimal. Tanpa pemulihan sektor perbankan
serta kesehatan sektor finansial pada umumnya, stabilitas ekonomi makro yang
sudah mulai tercipta akan terganggu kembali. Dan jika stabilitas jangka pendek
kembali terjadi (meski dalam derajat yang lebih kecil ketimbang 1997/1998 lalu)
tetap saja akan mengganggu usaha menciptakan pertumbuhan dalam jangka panjang.
Sebenarnya, pemerintahan baru memiliki peluang yang sangat besar untuk secara
lebih terfokus membenahi kelembagaan di setiap sektor ekonomi, agar tercipta
struktur ekonomi yang kuat. Sayangnya, pemerintahan baru belum juga maksimal
mengarahkan kebijakan-kebijakannya dalam rangka penguatan kelembagaan.
Sebaliknya aroma yang terasa adalah usaha untuk melanggengkan kekuasaan dengan
berimprovisasi melalui penetrasi pada kekuatan-kekuatan politik. Moga-moga
manuver Wakil Presiden Jusuf Kalla mencengkeram Partai Golkar tidak berlanjut
dengan manuver politik yang lain, karena stabilitas serta pemulihan ekonomi
akan menjadi taruhannya.
Sementara itu, rakyat sudah tidak bisa menunggu lebih
lama lagi kesungguhan pemerintah mengatasi krisis ekonomi. Tanpa kredibilitas
dari pemerintah, kebijakan tidak populis seperti menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM), mencabut subsidi, privatisasi serta liberalisasi di berbagai
sektor hanya akan menggerakkan kemarahan massa-rakyat. Kesungguhan,
kredibilitas dan kerja keras harus terlebih dahulu ditunjukkan, sebelum
mengajak rakyat bersama-sama hidup lebih menderita, guna mencapai tahap
pemulihan ekonomi yang lebih tinggi.
Bank
Indonesia diminta mengumumkan kesehatan bank di Indonesia demi menjamin
keselamatan uang masyarakat. Per 22 Maret 2007, rencananya pemerintah melalui
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya akan menjamin simpanan masyarakat di
perbankan sampai Rp 100 juta per nasabah per bank. Lantaran hal itu, masyarakat
perlu mengetahui kesehatan bank secara transparan melalui intervensi BI.
Demikian
diungkapkan Pengamat Ekonomi dari Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi, Kamis (15/3) di Medan dalam sebuah diskusi
perbankan yang diselenggarakan Bank Mandiri. “Untuk mengantisipasi hal yang
tidak diinginkan, maka bank dan masyarakat harus sama-sama proaktif. Pihak
perbankan harus meyakinkan mereka,” kata Pande.
Dia
menuturkan akan terjadi perang informasi bahwa masing-masing bank mengklaim
dirinya sehat. Para nasabah perlu mengetahui mana bank yang terindikasi tidak
sehat. Dia meminta agar masyarakat tidak terkelabui dengan apa yang disampaikan
pihak bank. Salah satunya adalah dengan mengetahui indikator-indikator Loan
Deposit Ratio (LDR), Capital Adequaces Ratio (CAR), dan Net Interest Margin
(NIM).
“Indikator-indikator itu tidak
dengan sendirinya bisa diketahui masyarakat. Namun, perlu adanya pihak ketiga
yang menginformasikan hal itu. Mereka bisa datang dari media ataupun Bank
Indonesia. Saya kira BI bisa melakukan itu,” tutur dia.
Hati-hati
Hati-hati
“Saya memprediksi, BI akan
dituntut masyarakat untuk mengumumkan kesehatan bank ke masyarakat. Pada tahap
selanjutnya, Nasabah bank yang menyimpan dana di atas Rp 100 juta harus
betul-betul mencermati kesehatan dan kemampuan bank mereka,” tutur
dia.
Berdasarkan
data BI, dana pihak ketiga yang disimpan di perbankan meningkat dari Rp 1.127
triliun di tahun 2005 menjadi Rp 1.287 triliun pada Desember 2006. Indikator
kesehatan perbankan seperti CAR, LDR, dan NIM rata-rata meningkat 2,2 persen,
1,9 persen, dan 0,6 persen.
Di
kesempatan yang sama, senada dengan Pande, Direktur Penjamin dan Manajemen
Resiko Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani mengatakan bank harus
dikelola secara profesional dan terbuka agar dapat dipercaya. Menurut dia,
nasabah harus selektif dan tidak mudah terbujuk oleh imbalan bunga tinggi.
Kepala Kantor Wilayah I Bank Mandiri Medan Wahyu Widodo
mengatakan Bank Mandiri siap dengan kebijakan baru tersebut. “Struktur
permodalan yang kuat dengan CAR 25,3 persen jauh di atas ketentuan minimum BI
sebesar 8 persen. Ini adalah alasan untuk melaksanakan ketentuan baru itu.
Prioritas kenyamanan nasabah menjadi prioritas utama bagi Bank Mandiri,” tutur
dia.
VI. BI SUSUN ATURAN BANK SYARIAH
`Bank Indonesia saat ini masih menggodok peraturan mengenai kesehatan bank
syariah, menyusul aturan-aturan dasar lain yang telah dikeluarkan. Menurut
Deputi Gubernur BI Maulana Ibrahim di Jakarta, Jumat (23/1), aturan mengenai
kesehatan perbankan syariah harus dibedakan dengan sistem konvensional.
"Mengingat titik berat sistem syariah adalah proteksi pada investor
atau nasabah, menggunakan sistem bagi hasil," ujar Maulana. Maulana juga
mengatakan, Arsitektur Perbankan Indonesia (API) tetap menjamin eksistensi
perbankan syariah. Dalam kerangka dasar sistem perbankan Indonesia itu, bank
syariah diakomodasi dalam kelompok bank yang melakukan jasa khusus.
Menurut Maulana, API disusun mengacu pada peraturan perbankan yang telah
ada. "Rancangan API kan harus sesuai dengan undang-undang, dan
peraturannya sudah mengamanatkan sistem perbankan kita terdiri atas perbankan konvensional
dan syariah. Karena itu, perbankan syariah ditampung dalam kelompok bank yang
melaksanakan jasa khusus," ujarnya.
Dalam rancangan API yang disampaikan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dua
pekan lalu disebutkan, dalam 10-15 tahun ke depan bank-bank diharapkan dapat
meningkatkan permodalan untuk mencapai struktur perbankan yang optimal.
Berdasarkan besarnya modal, perbankan nasional ke depan digolongkan dalam
empat kelompok, yaitu dua hingga tiga bank dengan kapasitas dan kemampuan
beroperasi di wilayah internasional dengan modal minimum Rp 50 triliun.
Kelompok kedua, tiga sampai lima bank nasional dengan modal Rp 10 triliun-Rp 50
triliun.
Di bawahnya adalah 30-50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen
usaha tertentu sesuai dengan kompetensi masing-masing bank, dengan modal Rp 100
miliar-Rp 10 triliun. Terakhir, kelompok bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank
dengan kegiatan usaha terbatas bermodal kurang dari Rp 100 miliar.
Dirilis,
Sistem Baru Penilaian Kesehatan Bank Syariah
Perkembangan
perbankan Syariah saat ini dan ke depan diperkirakan akan memiliki produk dan
jasa perbankan yang semakin beragam dan kompleks, sehingga eksposur risiko yang
dihadapi juga akan meningkat.
''Perkembangan
metodologi penilaian kondisi bank yang bersifat dinamis, mendorong pengaturan
kembali sistem penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah,
agar dapat memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai kondisi saat ini dan
mendatang,'' kata Deputi Gubernur, Siti Chalimah Fadjrijah di Jakarta, pekan
lalu.
Dia
menjelaskan, meningkatnya eksposur risiko tersebut akan mengubah profil risiko
bank syariah yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank
tersebut. Untuk itulah Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah yang berlaku mulai 24 Januari 2007.
Dalam
penilaian tingkat kesehatan tersebut, bank syariah telah memasukkan risiko yang
melekat pada aktivitas bank. Ini merupakan bagian dari proses penilaian
manajemen risiko.
Bank
Umum Syariah wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara
triwulanan, yang meliputi faktor-faktor Permodalan (capital), Kualitas
aset (asset quality),Rentabilitas (earning), Likuiditas (liquidity),
Sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk), dan
Manajemen (management).
Ia menambahkan, penilaian peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk
faktor financial (permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan
sensitivitas terhadap risiko pasar) dihitung secara kuantitatif dan kualitatif
dengan mempertimbangkan unsur judgement. (bn-59)
VII. KESEHATAN BANK NASIONAL MEMBAIK
Kondisi kesehatan perbankan nasional mengalami perbaikan, di mana rasio
kecukupan modal (CAR) rata-rata hingga saat ini mencapai 20,7 persen dengan
jumlah kredit yang disalurkan Rp 904 triliun, atau tumbuh 19,4 persen.
Demikian dikemukakan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah pada
acara Forum Strategis Bank Indonesia 2007, Rabu (29/8).
"Saya berharap hingga akhir tahun ini kredit bisa tumbuh 20 hingga 22 persen dan kredit bermasalah (NPL) terus dijaga pada tingkat yang relatif rendah 6,36 persen (gross) atau 2,89 persen (nett)," kata Burhanuddin Abdullah. Kesehatan bank, hemat dia, kian menjadi bekal penting guna membendung gejolak eksternal.
"Saya berharap hingga akhir tahun ini kredit bisa tumbuh 20 hingga 22 persen dan kredit bermasalah (NPL) terus dijaga pada tingkat yang relatif rendah 6,36 persen (gross) atau 2,89 persen (nett)," kata Burhanuddin Abdullah. Kesehatan bank, hemat dia, kian menjadi bekal penting guna membendung gejolak eksternal.
Burhanuddin mengemukakan gejolak eksternal dalam tiga minggu terakhir telah
memberi pelajaran penting dalam manajemen makroekonomi Indonesia di tengah
rezim devisa bebas nilai tukar yang dianut. "Setidaknya ada tiga pelajaran
penting yang dapat dipetik dari kondisi ini," kata Burhanuddin.
Pertama, perlunya Bank Indonesia berhati-hati dalam merumuskan dan
mengelola kebijakan ekonomi nasional. Kedua, pentingnya membangun fundamental
ekonomi yang kokoh. Ketiga, tetap melaksanakan proses pembangunan secara
bertahap dengan tetap menjaga keseimbangan berbagai hal terkait proses
pembangunan tersebut.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan industri
perbankan nasional secara fundamental, relatif sudah jauh lebih kuat dibanding
sebelum krisis perbankan 1997.
Indikasi keberhasilannya, lanjut Presiden, bisa dilihat pada saat ini di mana pasar finansial global sedang terjadi gonjang-ganjing sementara industri perbankan sudah punya mekanisme dalam mengelola risiko dan juga katup-katup pengaman.
Indikasi keberhasilannya, lanjut Presiden, bisa dilihat pada saat ini di mana pasar finansial global sedang terjadi gonjang-ganjing sementara industri perbankan sudah punya mekanisme dalam mengelola risiko dan juga katup-katup pengaman.
“Terbukti, gejolak pasar finansial global
tidak sampai mempengaruhi industri perbankan kita. Makroekonomi kita juga makin
kokoh, yang tak luput dari kontribusi perbankan juga,” kata Presiden.
Penjaminan Bergantung pada Kesehatan Bank
Menteri Keuangan Boediono mengatakan, premi penjaminan dalam Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) akan didasarkan pada tingkat kesehatan bank.
"Idealnya, penetapan premi didasarkan pada tingkat kesehatan tiap-tiap
bank atau risk based-nya," tuturnya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR
di Jakarta, kemarin.
Modal awal pendirian LPS, lanjut dia, akan bersumber pada premi penjaminan
yang ada pada saat pelaksanaan program penjaminan oleh pemerintah sampai
terbentuk LPS yang diperkirakan sekitar Rp 4 triliun. "Jumlah itu masih
tetap terbuka untuk dibahas bersama Dewan mengenai modal yang cukup bagi
LPS," tambahnya.
Sementara itu, Darmin Nasution, Dirjen Lembaga Keuangan mengatakan, premi
penjaminan akan berdasarkan pada risiko kegagalan bank, sehingga makin besar
risiko bank ditutup kian besar pula preminya.
"Makin kecil
risiko bank ditutup atau makin sehat banknya, kian kecil pembayaran
preminya," tegas dia.
Dalam LPS, kata dia, diusulkan pembayaran premi 0,1% dari rata-rata dana
pihak ketiga untuk satu sampai dua tahun pertama. Setelah itu berdasarkan pada
risiko kesehatan bank. Pada saat ini premi penjaminan yang ditentukan oleh BPPN
0,25% dari rata-rata dana pihak ketiga setahun.
Dia menyebutkan, kisaran antara premi terkecil dan tertinggi yang harus
dibayarkan untuk penjaminan tidak sampai 0,5%, sehingga bank yang paling sehat
preminya bisa di bawah 0,1%.
Mengenai lingkup penjaminan simpanan, dia mengatakan, nanti hanya akan
menjamin simpanan dana pihak ketiga. Namun, pengurangan lingkup penjaminan
dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, satu tahun setelah LPS terbentuk penjaminan hanya berlaku untuk
dana pihak ketiga dan transaksi antarbank. Kedua, enam bulan berikutnya hanya
simpanan dana pihak ketiga yang akan dijamin.
Dalam RUU LPS disebutkan, LPS merupakan lembaga independen yang memiliki
kewenangan publik dan bertanggung jawab kepada presiden. Presiden tidak dapat
memberhentikan pemimpin LPS kecuali berdasarkan ketentuan yang ditetapkan UU
LPS.
LPS akan dipimpin oleh dewan komisioner dan kepala eksekutif yang terdiri
atas profesional yang memiliki pengalaman dan keahlian di bidangnya.
Tambah
Modal
Sementara itu 55 bank yang saat ini modalnya masih di bawah Rp 100 miliar
bersedia menambah modal sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia.
"Namun untuk penambahan modal tersebut saat ini Bank Indonesia (BI)
belum memperbolehkan bank-bank tersebut melakukan lewat kredit investasi
kolektif efek beragunan aset," kata Mulyaman Hadad, Deputi Direktur
Penelitian dan Pengaturan Perbankan yang juga Kepala Biro Stabilitas Sistem
Keuangan BI di Gedung BI Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Keinginan bank menambah modal lewat kredit investasi kolektif efek
beragunan aset tersebut, menurut di, masih belum memungkinkan karena hingga
saat ini BI belum memiliki aturannya.
"Kami masih akan mengkaji apakah bank bisa menambah modalnya lewat
kredit tersebut. Itu nanti akan ada peraturannya. Sekarang belum, mungkin pada
akhirnya bisa karena aturannya belum ada. Tapi memang memungkinkan diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI)," tambahnya.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia BI memutuskan agar bank meningkatkan
modal minimumnya menjadi di atas Rp 100 miliar pada tahun 2010. Saat ini ada 55
bank yang modalnya masih di bawah Rp 100 miliar.
"Namun pada dasarnya ke-55 bank itu telah bersedia mengikuti koridor
yang diatur dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Mereka saat ini tengah
bersiap-siap menambah modal atau melakukan merger," tuturnya.
Bahkan, lanjut dia, bank-bank yang saat ini memiliki modal di atas Rp 100
miliar, contohnya Bank BRI, Bank BNI, dan Bank Mandiri tengah menggelar
sejumlah program dalam upaya meningkatkan dan memperkuat permodalan.
BI, tegas dia, tidak akan mengubah ketentuan yang berlaku dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia. Sejauh ini belum ada yang mengajukan rencana merger
mengingat tenggang waktu untuk mencapai ketentuan modal itu masih sekitar 7
tahun lagi.
"Untuk bank syariah sejauh ini tidak ada masalah karena semua modalnya
sudah di atas Rp 100 miliar."(dtc-53e)
VIII. CARA MUDAH MEMILIH BANK SEHAT
Jangan
panik menghadapi turunnya batas penjaminan yang kini hanya berlaku untuk
simpanan di bawah Rp 100 juta. Agar dana simpanan Anda aman, pilihlah bank yang
sehat dan berwatak baik. Memilih bank seperti itu tidak terlalu sulit. Berikut
beberapa tipnya.
Ini
berarti, para deposan yang memiliki dana simpanan dalam jumlah besar harus
bersiap menerapkan strategi baru. Maklum, mulai hari itu, Lembaga Penjamin
Simpanan menurunkan batas penjaminan simpanan di bank, dari Rp 1 miliar menjadi
hanya Rp 100 juta Kebijakan ini berlaku terhadap gabungan seluruh rekening
simpananseperti deposito, tabungan, giroatas nama seorang nasabah di sebuah
bank.
Salah
satu langkah paling penting dan mutlak dalam menghadapi penurunan batas
penjaminan simpanan bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan itu adalah: teliti
memilih bank. Sebab, kita sebetulnya membutuhkan talangan dari LPS hanya jika
bank tempat kita menyimpan duit itu bermasalah, bangkrut, dan akhirnya
dilikuidasi oleh Bank mdonesia Kalau banknya sehat-sehat saja, mestinya berapa
pun besarnya dana simpanan kita tak ada masalah sama sekali.
Bagaimana
cara memilih bank yang sehat dan layak dipercaya? Ada dua faktor yang bisa kita
gunakan sebagai alat ukur. Yakni:
1.
Faktor kuantitatif Indikator kesehatan bank secara
kuantitatif bisa kita lihat dari rasio-rasio keuangannya Ada dua rasio utama yang bisa menjadi alat
ukur kesehatan sebuah bank.
Pertama, rasio kecukupan
modal alias capital adequacy ratio (CAR). Secara
sederhana, rasio ini mencerminkan tingkat kekuatan permodalan bank menghadapi
kemungkinan terjadinya kredit macet. Saat ini, Bank Indonesia menentukan
batasan minimal CAR adalah 8%. Jika rasio kecukupan modal sebuah bank berada di
bawah 8%, kemungkinan besar Bank Indonesia akan melikuidasi atau menutup bank
tersebut.
Meskipun
resminya BI masih membatasi CAR minimal sebesar 8%, namun di pasar umumnya
orang menilai sebuah bank layak dikatakan sehat jika CAR-nya tidak lebih kecil
dari 12%.
Kedua,
lihat pula dari rasio kredit bermasalah alias nonperforming loan atau yang
biasa disingkat NPL. Berbalikan dengan CAR, semakin kecil rasio NPL ini semakin
aman bank tersebut. BI sendiri mematok batasan NPL ini maksimal 5%.
Jika
sebuah bank menawarkan bunga yang amat tinggi atau uningiming hadiah mewah,
sementara kita lihat NPL-nya sudah melewati 5%, waspadalah! Sebab, bank itu memenuhi
persyaratan utama untuk mati.
Lantas,
dulu di saat krismon, kredit macet di sektor korporasi memang menjadi biang
kerok matinya bank. Belakangan, bank-bank memang sudah mengerem penyaluran
kredit korporasi. Tapi, itu bukan berarti bahwa risiko likuidasi bank akibat
membengkaknya NPL sudah hilang. Menurut Iigwina Poerwo-Hananto,
CEO
Quantum Magna Financial, saat ini risiko kredit macet bank datang dari sektor
kredit konsumsi dan kredit tanpa agunan yang jor-joran ditawarkan bank.
Di luar
dua rasio utama kesehatan bank tadi, ada beberapa rasio lain yang bisa kita
perhatikan untuk memantapkan langkah kita memilih sebuah bank. Sebut saja rasio
penyaluran kredit alias loan to deposit ratio (LDR). Bank
yang sehat adalah bank yang tingkat LDR-nya tinggi, namun tingkat NPL-nya
rendah. Ini berarti bank tersebut cukup aktif menyalurkan kredit dan kredit
tersebut lancar. Angka ideal LDR ini adalah sekitar 85%-90%.
Rasio lain adalah rasio bunga bersih alias net interest
margin (NIM) yang mencerminkan tingkat keuntungan sebuah bank. Semakin besar
NTM-nya, semakin besar dan semakin sehat sebuah bank.
Lalu,
dari mana kita bisa memperoleh data mengenai rasio-rasio kesehatan itu? Enggak
sulit, kok. Kita tinggal memelototi publikasi laporan keuangan perbankan yang
setiap tiga bulan sekali dimuat di media massa Atau, kita juga bisa mengunjungi
situs-situs bank yang biasanya memuat data-data laporan keuangan, termasuk
rasio-rasio penting tersebut. "Masalahnya, selama ini, tidak semua orang
membacanya. Yang banyak membaca itu justru analis dan pelaku bisnis,"
cetus Imam T. Saptono, Sekretaris Perusahaan Permata Bank. Nah, mulai sekarang,
meskipun bukan analis saham, Anda pun kudu rajin memelototi data-data keuangan
bank.
2.
Faktor kualitatif Faktor kualitatif ini
bisa kita cermati dari sepak terjang alias track record pemegang saham
mayoritas sebuah bank. Secara umum, kita bisa membedakan kepemilikan saham bank
menjadi bank lokal dan bank asing. Umumnya, orang menilai prosedur audit bank
asing lebih ketat dibandingkan dengan bank lokal. Meskipun kini, prosedur audit
bank lokal juga mulai membaik.
Kini semakin sulit memisahkan antara bank lokal dan bank
asing secara saklek. Sebab, banyak pula bank lokal yang kini mayoritas sahamnya
sudah berada di tangan investor asing. Sebut saja Bank Danamon, Permata Bank,
Bank Niaga, Bank Buana, Bank NISP, BH, dan lippo Bank.
Hal
lain dalam faktor kualitatif ini adalah tim manajemennya apakah mereka
kompeten, berpengalaman, dan prudent alias menerapkan prinsip kehati-hatian. "Soal ini,
bisa kita lihat dari tata kelola yang baik atau good corporate governance. Lihat juga cara mereka melaporkan hasil kerja mereka, transparan atau
tidak," saran Roy. Tak lupa, nasabah sebaiknya juga memperhatikan kualitas
pelayanan bank. Semakin banyak fasilitas, semakin luas jaringan, dan semakin
banyak kemudahan bertransaksi yang ditawarkan sebuah bank, tentu akan semakin
menguntungkan nasabah.
"Soal ini,
bisa kita lihat dari tata kelola yang baik atau good corporate governance.
Sekarang giliran Anda untuk
menilai. Apakah bank tempat Anda menyimpan dana hasil jerih payah Anda selama
ini sudah memenuhi ukuran sehat tersebut, sehingga Anda memang layak menyimpan
duit di situ?
Konsep mengenai bank
bermasalah berdampak sistemik yang diatur pada PBI tentang FPD berbeda dengan
konsep bank bermasalah berdampak sistemik yang diatur dalam UU No. 24 tahun
2004 tentang LPS. Bank bermasalah disebut juga dengan bank gagal yang dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu bank gagal berdampak sistemik dan bank gagal yang
tidak berdampak sistemik. Suatu bank disebut sebagai
bank gagal apabila:
·
Bank mengalami kesulitan
keuangan.
·
Masalah
keuangan yang dialami bank dapat membahayakan usahanya.
·
Bank
tidak lagi dapat disehatkan kembali oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP).
Salah satu syarat penyaluran
FPD adalah bahwa bank yang kesulitan likuiditas dan berdampak sistemik haruslah
masih dalam keadaan solven sehingga masih dapat diselamatkan. Sementara pada UU
tentang LPS, penanganan bank gagal yang berdampak sistemik oleh LPS adalah
terhadap bank yang tidak dapat diselamatkan karena dianggap tidak solven.
Masalah solven atau tidaknya suatu bank dapat dilihat dari faktor modal yang
bersifat jangka menengah dan panjang. Sedangkan masalah likuiditas dilihat dari
kebutuhan jangka pendek bank untuk memenuhi kewajibannya.
Penyelesaian yang diserahkan
oleh Komite Koodinasi diperuntukkan bagi penyelesaian bank gagal berdampak
sistemik. LPS menerima pemberitahuan dari LPP
mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan. Jika bank yang
bermasalah tersebut dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh LPP sesuai
dengan kewenangan yang dimilikinya maka bank bermasalah tersebut menjadi bank
gagal. Jika bank gagal tersebut dinyatakan berdampak sistemik oleh komite
koordinasi, maka LPS melakukan penanganan bank gagal berdampak sistemik setelah
menerima penyerahan dari komite koordinasi. Dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Dengan penyetoran modal dari
pemegang saham lama (open bank
assistance). Pemegang saham yang melakukan penyetoran modal adalah seluruh
atau sebagian dari pemegang saham lama. Salah satu cara penyetoran modal yang
dapat ditempuh oleh pemegang saham lama adalah dengan menerbitkan saham biasa (common stock).
Penanganan bank gagal
berdampak sistemik dengan mengikutsertakan pemegang saham lama dapat dilakukan
apabila:
1.
Pemegang
saham telah menyetorkan modal sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
perkiraan biaya penanganan. enyetoran modal sebagaimana dimaksud,
wajib dipenuhi oleh pemegang saham selambat-lambatnya:
·
Lima
belas hari kalender setelah LPS menerima bank gagal sistemik dari Komite
Koordinasi, untuk bank yang yang sahamnya tidak diperdagangkan di pasar modal.
·
Tiga
puluh lima hari kalender setelah LPS menerima bank gagal sistemik dari Komite
Koordinasi, untuk bank yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal.
2.
Ada
pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk:
·
Menyerahkan kepada LPS hak dan
wewenang RUPS.
·
Menyerahkan kepada LPS
kepengurusan bank.
·
Tidak menuntut LPS atau pihak
yang ditunjuk LPS jika proses penanganan tidak berhasil sepanjang LPS atau
pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, terhitung sejak penyerahan pananganan bank gagal oleh
Komite Koordinasi kepada LPS.
Pernyataan RUPS bank tersebut dituangkan dalam
akta notariil. Dengan adanya pernyataan dari RUPS tersebut maka LPS dapat:
·
Menguasai,
mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau yang menjadi
hak-hak bank dan atau kewajiban bank.
·
Menjual
atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan atau kewajiban
bank tanpa persetujuan nasabah kreditur (purchase
and assumption).
·
Melakukan penyertaan modal
sementara.
·
Mengalihkan
menejemen bank kepada pihak lain.
·
Melakukan
merger dan atau konsolidasi dengan bank lain.
·
Melakukan pengalihan
kepemilikan bank.
·
Meninjau
ulang, membatalkan, mengakhiri dan atau mengubah
kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak
ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.
·
Jika
peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran dan atau pengubahan kontrak yang
dilakukan oleh LPS menimbulkan kerugian bagi suatu pihak, pihak tersebut hanya
dapat menuntut penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang diperoleh dari kontrak dimaksud
setelah terlebih dahulu membuktikan dengan nyata dan jelas kerugian yang
dialaminya.
3.
Bank
menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai:
·
Penggunaan
fasilitas pendanaan dari BI.
·
Data keuangan nasabah debitur.
·
Struktur
permodalan dan susunan pemegang saham tiga tahun
terakhir.
·
Informasi
lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan
permodalan bank yang dibutuhkan LPS.
Penyerahan pernyataan RUPS dan
dokumen bank yang dimintakan LPS tersebut di atas wajib dipenuhi oleh bank
selambat-lambatnya satu hari kerja setelah LPS menerima penanganan bank gagal
sistemik dari Komite Koordinasi.
Keputusan dari LPS untuk
melakukan penanganan dengan mengikutsertakan pemegang saham lama adalah tiga
hari kerja setelah tanggal penyetoran modal sebesar dua puluh persen dari
perkiraan biaya penanganan oleh pemegang saham. Keputusan LPS tersebut
ditetapkan dalam suatu keputusan dewan komisioner yang diberitahukan kepada LPP
dan Komite Koordinasi. LPS juga dapat mengumumkan bank gagal berdampak sistemik
yang sedang dalam penanganan pada home
page LPS.
Lembaga Penjamin Simpanan
menghitung dan menetapkan perkiraan biaya penanganan bank gagal sistemik.
Perkiraaan biaya dimaksud adalah jumlah perkiraan biaya untuk menambah modal
disetor bank yang bersangkutan sampai bank tersebut memenuhi ketentuan mengenai
tingkat kesehatan bank. Penghitungan perkiraan biaya penanganan adalah sebesar
jumlah kekurangan KPMM yang ditetapkan oleh LPP dan dapat ditambah dengan
jumlah tertentu yang dipandang perlu oleh LPS.
Sejak tanggal adanya penetapan
LPS untuk melakukan penanganan bank gagal dengan mengikutsertakan pemegang
saham lama, maka:
1.
Pemegang
saham dan pengurus bank melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hak,
kepemilikan, kepengurusan, dan atau kepentingan lain pada bank dimaksud.
2.
Pemegang
saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS
dalam hal proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang
ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Setelah pemegang saham bank
melakukan penyetoran modal perlu diperhatikan keadaan ekuitas bank, jika:
1. Ekuitas bank bernilai positif, LPS dan
pemegang saham lama membuat perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan
saham bank. Dalam perjanjian tersebut diatur mengenai penggunaan hasil
penjualan saham bank dengan urutan sebagai berikut:
·
Pengembalian
seluruh biaya penanganan yang telah dikeluarkan LPS.
·
Pengembalian
kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada posisi sesaat setelah pemegang
saham lama melakukan penyetoran modal.
·
Jika
setelah penggunaan hasil penjualan saham bank masih ada sisa maka akan dibagi
secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama.
2. Ekuitas bank bernilai nol atau negatif,
maka pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank.
Lembaga Penjamin Simpanan
bertanggung jawab atas kekurangan biaya penanganan bank setelah pemegang saham
lama melakukan penyetoran modal dan seluruh biaya penanganan bank menjadi
penyertaan modal sementara LPS pada bank. Kekurangan biaya penanganan tersebut
dapat dapat disetorkan oleh LPS secara sekaligus atau bertahap. Jika syarat
yang dari LPS belum dipenuhi oleh bank sebelum berakhirnya jangka waktu, maka
LPS dapat melakukan penyetoran pendahuluan atas kekurangan biaya penanganan
bank gagal sistemik setinggi-tingginya sebesar 80% dari perkiraan biaya
penanganan.
Lembaga Penjamin Simpanan juga
berkewajiban menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama tiga tahun
sejak pemegang saham dan pengurus bank menyerahkan segala hak, kepemilikan,
kepengurusan, dan kepentingan bank kepada LPS. Penjualan saham tersebut harus
dilakukan secara transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian
yang optimal bagi LPS. Jika tingkat pengembalian
optimal tidak dapat dicapai dalam jangka waktu tiga tahun, maka dapat
diperpanjang sebanyak-banyaknya dua kali dengan masing-masing perpanjangan
selama satu tahun.
Jika penanganan bank gagal
berdampak sistemik dengan mengikutsertakan pemegang saham tidak dapat
dilakukan, maka LPS melakukan penanganan bank gagal tanpa mengikutsertakan
pemegang saham. Adapun yang menjadi penyebab LPS tidak mengikutsertakan
pemegang saham dalam penanganan bank gagal berdampak sistemik adalah:
1.
Pemegang
saham lama tidak bersedia memenuhi syarat penyetoran modal sebesar dua puluh
persen dari perkiraan biaya penanganan tanpa menunggu berakhirnya batas waktu.
2.
Bank
tidak dapat memenuhi persyaratan yang diajukan oleh LPS dalam jangka waktu yang
ditentukan.
Keputusan penanganan bank
gagal berdampak sistemik tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama ditetapkan
dalam suatu keputusan dewan komisioner LPS yang diberitahukan kepada LPP dan
Komite Koordinasi. LPS dapat mengumumkan bank gagal sistemik tersebut pada home page LPS.
Sejak LPS menetapkan untuk
menangani bank gagal tanpa melibatkan pemegang saham lama maka:
1.
LPS
mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan
atau kepentingan lain pada bank dimaksud. Setelah itu
LPS dapat melakukan tindakan:
·
Menguasai,
mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau yang menjadi
hak-hak bank dan atau kewajiban bank.
·
Melakukan penyertaan modal
sementara.
·
Menjual
dan mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan atau kewajiban
bank tanpa persetujuan nasabah kreditur.
·
Mengalihkan
manajemen bank kepada pihak lain.
·
Melakukan
merger atau konsolidasi dengan bank lain.
·
Melakukan pengalihan
kepemilikan bank.
·
Meninjau
ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak bank yang mengikat
bank dengan pihak ketiga yang menurut LPS merugikan bank.
Jika peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran dan atau pengubahan kontrak
yang dilakukan oleh LPS menimbulkan kerugian bagi suatu pihak, pihak tersebut
hanya dapat menuntut penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang
diperoleh dari kontrak dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan dengan
nyata dan jelas kerugian yang dialaminya.
2.
Pemegang
saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk oleh
LPS jika penanganan bank gagal tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang
ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pernyataan RUPS tersebut dituangkan dalam suatu akta notariil.
Seluruh biaya penanganan bank
gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada
bank. LPS berkewajiban menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama
tiga tahun sejak dimulainya penanganan. Penjualan saham tersebut dilakukan
secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat
pengembalian yang optimal bagi LPS, yaitu paling sedikit sebesar seluruh
penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. Jika dalam jangka waktu
tiga tahun tingkat pengembalian optimal belum dapat dicapai, maka dapat
diperpanjang sebanyak-banyaknya dua kali dengan masing-masing perpanjangan
selama satu tahun. Jika dengan perpanjangan waktu tersebut tingkat pengembalian
optimal tidak dapat dicapai, maka LPS dapat menjual saham bank dengan
mengabaikan ketentuan tingkat pengembalian optimal dalam jangka waktu satu
tahun berikutnya.
Jika ekuitas bernilai positif
pada saat penyerahan bank kepada LPS, maka dibuat perjanjian mengenai
penggunaan hasil penjualan saham bank dengan ketentuan:
o
Pengembalian
seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh LPS.
o
Pengembalian
kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada saat penyerahan.
o
Jika
masih ada sisa dari hasil penjualan saham, maka sisa tersebut akan dibagi
secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama.
Namun jika ekuitas bank
bernilai nol atau negatif pada saat penyerahan bank kepada LPS, maka pemegang
saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank setelah
penanganan.
Saham preferen yang dapat
dikonversikan menjadi saham biasa (convertible
preferred stock) akan diterbitkan bank dalam rangka penyertaan sementara
LPS. Saham preferen yang dapat dikonversikan menjadi saham biasa akan dijual
LPS kepada pihak lain. Saham preferen yang dapat dikonversikan menjadi saham
biasa adalah saham yang memberikan hak istimewa dalam:
·
Perolehan
pembayaran deviden tidak secara kumulatif.
·
Perolehan pembayaran terlebih
dahulu dalam hal bank dilikuidasi.
Selama masa penananganan bank
tidak diperkenankan untuk membagi deviden dan seluruh biaya yang timbul
sehubungan dengan penjualan saham bank menjadi beban pemegang saham. Selain
itu bank gagal sistemik yang berada di dalam penanganan LPS juga diwajibkan
menyampaikan:
·
Laporan mengenai kinerja
keuangan.
·
Laporan rasio-rasio keuangan
termasuk rasio kewajiban KPMM.
·
Laporan
lainnya yang diperlukan LPS.
Selama bank gagal sistemik
dalam penanganan LPS, jika menurut penilaian LPP kondisi keuangan bank menurun
sehingga memerlukan tambahan modal disetor untuk memenuhi ketentuan tingkat
kesehatan bank, maka LPS meminta Komite Koordinasi untuk membahas permasalahan
bank serta langkah-langkah yang akan diambil untuk penanganan bank tersebut.
Penanganan bank gagal sistemik
dinyatakan berakhir apabila LPS telah menjual seluruh saham bank. Berakhirnya
penanganan bank sistemik ditetapkan dalam suatu keputusan dewan komisioner LPS
dan diberitahukan kepada LPP dan Komite Koordinasi.
KESIMPULAN
Alternatif Penyehatan Perbankan Nasional
Ada 3 alternatif
yang dapat digunakan untuk penyehatan perbankan Nasional, yaitu :
- Merubah peraturan Bank Indonesia (CAR 8% dan
NPL 5%)
Alternatif pertama akan menimbulkan �moral hazard� CAR 8% belum cukup untuk mendukung Bank yang kuat dan efisien - Redistribusi Obligasi Pemerintah
Alternatif kedua sulit dilakukan karena tidak sesuai dengan kondisi pasar - Penukaran dengan Aset (Asset Swap)
Alternatif ketiga juga sulit dilakukan disebabkan terbatasnya aset yang telah direstrukturisasi di BPPN, sulitnya penentuan harga, dan mekanisme swap.
Cara Memilih Bank Yang Sehat
Ada dua faktor yang dapat kita gunakan sebagai alat ukur yaitu :
- Faktor kuantitatif Indikator
kesehatan bank secara kuantitatif bisa kita lihat dari rasio-rasio
keuangannya Ada dua rasio utama yang bisa menjadi alat ukur kesehatan
sebuah bank.
- Faktor kualitatif Faktor kualitatif ini bisa
kita cermati dari sepak terjang alias track record pemegang saham
mayoritas sebuah bank. Secara umum, kita bisa membedakan kepemilikan saham
bank menjadi bank lokal dan bank asing. Umumnya, orang menilai prosedur
audit bank asing lebih ketat dibandingkan dengan bank lokal. Meskipun
kini, prosedur audit bank lokal juga mulai membaik.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sudarsono, Heri, 2004, Bank dan lembaga keuangan Syari’ah,
Ekonisia, Yogyakarta.
·
Kasmir, 2002, Bank dan lembaga keuangan lainnya, Raja
grafindo persada, Jakarta .
·
Alma, Prof. DR.H, Buchari, 2003, Dasar-dasar etika bisnis
Islami, alfabeta, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar