Pembicaraan
dalam makalah ini di bagi menjadi empat bagian, yaitu mengenai pengertian dan
bentuk-bentuk turut berbuat serta perhatian fuqaha terhadap soal: turut
berbuat-langsung dan turut
berbuat tidak-langsung.
A.
PENGERTIAN
DAN BENTUK TURUT BERBUAT
Suatu
jarimah adakalanya diperbuat oleh seorang diri dan adakalanya oleh beberapa
orang. Apabila di perbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama
antara mereka tidak lebih dari empat :
a. Pembuat
melakukan jarimah bersama-sama orang lain (memberikan bagiannya dalam melaksanakan
jarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan bersama-sama.
b. Pembuat
mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
c. Pembuat
menghasut (menyuruh) orang lain untuk memperbuat jarimah.
d. Member
bantuan dan kesempatan untuk dilakukannya jarimahdengan brbagai-bagai cara
tanpa turut berbuat.
Untuk membedakan antara turut-berbuat-langsung dengan
turut-berbuat-tidak-langsung, maka dikalangan fuqaha diadakan dua penggolongan,
yaitu: 1. Orang yang turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah,
disebut syarik mubasyir”. Dan
perbuatannya disebut “isytirak-mubasyir” 2.
Orang yang tidak turut berbuat-secara langsung dalam melaksanakan jarimah
disebut “syarik mustasabbib” , dan
perbuatannya disebut “isytirak ghairul
mubasyir”, atau “ isytirak
bit-tasabbubi”.
Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah kalau orang
pertama menjadi kawan nyata dalam pelaksanaan jarimah, sedang orang kedua
menjadi sebab adanya jarimah, baik karena janji-janji atau menyuruh (menghasut)
atau memberikan bantuan, tetapi tidak ikut serta secara nyata, dalam
melaksanakannya.
Pada KUHP Indonesia pasal 55, kita dapati bentuk-bentuk
kerjasama dalam melaksanakan jarimah, yaitu: melakukan, menyuruh melakukan,
turut melakukan dan menghasut, yang dijatuhi hukuman sebagai pembuat. Pada
pasal 56, kita dapati bentuk lain yang diancam sebagai pembantu melakukan
jarimah, yaitu: membantu waktu kejahatan dilakukan, dan member kesempatan,
ikhtiar dan keterangan untuk melakukan kejahatan. Sering-sering hanya menjadi
orang yang tidak berbuat menjadi perencana (otak), kejahatan (intellectuele
dader). Disebut juag “pembuat tidak langsung” (middelijke dader) atau peminjam
tangan. Orang yang bebruat sendiri sering-sering hanya menjadi kaki tangan atau
alat (werktuig), disebut juga “pembuat langsung” (onmiddelijke dader).
Pembagian tersebut
nampaknya terlalu intelektualistis dan formalistis. Dalam praktek tidak mudah
untuk membedakan satu bentuk kerjasama dengan bentuk lainnya, sebab ada juga
bentuk-bentuk tengah (tusschenvormen).
Tidak mengherankan kiranya kalau timbul keinginan untuk menyederhanakan
pembagian yaitu pembuat jarimah (daders) disatu pihak, dan dipihak lain mereka
yang dengan jalan apapun juga telah memberikan kerjasamanya dalam mewujudkan
suatu jarimah.
PENGERTIAN FUQAHA
Para fuqaha hanya membicarakan hukum “turut berbuat
langsung” (isytirak mubasyir) , sedang hokum “turut berbuat tidak langsung”
(isytirak ghaitul mubasyir) boleh dikata tidak di singgung-singgung. Boleh jadi
hal ini disebabkan karena menurut aturan syari’at islam, hukuman yang telah
ditentukan hanya dibutuhkan atas orang yang turut berbuatdengan langsung, bukan
atas orang yang turut berbuat tidak langsung dan aturan tersebut diterapkan
dengan teliti sekali oleh imam Abu Hanifah.
Akan tetapi fuqaha selainnya mengecualikan jarimah
pembunuhan dan penganiayaan dan ketentuan secara umum tersebut yakniuntuk kedua
macam jarimah ini, baik pembuat-langsung maupun pembuat-tidak-langsungdajatuhi
hukuman. Alasannya ialah karena kedua jarimah tersebut bias dikerjakan dengan
langsung dan tidak langsung, sesuai dengan sifat-sifat jarimah itu. Kalau kita
berpegangan seluruhnya dengan aturan tersebut maka akibatnya banyak pembuat
tidak-langsung yang terhindar dari hukuman, sedang ia sebenarnya turut serta
melaksanakan jarimah tersebut seperti pembuat langsung juga.
Jadi berdasarkan aturan tersebut diatas
pembuat-tidak-langsung (peminjam tangan atau orang yang menghasut umpamanya)
apabila turut melakukan jarimah yang diancam hukuman tertentu (tidak ada batas
terendah atau batas tertinggi), maka tidak dikenakan dengan hukuman itu
sendiri, sebab hukuman tersebut hanya diancam kepada pembuat langsung saja.
Dengan perkataan lain turut berbuat-tidak langsung termasuk jarimah ta’zir,
baik perbuatan yang dikerjakannya itu termasuk jarimah hudud atau qisas atau
diyat.
Dari sini kita dapat memahami mengapa para fuqaha tidak
membicarakan secara khusus terhadap soal “turut-berbuat-tidak-langsung”, sebab
perbuatan tersebut tidak termasuk jarimah hudud-qisas, yaitu jarimah yang
mendapat perhatian utama dari mereka.
Meskipun demikian, perbuatan tersebutdisinggung-singgung
juga oleh mereka ketika membicarakan jarimah pembunuhan dan penganiayaan, sebab
jarimah-jarimah ini bias terjadi dengan jalan berbuat langsung atau tidak
langsung. Dari pembicaraan mereka tersebut dapat diambil aturan-aturan tentang
perbuatan ikut serta dan pada umumnya aturan-atuan tersebut tidak kalah dengan
sistim terbaru pada hukum pidana positif.
B.
TURUT
BERBUAT – LANGSUNG
Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat
apabila orang-orang yang memperbuat jarimah-jarimah dengan nyata lebih dari
seorang atau biasa di sebut di kalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan
nama “berbilangnya pembuat asli” (madedares).
Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seseorang
melakukan sesuatu perbuatan yg d pandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah
yang sudah cukup di sifati sebagai ma’siat, yang di maksidkan untuk
melaksanakan jarimah itu. Dengan istilah sekarang ialah apabila ia melakukan
percobaan, baik jarimah yang di perbuatnya itu selesai atau tidak, karena
selesai atau tidaknya suatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai
orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya
hukuman, apabila jarimah yang di perbuatannya itu selesai, sedang jarimah itu
hanya jarimah had, maka pembuat di jatuhi hukuman had, dan maka kalau tidak
selesai di jatuhi hukuman ta’zir.
Akan tetapi para fukaha mempersamakan hukuman beberapa
bentuk turut-berjuang-tidak-langsung dengan turut-berjuang-langsung, meskipun
pada bentuk pertama tersebut (tidak langsung) pembuat tidak turut melakukan
sendiri unsur jarimah. Berdasar kan itu, maka ke dua contoh berikut ini,
pembuat di jatuhi hukuman sebagai orang yang turut berbuat langsung.
Pertama:
orang yang memperbuat jarimah sendirian atau
bersama-sama orang lain. Jika masing-masing dari tiga orang tersebut mengarah
kan tembakan kepada korban dan mati karena tembakan itu, maka ketiga orang
tersebut di anddap melakukan pembunuhan. Demikian pula apabila mereka
bersama-sama mengambil barang orang lain, masing-masing di anggap sebagai
pencuri.
Dalam pada itu, fuqaha mengadakan pemisahan apakah kerja
sama dalam mewujudkan jarimah terjadi secara kebetulan, atau memang sudah di
rencanakan bersama-sama sebelumnya. Keadaan pertama di sebut “tawaquf” dan
keadaan ke dua di sebut “tamalu”.
Pada “tawaquf” niatan apa peserta dalam jarimah tertuju
untuk memperbuatnya, tampa ada kesepakatan sebelumnya melainkan masing-masing
peserta berbuat karena dorongan pribadinya dan fikirannya yang timbul seketika
itu, seperti yang sering-sering terjadi pada kerusuhan-kerusuhan demonstrasi
atau perkelahian secara keroyokan.
Pada “tamalu”para peserta telah bersepakat untuk
memperbuat sesuatu jarimah itu dan menginginkan bersama terwujudnya hasil
jarimah itu. Serta saling membantu dalam melaksanakan-nya. Apabila ada dua
orang bersepakat untuk membunuh orang ke tiga, kemudian kedua-duanya pergi,
lantas yang satu mengikat korban dan yang lain memukul kepalanyasehingga
mati,maka kedua-duanya bertanggung jawab atas kematian tersebut.
Menurut kebanyakan fuqaha ada perbedaan
pertanggungan-jawab peserta antara “tawafuq dengan “tamalu”. Pada tawafuq,
masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Jadi
dalam keadaan tamalu seperti pada contoh di atas,yang satu di persalahkan
karena memukuli.
Pendirian syariat islam dalam persoalan turut berbuat
langsung sama dengan pendiriannya mengenai soal “jarimah percobaan”,yakni
menghukum berdasar kan niatan si pembuat. Pendirian tersebut sama dengan
pendirian subyektif.yang banyak di pakai pada hukum-hukum positif moderen, di
antaranya ialah hukum pidana RPA.
Yurisprudensi di indonesia pada mulanya mengambil
pendirian obyektif. Akan tetapi kemudian terjadi perubahan, dengan timbulnya
suatu macam teori campuran (gemengde theorie) antara teori subyektif. Teori
campuranmelihat kepada macamnya perbuatanyang diperbuat dan kepada perjanjian
yang diadakan peserta dalam jarimah. (jongkers 109)
Kedua
: juga dipandang pada turut-berbuat-langsung
peserta yang menjadi sebab ( tidak langsung), apabila pembuat-langsung menjadi
kaki tangannya semata-mata.pendirian ini di setujui oleh para fuqaha,akan
tetapi dalam penerapannya kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat.
Jika seorang penyuruh anak di bawah umur atau orang yang
mempunyai khtikad baik untuk membuat orang lain, kemudian suruhan itu di
laksanakannya, maka orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pembuat
langsung.menurut imam malik, syafi’i dan ahmad, meskipun ia tidak melaksanakan
suatu perbuatan namun dalam keadaan demikian, orang yang di suruh hanya
merupakan alat semata-mata.
Akan tetapi menurut imam abu hanifa,orang yang menyuruh
tersebut tdk di anggap sebagai pembuat langsung,kecuali apabila suruhannya itu
merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakan. Kalau tidak sampai pada tingkat
paksaan ( ikrah ) maka perbuatannya tersebut (suruhan) dianggap sebagai turut
berbuat-tidak langsung (bittasab bubi = si pembantu ) dan hukumannya tidak sama
dengan orang yang melaksanakannya langsung.
Dikalangan hukum positif dan serjana-serjana hukum
positif belum ada kesepakatan apakah kawan berbuat tidak langsung dapat
dianggap sebagai pembuat langsung (dader ),aturan pidana RPA sebelum tahun 1904
mengikuti pendirian tersebut di mana seorang kepala komplotan yang menyuruh
anak buahnya untuk membunuh orang lain di anggap sebagai pembuat asli (dader),
bukan lagi sebagai kawan berbuat (mededader).akan tetapi sesudah tahun
1904,orang yang menyuruh tersebut hanya di anggap sebagai kawan berbua,
meskipun praktek peradilan RPA sekarang masih menganggap kawan berbuat tidak
langsun sebagai pembuat langsung (orang yang melakukan). Hal tersebut mungkin
di karenakan kuatnya aliran subyektif dan banyaknya orang yang pertahankan
aliran tersebut. Dengan demikian, seolah-olah sistem peradilan RPA mengikuti
pendirian fuqaha.
Pada KUHP indonesia,kawan berbuat tidak langsung di
jatuhi hukumansebagai pembuat, artinya dianggap sebagai pembuat langsung.
Hukuman Para Peserta
Langsung
Pada dasarnya menurut syariat islam banyaknya pembuat
jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang di jatuhkan atasannya, seperti
kalau masing-masing dari mereka melakukan jarimah sendiri, meskipun
masing-masingnya ketika bersama-sama dengan lainnya tidak melakukan semua
bagian-bagian perbuatan yang menimbulkan akibat yang terjadi.
Walaupun demikian, masing-masing peserta dalam jarimah
bisa terpengaruh oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri, seperti cara terjadinya
perbuatan, keadaan pembuat dan niatnya.
Boleh jadi pembuat yang sama dianggap sebagai penganiayaan
bagi seseorang, sebagai pembelaan diri bagi pembuat ke dua, sebagai tindakan
peringatan bagi pembuat ke tiga dan seterusnya.
Atau mungkin salah
seorang pembuat gila, yg lain sehat pikirannya; lainnya sengaja berbuat, dan
yang lainnya lagi berbuat karena salah sangka (kekhilafan). Semua keadaan
tersebut mempengaruhi kepada berat ringannya hukuman, sebab orang yang membela
diri atau memberi peringatan tidak dapat di hitung, asal tidak melebihi
batas-batas yang di perlukan, dan orang yang khilaf lebih ringan dari pada
orang yang sengaja berbuat.
Akan tetapi pengaruh keadaan-keadaan tersebut hanya
terbatas pada ornag yang bersangkutan, artinya tidak menimbulkan pengaruh pada
pembuat yang lain ( kawan berbuat ) yang tidak mengalami keadaan yang sama.
Kalau seseorang melukai orang lain dengan maksud untuk
membela diri, kemudian datang orang ke tiga dengan sengaja membunuh orang lain
tersebut, kemudian orang itu mati, atas perbuatannya, maka pembuat pertama
tidak di jatuhi hukuman, karena pembelaan diri memperbolehkan ia berbuat
demikian, sedang pembuat ke dua di jatuhi hukuman pembunuhan sengaja, karena
perbuataannya itu suatu kesalahan yang di sengajakan, dan hukumannya itu tidak
dapat di pengaruhi oleh terbarengnya dia dengan orang yang boleh bertindak terhadap
korban.
Begitulah aturan pokok yang telah di sepakati oleh para
fuqaha. Nampaknya di kalangan fuqaha tergdapat perbedaan pendapat mengenai
penerapan peraturan tersebut atas jarimah hudud dan qisas. Akan tetapi apabila
di teliti lebih lanjut sebenarnya yang menjadi pangkal perbedaan pendapat
tersebut ialah penerapan aturan lain, yaitu aturan tentang “menhindari
hukuman-hukuman HAD, karena ada SUBHAT” dan perbedaan tersebut hanya terbatas
pada peristiwa yang boleh jadi perbuatan salah seorang kawan berbuat itulah
yang menimbulkan akibat yang dapat di hukum, buakn perbuatan kawan berbuat
lainnya, seperti peristiwa kematian karena perbuatan dua orang yang satu
sengaja membunuh, sedangkan yang lain karena kekhilafan semata-mata, atau yang
satu sudah dewasa dan yang lain masuh di bawah umur, atau yang satu adalah
penyerang (penganiaya) dan yang lain adalah dokter.
Menurut sebagian fuqaha kegaduhan dalam (kesamaran) yang
timbul, yaitu kepada perbuatan siapa peristiwa kematian itu di pertalikan,
menimbul kan subhat yang karenanya kawan berbuat lainnya tidak dikenakan
hukuman (jadi seluruhnya). Menurut fuqaha lainnya padfa peristiwa tersebut
tidak ada kegaduhan (subhat) yang bisa menghapuskan hukukman had dan
masing-masing pembuat di jatuhi hukuman yang semestinya.
Jadi perbedaan pendapat tersebut tidak terletak pada asas
“tidak adanya pengaryuh keadaan seseorang atas kawan berbuatnya”, melainkan
atas asas “ menghindarkan hukuman karena ada subhat”, meskipun dalam hasil
praktisnya bagi yang memakai asas terkhir tersebut (subhat),ialah bahwa kawan
berbuatnya dalam jarimah terpengaruh juga oleh keadaan kawannya, baik keadaan
perbuatan itu sendiri atau keadaan perbuatan dan niatnya.
Asas “tidak adanya pengaruh keadaan seseorang atas kawan
berbuatnya” yang di kemukakan oleh syariat sesuai sekali dengan sistem hukum
pidana RPA sebgai sistem yang banyak di pakai pada hukum-hukum positif
sekarang. Pasal 39 KUHP RPA menyatakan sebagai berikut : “ apabila terdapat
keadaan-keadaan tertentu pada salah satu pembuat yang mengharuskan adanya
perubahan pada sifat jarimah atau hukum baginya, maka keadaan tersebut tidak
berlaku pada orang lain dari pembuat-pembuat tersebut. Demikian juga halnya,
apabila mengharuskan adanya perubahan pada niatan pembuat jarimah atau cara
mengetahui jarimah itu”.
Sistem yang sama juga di pakai dalam KUHP indonesia
sebagai mana sistem yang tercantum dalam pasal 58; “keadaan diri yang
menyebabkan orang tidak dapat dihukum di kurangi atau di tambahi hukumannya,
waktu melakukan undang-undang pidana hanyalah boleh di perhatikan terhadap si
pembuat atau si pembanntu yang ada dalam keadaan itu”.
C.
TURUT
BERBUAT TIDAK LANGSUNG (ISYTIRAK BI-TASABBURI)
Yang dimaksud turut berbuat tidak langsung ialah setiap
orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu
perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain atau memberikan bantuan
dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan
menyuruh serta memberi bantuan.
Dari keterangan tersebut kita mrngetahui Unsur-unsur
turut berbuat tidak langsung, yaitu :
1.
Perbuatan yang dapat dihukum
(jarimah)
2.
Niatan dari orang yang turut
berbuat, agar sikapnya itu perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi
3.
Cara mewujudkan perbuatan
tersebut yaitu mengadakan persepakatan,
atau menyuruh, atau membantu.
Unsur Pertama
Perbuatan dimana kawan berbuat tidak langsung memberi
bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak
diperlukan bahwa pembuat langsung harus dihukum pula. Jadi pada jarimah
percobaan, kawan berbuat tidak langsung tidak dapat langsung dihukum. Demikian
pula apabila pembuat asli tidak dapat dihukum, misalnya karena masih di bawah
umur, atau gila atau karena mempunyai i’tikad baik.
Unsur kedua
Dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, dimaksudkan
oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya sesuatu jarimah tertentu.
Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut
berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya.
Kalau jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkannya maka
tidak ada “turut berbuat”, meskipun karena persepakatan dan lain-lain itu
sendiri ia bisa dijatuhi hukuman.
Unsur Ketiga
1. Persepakatan
Persepakatan
bisa terjadi karena adanya saling memahami dan karena kesamaan kehendak untuk
berbuat jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya, maka tidak ada “turut
berbuat” kalau sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah
yang terjadi dan dikerjakan bersama.
Jika
seorang bersepakat dengan orang lain untuk mencuri kambing, kemudian pembuat
langsung memukul pemilik kambing atau mencuri kambing bukan milik orang dituju,
maka disini tidak ada persepakatan atas jarimah yang terjadi. Akan tetapi tidak
adanya “turut berbuat” tidak berbarti bahwa persepakatan itu tidak dihukum,
sebab persepakatan itu sendiri sudah merupakan perbuatan ma’siat.
Untuk
terjadinya “turut berbuat” sesuatu jarimah harus merupakan akibat persepakatan.
Jika seseorang bersepakat dengan orang kedua untuk membunuh orang ketiga,
kemudian orang ketiga tersebut telah mengetahui apa yang akan diperbuat
terhadap dirinya dan oleh karena itu ia pergi ke tempat orang kedua tersebut.
Dan ia (orang ketiga) itu hendak membunuhnya terlebih dahulu, akan tetapi orang
kedua itu dapat membunuh orang ketiga terlebih dahulu karena untuk membela
diri, maka kematian orang ketiga tersebut tidak dianggap sebagai akibat
persepakatan, melainkan karena akibat pembelaan diri dari orang kedua, yaitu
orang yang mestinya akan melakukan pembunuhan sendiri terhadap orang ketiga.
Meskipun
terhadap orang kedua tidak dijatuhi hukuman
karena pembelaan diri tersebut namun ia dapat dihukum karena
persepakatan jahatnya dengan orang lain, sebab persepakatan jahat itu sendiri
adalah suatu perbuatan maksiat yang dihukum baik dapat dilaksanakan atau tidak.
Dalam hal “turut berbuat” tidak langsung, Imam Malik
mempunyai pendapat yang menyendiri, yaitu apabila terjadi persepakatan antara
seseorang dengan orang lain, di mana yang satu menjadi pembuat yang langsung,
sedang yang lain tidak berbuat tetapi menyaksikan pelaksanaan jarimah, maka
orang yang menyaksikan tersebut dianggap sebagai “kawan berbuat langsung” (made
dader)
2. Menyuruh
(menghasut ; tahridl)
Yang dimaksud dengan menghasut ialah membujuk orang lain untuk berbuat
jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbuatnya jarimah, walaupun
tidak ada hasutan atau bujukan maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai
pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah,
namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
Kalau orang yang mengeluarkan perintah (bujukan)
mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintah, seperti orang tua terhadap
anaknya atau guru terhadap muridnya, maka perintah tersebut bisa dianggap
sebagai paksaan. Kalau yang diperintah itu tidak dibawah umur, tidak dungu atau
gila dan yang memerintah tidak mempunyai kekuasaan atasnya, maka perintahnya
itu dianggap bujukan biasa, yang boleh jadi menimbulkan jarimah atau tidak.
3. Memberi
bantuan (I’anah)
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam
perbuatan jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung. Meskipun tidak
ada persepakatan untuk itu sebelumnya, seperti mengamat-amati jalan untuk
memudahkan pencurian bagi orang lain. Perbedaan antara memberi bantuan dengan
pembuat asli ialah kalau pembuat asli (Mubasyir) adalah orang yang memperbuat
atau mencoba memperbuat pekerjaan yang dilarang; maka memberi bantuan tidak
berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan
perbuatan-perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan-perbuatan
yang dilarang ataupun sebagai pelaksanaan terhadap perbuatan tersebut.
D.
PERTALIAN
PERBUATAN – LANGSUNG DENGAN PERBUATAN TIDAK- LANGSUNG (MUBASYARAH DENGAN SEBAB)
Pertalian antara kedua macam perselisihan tersebut
apabila kumpul kedua-duanya, tidak lebih dari kemungkinan.
1. Perbuatan-tidak-langsung
lebih kuat dari pada perbuatan langsung, dan hal ini bias terjadi apabila
perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hokum (pelanggaran
hak), seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adanya putusan hakim untuk
menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Persaksian palsu adalah perbuatan
tidak langsung.
2. Perbuatan-langsung
lebih kuat dari pada perbuatan-tidak-langsung. Hal ini terjadi apabila
perbuatan langsung, dapat memutus
daya-kerja perbuatan-tidak-langsung, dan perbuatan tidak-langsung itu sendiri
tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi, seperti halnya seseorang menjatuhkan orang lain kedalam
jurang, kemudian dating orang ketiga datang
membunuh orang yang ada dalam jurang itu.
3. Kedua
perbuatan tersebut seimbang, yaitu pabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti
memaksa orang lain untuk melakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah
yang menggerakkan pembuat langsung melakukan jarimah, sebab kalau sekiranya
tidak ada pemaksa etntunya orang kedua
tidak akan berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua,belum
tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.
Akan tetapi dalam penerapan(pembedaan-pembedaan)tersebut
terdapat perbedaan di kalangan fukaha, seperti halnya apabila ada orang yang
menahan orang lain agar tidak terjadi pembunuhan oleh orang ketiga.
Menurut iman Abu hanifa dan Syafi’I orang pertama (yang
menahan) adalah peserta yang member bantuan bukan pembuat asli(langsung).
Alasannya ialah bahwa orang yang menahan meskipun menjadi sebab bagi kematian
orang kedua, namun orang kedualah yang melakukan pembunuhan langsung, sedangkan
perbuatan langsung lebih kuat dari pada perbuatan-tidak-langsung apabila
perbuatan-tidak-langsung tidak mengharuskan menimbulkan akibat.
Menurut fuqaha lainnya, yaitu iman-iman malik dan bebrapa
ulama mazhab hambali,baik orang menahan maupun orang yang membunuh langsung,
kedua-duanya dianggap sebagai pembunuh langsung. Alasannya ialah bahea
perbuatan-perbuatan langsung dan tidak langsung pada contoh diatas sama-sama menimbulkan akibat perbuatan
jarimah yaitu ke3matian si korban.
Kalau sekiranya tidak ada salah dari kedua perbuatan itu tentunya tidak
terjadi kematian tersebut.
Jadi letak perbedaan bukan kepada siapa pembantu dan pada
siapa pembuat asli (langsung), melainkan apakah perbuatan tidak langsung pada
contoh tersebut sama dengan perbuatan
langsung atau tidak.
Apabila kawan berbuat mengurunkan persepakatannya atau
hasutannya maupun bantuannya, akan
tetapi meskipun demikian suatu jarimah terjadi dari pembuat langsung. Maka
kawan berbuat tidak di hokum, karena apa yang telah di perbuatnya tidak menjadi
sebab bagi terjadinya jarimah.
Khusus mengenai hasutan, maka kawan berbuat baru di
manfaatkan betul-betul kalau penghasut dapat menunjukkan bahwa dia telah
menghapuskan pengaruh perbuatan atas terjadinya jarimah.
E.
PERTALIAN
SEBAB AKIBAT ANTARA TURUT BERBUAT DENGAN JARIMAH
Turut berbuat
baru dianggap ada, apabila benar-benar ada pertalian sebaba akibat dengan
jarimah yang terjadi. Kalau bentuk turut berbuat berupa persepakatan, maka
jarimah yang terjadi harus merupakan akibat persepakatan tersebut begitupun pada cara turut
berbuat lainnya.
Jika seseorang
karena tipu muslihatnya membawa orang lain pergi kepada suatu tempat tertentu,
agar di tempat itu orang ketiga dapat membunuhnya: akan tetapi orang ketiga
tersebut tidak muncul di tempat yang telah ditentukan itu, kemudian orang
pertama membiarkan orang kedua pulang ke rumahnya, setelah orang ketiga
mengetahui apa yang terjadi ia kemudian pergi ke rumah orang kedua dan di
rumahnya ini orang kedua dibunuh, oleh orang ketiga. Dalam contoh ini orang
pertama tidak dianggap sebagai kawan berbuat atau pemberi bantuan, karena tidak
ada pertalian sebab akibat anatara perbuatannya dengan jarimah yang terjadi:
meskipun dengan kualifikasi lain orang pertama tersebut dapat dijatuhi hukuman.
Turut-berbuat-tidak-langsung dengan jalan tidak-berbuat
Bentuk-bentuk
turut berbuat tersebut di ata, yaitu persepakatan dan hasutan adalah
perbuatan-perbuatan nyata (positif). Akan tetapi member bantuan tidak langsung
memang pada hakekatnya berupa sikap tidak berbuat, seperti orang yang melihat
segerombolan penjahat yang membunuh orang lain, kemudian didiamkan olehnya atau
melihat orang yang membuang anak kecil di sungai besar tetapi ia diam dan tidak
menyelamatkan anak tersebut.
Menurut
kebanyakan fuqaha, berdiam diri pada contoh-contoh tersebut tidak dianggap
memberibantuan kepada pembuat jarimah. Meskipun bisa dianggap bantuan dari segi
akhlak (moril) namun tidak bisa dianggap bantuan perbuatan tidak langsung
kepada jarimah dari segi kepidanaan, sebab pemberian bantuan yang dapat dihukum
ialah yang berdasarkan atas saling mengerti anatara pemberi bantuan dengan
pembuat langsung dan memang jarimah yang terjadi dikehendaki oleh pemberi
bantuan.
Diam diri pada
contoh-contoh tersebut boleh jadi hanya dikarenakan takut atau kurang
perhatian, dan dengan diamnya itu, ia sama sekali tidak menghendaki
jarimah-jarimah yang terjadi.
Akan tetapi
fuqaha lain tidak berpendirian demikian, dan mereka memperbedakan antara orang
yang sanggup menahan terjadinya jarimah atau menyelamatkan korban dengan orang
yang tidak sanggup. Bagi orang yang sanggup, maka ia bisa dituntut dari segi
kepidanaan karena dirinya, sebagai peserta dan pembantu. Bagi orang yang tidak
sanggup, maka ia tidak dapat dipersalahkan karena ia tidak bisa berbuat lain.
Turut berbuat “sadar-kemungkinan-akibat”
Kawan berbuat harus mempertanggung-jawabkan pula terhadap
jarimah yang diperbuat oleh pembuat asli, meskipun jarimah itu lebih besar
daripada yang dimaksud oleh kawan berbuat tersebut selama jarimah itu dpaat
terjadi dari tutur berbuatnya dan dari pelaksanaan jarimah tersebut.
Jika seseorang
menyuruh orang lain untuk memukul orang ketiga dengan pukulan biasa akan tetapi
orang lain tersebut memukulnya sedemikian kuatnya sehingga berakibat kematian,
maka orang pertama, sebagai kawan berbuat, tidak saja bertanggung jawab atas
pemukulan tersebut, tetapi juga atas kematian semi-sengaja, karena kematian
korban adalah suatu hal yang mungkin bisa terjadi dalam melaksanakan jarimah
pemukulan.
F.
HUKUM
KAWAN – BERBUAT (PEMBUAT - TIDAK - LANGSUNG)
Pada dasarnya menurut syariat islam, hukuman-hukuman yang telah
ditentukan jumlahnya yakni dalam jarimah hudud dan qisas dijatuhkan atas
pembuat langsung jarimah, bukan
atas kawan berbuatnya (pembuat langsung). berdasarkan aturan tersebut
maka siapa turut berbuat dalam jarimah hudud atas qisas,tidak dijatuhi hukuman
yang telah ditentukan jumlahnya bagaimanapun bentuk turut berbuatnya itu,melainkan dijatuhi hukuman
ta’zir.
Alasan pengkhususan aturan tersebut untuk jarimah-jarimah
hudud dan qisas ialah pada umumnya hukuman yang telah ditentukan jumlahnya itu
sangat berat,dan tidak berbuat langsungnya kawan-berbuat merupakan syubhat yang
bisa menghindarkan had. kawan-berbuat
pada umumnya tiadak sama bahasanya seperti pembuat langsung,oleh karena itu
tidak sama hukumannya.
Meskipun pada aturannya tersebut namun kalau
sekiranya perbuatan kawan tersebut (pembuat tidak langsung) bisa dipandang
sebagai pembuat asli, karena
pembuat asli hanya sebagi alat semata-mata maka kawan-berbuat tersebut dijatuhi
hukuman had atau qisas. menurut
imam malik sendiri kawan-berbuat-tidak-langsung,bagaimanapun caranya,dianggap
sebagai pembuat langsung, apabila
ia menyaksikan terjadinya jarimah,dan apabila pembuat asli’’tidak sanggup
melaksanakan,atau kerja sama dengan orang lain.
Apakah aturan tersebut diatas,yaitu pembuatan hukuman
antara pembuat asli dengan kawan berbuat tidak langsung,berlaku juga jarimah
ta’zir?
Kalau kita mempersamakan jarimah ta’zir atas jarimah
hudud dan qisas,maka hukuman perbuatan tidak langsung lebih ringan daripada
hukuman pembuat langsung,karena aturan berlaku pada jarimah-jarimah hudud dan
qisas pada galibnya juga berlaku pada jarimah ta’zir.
Kalau kita mengatakan bahwa aturan pembedaan tersebut
hanya berlaku untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, dan sebab pembedaan
tersebut ialah beratnya hukuman,maka
pada jarimah ta’zir,tidak ada perbedaan hukuman antara pembuat langsung dengan
pembuat tidak langsung,sebab perbuatan masing-masing pembuat tersebut termasuk
jarimah ta’zir dan hukumannya juga ta’zir,sedang syariat tidak memisahkan
antara satu jarimah ta’zir dengan jarimah ta’zir lainnya.selama hakim mempunyai
kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir maka tidak ada
perlinya membuat pemisahan antara hukuman perbuatan langsung dengan perbuatan
tidak langsung bisa sama berat atau lebih berat daripada hukuman pembuat
langsung berdasarkan keaadaan masing-masing pembuat dan perbuatannya.
Pengaruh Pembuat-Langsung
Atas Kawan-berbuatnya
Hukuman pembuat tidak langsung adakalanya terpengaruh
atau tidak terpengaruh dengan keadaan diri dan perbuatan pembuat langsung.
Dari segi perbuatan,apabila perbuatan pembuat langsung
sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat tidak langsung dan perbuatan itu
berupa jarimah ta’zir atau hudud dan qisas maka masing-masing menerima
hukumannya seperti yang dibicarakan di atas.
Dari segi keadaan pembuat asli,maka apabila hukum menjadi
hapus,diberatkan atau diringankan,maka keadaan tidak terpengaruh pada pembuat
tidak langsung,karena perubahan tersebut hanya didasarkan atas keadaan pembuat
tidak langsung sendiri,seperti halnya anak-anak dibawah umur dengan orang
dewasa,atau antara orang yang bisa memperbuat jarimah (pengulang jarimah
=recidivist) dengan pembuat tidak langsung yang belum melakuka jarimah.
Keadaan pembuat tidak langsung hanya berpengaruh pada
dirinya sendiri,dan tidak mempengaruhi hukuman pembuat langsung,seperti kalu
pembuat pertama tersebut masih dibawah umur atau gila dan sebagainya.
Antara Syariat dengan Hukum
Positif
Pendirian
syariat islam sama dengan hukum positif mengenai pengertian perbuatan tidak
langsung (turut berbuat tidak langsung),bentuk-bentuknya dan pertalian sebab
akibat antara perbuatan tidak langsung dengan jarimah yang terjadi.mengenai
hukuman terhadap para pembuat peserta-peserta dalam jarimah hudud dan
qisas,pendirian sama dengan sistem hukum pidana belgia sekarang,dimana hukuman
pembuat langsung lebih ringan daripada pembuat-pembuat langsung sesuai dengan
sistem hukum RPA dalam jarimah pembunuhan sengaja.
Mengenai
hukuman terhadap para pembuat (peserta-peserta) dalam jarimah ta’zir,pendirian
syariat islam sama dengan sistem pidan RPA dan perancis untuk sebagian
jarimah,dimana baik pembuat langsung maupun pembuat tidak langsung dijatuhi
hukuman yang sama.
Tentang pengaruh keadaan pembuatan tidak
langsung terhadap diri pembuat tidak langsung,pendirian syariat islam sama
dengan sistem hukum pidana italia.
bang minta refrensi bukunya dong
BalasHapusAwee nengka susah tuh
BalasHapus