BAB I
PENDAHULUAN
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan
sistem pembayaran suatu negara. Bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank
juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan sistem pembayaran dunia.
Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu suatu bank telah memperoleh izin
berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter dari Negara yang bersangkutan,
bank tersebut menjadi “milik” masyarakat. Oleh karena itu eksistensinya
bukan saja hanya harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan
pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global.
Menimbang bahwa rahasia bank yang diperlukan
sebagai salah satu faktor untuk menjaga kepercayaan nasabah penyimpan,
dimungkinkan dibuka untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank,
kepentingan peradilan dalam perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank
dengan nasabahnya, dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, atas
permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah, dan permintaan ahli waris yang
sah dari nasabah yang telah meninggal dunia;
Dalam Pasal 1 angka 16 UU No 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (UUP 1992) dinyatakan bahwa rahasia bank adalah “segala
sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal ini dari nasabah bank yang
menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan”. Pengertian “kelaziman
dunia perbankan” dijelaskan dalam penjelasan Pasal 40 yaitu “seluruh data dan
informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal
lain dari orang dan badan yan diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya”
Dasar Hukum ketentuan rahasia bank di Indonesia, mula-mula adalah Undang-undang no.7 tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi kemudian diubah dengan Undang-undang no.10/1998. Sesuai pasal 1 ayat 28 Undang-undang no.10/1998, berbunyi sebagai berikut: Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem
pembayaran suatu negara. Bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga
telah menjadi bagian dari system keuangan dan system pembayaran dunia.
Mengingat hal yang demikian itu, maka begitu suatu bank telah memperoleh izin
berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter dari Negara yang bersangkutan,
bank tersebut menjadi "milik" masyarakat. Oleh karena itu
eksistensinya bukan saja hanya harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri
dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global.
Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu
bank menjadi sangat penting, lebih-lebih bila diingat bahwa ambruknya suatu
bank akan mempunyai akibat rantai atau domino effect, yaitu menular
kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil dapat sangat
mengganggu fungsi sistem keuangan dan system pembayaran dari negara yang
bersangkutan. Hal ini adalah seperti yang pernah terjadi ditahun 1929-1933
ketika kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih setengah
dari jumlah bank yang ada pada waktu itu gulung tikar.
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya
tergantung mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana
simpanan mereka pada bank. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar
kadar kepercayaan masyarakat, yang telah maupun yang akan menyimpan dananya,
terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian
dari sistem keuangan dan system pembayaran, yang masyarakat luas berkepentingan
atas kesehatan dari sistem-sistem tersebut, sedangkan kepercayaan masyarakat
kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank, maka
terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan
masyarakat banyak.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat
kepercayaan masyarakat
terhadap
suatu bank. Faktor-faktor tersebut adalah:
- Integritas pengurus
- Pengetahuan dan Kemampuan pengurus baik berupa
pengetahuan kemampuan manajerial maupun pengetahuan dan kemampuan teknis
perbankan
- Kesehatan bank yang bersangkutan
- Kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.
Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu faktor
untuk dapat memelihara dan meningkatkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap
suatu bank pada khususnya dan perbankan pada umumnya ialah kepatuhan bank
terhadap kewajiban rahasia bank. Maksudnya adalah menyangkut "dapat atau
tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya pada bank tersebut
untuk tidak mengungkapkan simpanan nasabah identitas nasabah tersebut kepada
pihak lain". Dengan kata lain, tergantung kepada kemampuan bank itu untuk
menjunjung tinggi dan mematuhi dengan teguh "rahasia bank".
Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank
apabila ditetapkan bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara
bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai kewajiban pidana. Bila hanya
ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu
menjadi kurang kokoh karena kewajiban kontraktual secara mudah dapat
disimpangi.
Hal itulah yang telah melandasi ditetapkannya
ketentuan rahasia bank dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998
sebagai tindak pidana bagi pelanggarannya. Pasal-pasal yang mengatur rahasia
bank dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ialah Pasal 40, 41, 41A, 42, 42A,
43, 44, 44A, 45, 47, 47A, 50, 50A, 51, 52 dan 53.
SEJARAH
MUNCULNYA KONSEP RAHASIA BANK
Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk
melindungi nasabah bank yang bersangkutan. Hal ini nyata terlihat ketika Court
of Appeal Inggris secara bulat memutuskan pendiriannya dalam kasus Tournier
v. National Provincial and Union Bank of England tahun 1924, suatu
putusan pengadilan yang kemudian menjadi leading case law yang
menyangkut ketentuan rahasia bank di Inggris dan kemudian diacu oleh
pengadilan- pengadilan negara-negara lain yang menganut common law system.
Bahkan 60 tahun sebelum putusan Tournier tersebut, yaitu dalam perkara Foster
v. The Bank of London tahun 1862, juri telah
berpendapat bahwa terdapat kewajiban bagi bank untuk tidak boleh mengungkapkan
keadaan keuangan nasabah bank yang bersangkutan kepada pihak lain. Namun pada
waktu itu pendirian tersebut belum memperoleh afirmasi dari putusan-putusan
pengadilan berikutnya.
Timbulnya pemikiran untuk perlunya merahasiakan
keadaan keuangan nasabah bank sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai
kewajiban rahasia bank, adalah semula bertujuan untuk melindungi kepentingan
nasabah secara individual. Ketentuan rahasia bank di Swiss, yaitu suatu negara
yang dikenal mempunyai ketentuan rahasia bank yang dahulunya paling ketat di
dunia, adalah juga semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah bank
secara individual. Pada waktu itu ketentuan rahasia bank bersifat mutlak;
artinya tidak dapat dikecualikan karena alasan apapun juga. Ketentuan rahasia
bank di Swiss lahir mula-mula sehubungan dengan kedudukan Swiss sebagai negara
yang netral secara tradisional. Alasan pertama, dalam abad ke 17, ribuan kaum Huguenots
dari Perancis melarikan diri ke Swiss oleh karena mereka dikejar-kejar atau
dilakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap mereka sehubungan dengan agama
yang mereka anut. Diantara mereka itu kemudian ada yang menjadi bankir,
dan menginginkan agar supaya kerahasiaan dari nasabah-nasabah mereka untuk
urusan-urusan keuangannya di Negara asalnya dirahasiakan. Alasan kedua adalah
sehubungan dengan dikejar-kejarnya orang-orang Yahudi di waktu regime Nazi
berkuasa di Jerman di tahun 1930-an dan 1940-an.
Namun perkembangan sehubungan dengan keadaan politik
dalam negeri, keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya
kejahatan-kejahatan di bidang money laundering, dan kebutuhan
akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan
kebutuhan akan perlunya pelonggaran terhadap kewajiban rahasia bank yang mutlak
itu. Artinya, apabila kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum harus
didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank
untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual itu (dalam arti tidak
boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah) harus dapat dikesampingkan.
Contoh yang konkrit mengenai hal ini adalah berkaitan dengan kepentingan negara
untuk menghitung memungut: 1) pajak nasabah yang bersangkutan, 2) penindakan
korupsi, dan 3) pemberantasan money laundering.
Merupakan hal yang kontradiktif bahwa dalam hal-hal
tertentu, justru demi kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum,
dikehendaki agar kewajiban rahasia bank diperketat. Kepentingan negara yang
dimaksud adalah pengerahan dana perbankan untuk keperluan pembangunan.
Kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum itu dilandasi oleh alasan bahwa
dijunjung tingginya dan dipegang teguhnya kewajiban rahasia bank merupakan
faktor terpenting bagi keberhasilan bank dalam upaya bank itu mengerahkan
tabungan masyarakat. Selain itu terganggunya stabilitas moneter adalah antara
lain dapat diakibatkan oleh runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
karena terlalu longgarnya rahasia bank. Dalam kaitan itu, undang-undang yang
mengatur mengenai rahasia bank harus tidak memungkinkan kewajiban rahasia bank
secara mudah dapat dikesampingkan dengan dalih karena kepentingan umum
menghendaki demikian.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
kewajiban rahasia bank yang harus dipegang teguh oleh bank adalah bukan
semata-mata bagi: (1) kepentingan nasabah sendiri, tetapi juga (2) bagi bank
yang bersangkutan dan (3) bagi kepentingan masyarakat umum sendiri.
RUMUSAN
PENGERTIAN RAHASIA BANK DAN RUMUSAN TINDAK PIDANA RAHASIA BANK
Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia
mula-mula ialah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi
kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Pengertian rahasia bank oleh Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 diberikan oleh Pasal 1 angka 16 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Rahasia bank
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari
nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Pengertian ini telah diubah dengan pengertian yang
baru oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Oleh Undang-Undang itu rumusan yang
baru diberikan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang
lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Rahasia bank
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan
dan Simpanannya.
Selain dari memberikan rumusan dari pengertiannya,
Undang-Undang Perbankan juga memberikan rumusan mengenai delik rahasia bank.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 memberikan rumusan delik rahasia bank
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1). Bunyi lengkap dari rumusan
delik rahasia bank menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 ialah:
Pasal 40
(1) Bank
dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan
dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut
kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasl 41, 42, 43 dan 44
Rumusan
delik rahasia bank tersebut di atas telah diubah dengan rumusan yang baru,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dari Undang-Undang No. 10 Tahun
1998. Rumusan yang baru itu lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Bank
wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya,
kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.
Kedua
rumusan delik rahasia bank itu sangat berbeda. Perbedaannya akan diuraikan
dalam bab bab berikut dari makalah ini. Tindak pidana rahasia bank menurut
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 51 ialah kejahatan. Sanksi tindak pidana
rahasia bank ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2), yaitu pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda
sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak
Rp. 8.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
LINGKUP
RAHASIA BANK
Pertanyaan sehubungan dengan ketentuan rahasia bank
ialah: Apakah yang harus dirahasiakan itu hanya terbatas kepada keadaan
keuangan nasabah penyimpan dana saja? Apakah juga menyangkut keadaan keuangan
nasabah debitur? Dengan kata lain, apakah lingkup rahasia bank hanya menyangkut
pasiva (liabilities) bank berupa dana nasabah bank ataukah juga meliputi
aktiva (assets) bank berupa kredit bank kepada nasabah.
Apakah juga menyangkut penggunaan jasa-jasa bank yang
lain selain jasa penyimpanan dana dan jasa pemberian kredit? Apakah keadaan
keuangan dari nasabah yang hanya menggunakan jasa perbankan dari bank tersebut
selain berupa jasa simpanan dan kredit, seperti pengiriman uang (transfer
dana), pembukaan L/C, penerimaan L/C, harus pula dirahasiakan? Sehubungan
dengan lingkup rahasia bank, juga merupakan legal issue mengenai apakah
identitas nasabah merupakan hal yang harus dirahasiakan juga? Ketika meletus
peristiwa kredit macet dari Golden Key Group atau Eddy Tansil yang diberikan
oleh PT. Bank Pembangunan Indonesia (Persero) atau Bapindo, maka telah timbul
berbagai pendapat di kalangan masyarakat mengenai: Apakah rahasia bank itu juga
berlaku bagi keadaan keuangan dari nasabah debitur, lebih-lebih lagi nasabah
debitur yang telah macet kreditnya? Yang paling keras pendapatnya adalah Kwik
Kian Gie yang berpendapat bahwa rahasia bank hanya berlaku bagi nasabah
penyimpan dana,
tidak berlaku
bagi nasabah debitur. Pada waktu itu, rumusan rahasia bank yang berlaku adalah
rumusan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 (sebelum diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998).
Dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 yang mengemukakan "Kerahasiaan itu diperlukan untuk kepentingan
bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di
bank" dapat disimpulkan bahwa lingkup rahasia bank memang menyangkut
simpanan nasabah. Namun bila membaca kalimat selanjutnya dari penjelasan Pasal
40 ayat (1) itu yang berbunyi "masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya
kepada bank atau memanfaatkan jasa bank (sudah barang tentu termasuk jasa bank
berupa kredit, penulis) apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank
tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah (termasuk kredit yang
diperolehnya, penulis) tidak akan disalahgunakan", dapat disimpulkan bahwa
bukan hanya keadaan keuangan dari nasabah yang menyimpan dana pada bank saja
(pasiva bank), tetapi juga nasabah lain yang menggunakan jasa bank selain jasa
penyimpanan dana. Dengan demikian rahasia bank juga berlaku bagi nasabah
debitur atau kredit bank (aktiva) maupun nasabah yang menggunakan jasa
bank lain, seperti misalnya kiriman uang, pembukaan L/C, jaminan bank, dan
lain-lain.
Bahwa ketentuan rahasia bank menurut Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 berlaku bukan saja menyangkut keadaan keuangan dari nasabah
penyimpan dana (pasiva bank), tetapi berlaku pula bagi kredit yang diperoleh
oleh nasabah debitur dari bank tersebut (aktiva bank), adalah dapat pula
disimpulkan dari penjelasan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan
dengan informasi antara bank mengenai kredit.
Penafsiran tentang pengertian rahasia bank seperti
yang dikemukakan di atas adalah juga pendirian Bank Indonesia sebagaimana
dikemukakan dalam Surat Direksi Bank Indonesia No. 2/377/UPPB/PbB tanggal 11
September 1969 kepada semua bank-bank di Indonesia perihal "Penafsiran
tentang Pengertian Rahasia Bank". Surat Bank Indonesia tersebut sekalipun
berkaitan dengan penafsiran tentang pengertian rahasia bank menurut Pasal 36
dan Pasal 37 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, namun masih dianggap tetap
berlaku berkaitan dengan ketentuan rahasia bank menurut Undang- Undang No. 7
Tahun 1992.
Masyarakat
merasa sangat tidak puas atas rumusan rahasia bank sebagaimana dirumuskan oleh
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Masyarakat berpendapat bahwa
rumusan itu terlalu jauh, karena sampai mencakup kredit bank yang diberikan
kepada nasabah. Masyarakat berpendapat bahwa seyogianya lingkup rahasia bank
hanya meliputi dana simpanan nasabah saja (pasiva bank) dan keterangan yang
menyangkut nasabah penyimpannya. Lingkup rahasia bank yang sampai meliputi
kredit yang diterima oleh nasabah (aktiva bank), dirasakan oleh masyarakat
sebagai memperkosa atau memasung hak masyarakat untuk mengetahui kredit-kredit
macet perbankan yang sangat mempengaruhi kesehatan perbankan. Sehubungan dengan
itu, maka rumusan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
Undang- Undang No. 7 Tahun 1992 telah diubah dengan rumusan yang baru
sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 40 ayat (1) yang baru dalam Undang-Undang No.
10 Tahun 1998. Menurut rumusan Pasal 40 ayat (1) tersebut, lingkup rahasia bank
ditegaskan hanya terbatas kepada simpanan nasabah (pasiva bank) saja.
Berkaitan dengan lingkup yang wajib dirahasiakan
berkenaan dengan berlakunya ketentuan rahasia bank itu ialah apakah
indentititas nasabah bank harus pula dirahasiakan oleh bank. Dari rumusan Pasal
40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup
rahasia bank adalah menyangkut bukan saja simpanan nasabah tetapi juga
(identitas) Nasabah Penyimpan yang memiliki simpanan itu. Bahkan dalam rumusan
Pasal 40 itu, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu daripada “Simpanannya”.
Nampaknya dalam pikiran pembuat Undang-Undang, justru identitas Nasabah
Penyimpannya lebih penting daripada Simpanannya. Atau mungkin pula dalam
pikiran pembuat Undang-Undang, “Nasabah Penyimpan” sengaja disebut lebih dahulu
daripada “Simpanannya”, untuk menekankan bahwa merahasiakan identitas Nasabah
Penyimpannya sama pentingnya dengan merahasiakan Simpanannya.
Dibeberapa negara memang lingkup dari rahasia bank
tidak ditentukan hanya terbatas kepada keadaan keuangan nasabah saja, tetapi
meliputi pula identitas nasabah yang bersangkutan.
Lingkup
rahasia bank sebaiknya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Menyangkut
sisi liabilities (pasiva) bank. Sisi asset (aktiva) bank tidak
perlu dirahasiakan.
2. Keadaan keuangan
nasabah bukan penyimpan dana yang menggunakan jasa bank sesaat (walk-in
customer) yang jasa bank itu menimbulkan kewajiban bagi bank untuk
membayarkan dana kepada pihak tersebut atau pihak yang ditunjuk oleh yang
bersangkutan (antara lain berupa pengiriman uang) yang dana itu berasal dari
setoran nasabah.
3. Identitas
nasabah.
Dapatkah
Pengadilan Menembus Rahasia Bank?
Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan dalam
bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang
lain. Demikian bunyi Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung. Ketentuan tersebut berubah dengan lahirnya UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 27 menyatakan Mahkamah Agung dapat
memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat masalah hukum kepada
Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintahan apabila diminta. Pansus DPR
mengenai Bank Century beberapa waktu yang lalu meminta nasehat Mahkamah
Agung untuk bagaimana dapat mengetahui aliran dana Bank Century. Mahkamah
Agung memperkenankan Pansus DPR untuk minta izin Pengadilan Negeri.
Pertanyaan yang utama adalah dapatkah Pengadilan
Negeri menembus ketentuan rahasia bank sebagaimana yang tercantum dalam
UU No. 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket dan UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pasal 22 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1954 menyatakan
mereka yang karena kedudukannya, karena pekerjaannya ataupun karena
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat membebaskan diri dari
memberikan penyaksian, akan tetapi semata-mata hanya mengenai hal-hal
yang dipercayakan kepadanya sebagai rahasia dalam kedudukan, pekerjaan
atau jabatan tersebut. Selanjutnya UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10
Tahun 1998 menyebut secara limitatif orang-orang yang boleh mengetahui keadaan
keuangan nasabah. Mereka itu adalah pejabat pajak (Pasal 41), pejabat Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/PUPN (Pasal 41A). Begitu juga untuk kepentingan peradilan
dalam perkara pidana Polisi, Jaksa, Hakim dapat memperoleh keterangan dari Bank
mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank (Pasal 42). Pasal 42A menyatakan,
bahwa Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 41A, dan Pasal 42.
Pengadilan melalui putusan atau penetapan dalam suatu
perkara dapat merubah undang-undang. Bahkan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, bahwa Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya. Contohnya, walaupun tidak ada undang-undang penggantian
kelamin, melalui persidangan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta (1972)
mengabulkan permohonan Iwan Rubianto menjadi wanita Vivian Rubianti. Putusan
ini diikuti oleh Pengadilan Negeri Surabaya yang mengabulkan permohonan Soekoco
menjadi wanita dan berganti nama menjadi Henrriete Soekoco melalui persidangan
(1975).
Melalui putusan dalam suatu perkara hakim dapat pula
merubah undang-undang. Mahkamah Agung R.I. dalam Tanco v. Wong A Kiong, No.
677 K/Sip/1972, mengubah undang-undang merek. Mereka yang berhak atas suatu
merek adalah perndaftar pertama. Melalui putusan ini, Mahkamah Agung R.I.
merubahnya menjadi “… pendaftar pertama yang beritikad baik”. Bahwa Mahkamah
Agung dapat pula merubah hukum, misalnya dalam putusan Ginting v. Sitepu,
No. 179/Sip/1961 (1961) dan Inaq Rasini v. Amaq Atimah, No. 1589
K/Sip/1974 (1978), dimana wanita yang sebelumnya tidak menjadi ahli waris
di Batak Karo dan Lombok, dalam alam Indonesia merdeka, wanita sama dengan
pria, sehingga wanita dikedua daerah tersebut menjadi ahli waris. Pernah
Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Keuangan mengeluarkan fatwa No.
WKMA/Yud/20/VIII/2006. Mahkamah Agung menyatakan Pasal 2g Undang-Undang No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun karena
fatwa bukan sumber hukum, modal yang telah dipisahkan dari APBN tersebut oleh
penegak hukum tetap dianggap Keuangan Negara.
Sebenarnya Pansus DPR bisa mendapat keterangan dana
nasabah melalui Pasal 44A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dengan
meminta persetujuan atau kuasa tertulis dari nasabah. Bank wajib memberikan
keterangan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah tersebut. Melalui pasal ini
maka sanksi dalam Pasal 47 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat
terhindarkan, yaitu barangsiapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari
Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak
terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,
diancam dengan pidana penjara dan denda. Komisaris, direksi, pegawai bank atau
pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam juga dengan pidana penjara dan denda.
Izin Pengadilan Negeri tersebut menurut hemat saya telah merubah UU No. 6 Tahun
1954 tentang Hak Angket dan UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan sepanjang mengenai rahasia bank. Penetapan ini adalah tidak
pas karena bukan putusan dalam suatu perkara sengketa antara para pihak atau
permohonan yang disidangkan, antara lain dalam suatu judicial review. Mahkamah
Agung hanya boleh mengadakan judicial review peraturan dibawah undang-undang.
Tampaknya kita perlu membuat UU Hak Angket yang baru berdasarkan UUD 1945
menggantikan UU Hak Angket lama yang berdasarkan UUDS 1950.
BAB III
KESIMPULAN
Konsep
rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang bersangkutan.
Timbulnya pemikiran untuk perlunya merahasiakan keadaan keuangan nasabah bank
sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank, adalah
semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual.
Dari
berbagai penjelasan diatas mengenai rahasia bank dapat kita tarik kesimpulan
bahwa sanya dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
yang mengemukakan "Kerahasiaan itu diperlukan untuk kepentingan bank
sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di
bank" dapat disimpulkan bahwa lingkup rahasia bank memang menyangkut
simpanan nasabah.
Berkaitan dengan lingkup yang wajib dirahasiakan
berkenaan dengan berlakunya ketentuan rahasia bank itu ialah apakah indentititas
nasabah bank harus pula dirahasiakan oleh bank. Dari rumusan Pasal 40
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup
rahasia bank adalah menyangkut bukan saja simpanan nasabah tetapi juga
(identitas) Nasabah Penyimpan yang memiliki simpanan itu. Bahkan dalam rumusan
Pasal 40 itu, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu daripada
“Simpanannya”.
Pengadilan melalui putusan atau penetapan dalam suatu
perkara dapat merubah undang-undang. Bahkan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, bahwa Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya.
PENUTUP
Demikainlah yang dapat kami sampaikan. Sebagai manusia biasa pasti dari
yang telah kami sampaikan masih banyak kekurangan dan banyak kesalahan yang
belum kami ketahui. Karena itu kami berharap kepada teman-teman sekalian agar
dapat membantu kami untuk perbaikan makalah-makalah kami yang selanjutnya,
karena dari hal yang kecil lama kelamaan akan menjadi sesuatu yang besar.
Semoga makalah ini dapat sedikit menambah pengetahuan kita dan bermanfaat bagi
kehidupan kita, saat ini, esok, dan selamanya. Amin.....
DAFTAR PUSTAKA
·
Poernomo, Bambang, dan Sakidjo, Aruan, Hukum Pidana: Dasar
Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
·
Sholehuddin, M, Tindak Pidana Perbankan, Jakarta: Rajawali Press, 1997.
·
Gazali, Djoni S. dan Usman, Rachmadi, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010
·
Jurnal Nasional, 24 Februari 2010
·
Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992
·
Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar