Jumat, 16 Desember 2011

ISLAM DAN WELFARE STATE (Sebuah Analisis Perbandingan)

A. PENDAHULUAN
Jika sistem ekonomi Islam adalah berbeda atau bukan merupakan sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, bagaimana dengan konsep welfare state (negara kesejahteraan). Makalah ini akan mencoba membahas tentang welfare state dalam pandangan Islam.
Varian lain yang paling populer dari kapitalisme saat ini adalah konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang banyak diterapkan di negara-negara industri utama dunia. Welfare state berusaha untuk mengurangi ekses negatif yang muncul dari liberalisme sebagaimana dalam kapitalisme murni, serta mengaktifkan peran negara. Dengan langkah ini mereka berharap dapat mengurangi daya tarik sosialisme, sekaligus memperkuat posisi kapitalisme. Konsep ini memperoleh momentum pertama setelah great depression tahun 1930-an di Amerika, dan kemudian setelah Perang Dunia kedua – sebagai respon atas tantangan kapitalisme dan kesulitan-kesulitan yang terjadi akibat depresi dan perang.
Menurut Chapra (1995), pada prinsipnya sistem ini tetap bertumpu kepada market system, namun berusaha untuk mengurangi ketidak seimbangan pasar (market imperfection) – yang menyebabkan in-efisiensi operasi pasar dan mengganti kegagalan pasar (market failure) dengan berbagai peran pemerintah. Untuk upaya ini, maka beberapa langkah yang biasa ditempuh antara lain dengan berbagai regulasi pemerintah, nasionalisasi (oleh negara) atas perusahaan-perusahaan utama, penguatan serikat buruh, optimalisasi kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan lain-lain. Meskipun sistem ini secara teknis operasional telah berbeda jauh dengan versi awal kapitalisme, tetapi kerangka kerja keseluruhan tetap kapitalisme.
Nah apa dan bagaimana sesunguhnya hakikat dari negara kesejahteraan ini akan penulis kemukakan secara singkat padat dalam makalah ini, yang kemudian coba penulis bandingkan dengan sistem Islam dalam hal pengelolaan ekonomi negara. Sedapat mungkin penulis memberikan analisis dan penilaian yang objektif terhadap kedua sistem berkenaan.
B. KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)
Secara harfiah, terjemahan bebas dari welfare state adalah negara kesejahteraan. Secara istilah, pengertian dari negara kesejahteraan adalah sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.” [1]
Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin. Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, kesejahteraan negara difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), di pihak lain. Kesejahteraan negara ditujukan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk – orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga negara secara adil dan berkelanjutan.
Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).
Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya[2]. Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis.[3]
Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya. Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga.
Dapat dikatakan, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis[4].
Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara. Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara.
C. SEJARAH SINGKAT WELFARE STATE
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith[5], ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five giant evils’ yang harus diperangi.[6]. Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave).
Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Sayangnya, sistem ini memiliki kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal.
Dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara[7]. Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat sistem negara kesejahteraan sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis.
Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon konsekuensi-konsekuensi kapitalisme.
D. MODEL DAN PENGALAMAN PRAKSIS WELFARE STATE
Seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem negara kesejahteraan tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi[8]:
1. Model Universal
Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare states yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, negara kesejahteraan di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Negara kesejahteraan di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.
2. Model Korporasi atau Work Merit Welfare states
Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.
3. Model Residual
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum; (b) perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan (c) pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.
4. Model Minimal
Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan model ini.
E. PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN WELFARE STATE
Jika Islam tidak menerima sosialise dan kapitalisme, lalu bagaimana sikapnya terhadap ajaran Negara kesejahteraan, yang berusaha menemukan kesetimbangan di antara kedua sistem ini. Mengingat kecenderungan egalitariannya, sistem Islam sering dibandingkan dengan negara kesejahteraan berdasarkan kemiripan sikap pokok sosial dari kedua sistem itu, sehingga jika seseorang dipaksa memilih di antara sistem-sistem ekonomi yang telah ada, negara kesejahteraan hampir pasti akan dipilih oleh pembuat kebijakan muslim sebagai pranata ekonomi terbaik kedua. Sebagaimana negara kesejahteraan, Islam memerintahkan kepada para penganutnya agar mencapai “kesetimbangan yang baik” dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya. Sesungguhnya kaum muslim diberi ciri khusus dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai “kaum pertengahan”: “Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yag adil dan pilihan….” (2:143) – yaitu bangsa-bangsa yang menghindarkan sikap-sikap ekstrem.[9]
Walaupun demikian, haruslah diperhatikan bahwa Islam tidak sama dengan negara kesejahteraan. Bila kemiripan antara kedua sistem ini bersifat sangat mendasar, maka ketidakmiripan yang membedakan satu dari lainnyapun tak kurang pentingnya:
Pertama, sebagaimana semua sistem sosial yang tidak Islami, ajaran negara kesejahteraan tidak dibangun di atas konsep moral. Keaslian Islam terletak pada upayanya untuk menjadikan moral sebagai titik berangkat pandangannya mengenai ekonomi. Hal ini bertentangan dengan negara kesejahteraan, yang pada umumnya sekular, yang tidak bertujuan untuk memadukan secara vertikal aspirasi material dan spritual manusia. Dalam Islam, kewajiban moral dengan gigih mengendalikan dan memperkuat tekanan ekonomi. Kalau negara kesejahteraan berusaha untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi berubah menjadi pemujaan terhadap uang, maka Islam pada satu sisinya dalam meningkatkan kesejahteraan , menambahkan dimensi rohani pada kegiatan ekonomi. Dengan demikian, dalam Islam tak diperbolehkan adanya kemerosotan moral demi kesejahteraan ekonomi.
Sebagaimana kapitalisme, negara kesejahteraan masih menganut falsafah sekularisme dan hedonisme. Meskipun dalam negara kesejahteraan sasaran-sasaran yang hendak dicapai lebih humanis dibandingkan kapitalisme, tetapi ia gagal membentuk strategi-strategi yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sebagai indikator kegagalan itu, berbagai data emperik menunjukkan bahwa di negara-negara penganut welfare state berbagai masalah ekonomi klasik, seperti kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, defisit fiskal, pengangguran, dan lain-lain. Hal ini telah menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap efektifitas negara kesejahteraan untuk mencapai tujuannya, sebagaimana dinyatakan Halsey (1981),”terdapat kemerosotan kepercayaan yang meluas terhadap kapasitas negara kesejateraan untuk mampu mengantarkan sasaran-sasaran seperti tingkat kesempatan kerja atau pelayanan-pelayanan kesejahteraan”. Bahkan, Hirschman (1980), dengan tegas menyatakan, “negara kesejahteraan kini berada dalam kesulitan yang membuatnya tidak dapat menjadi peserta kontes”. Salah satu penyebab ini adalah ketiadaan suatu norma atau etika kolektif yang dapat menjadi acuan bersama. Sesuai dengan kerangka sekularisme maka negara kesejahteraan cenderung mengabaikan peranan etika dan norma dalam perumusan strategi ekonominya.[10]
Kedua, sikap kesetimbangan di antara kedua sistem ini tidaklah sama, letak kesetimbangan, di bawah sistem Islam ditetapkan secara berbeda, akan ditandai oleh suatu wadah “konsumsi” khusus, tanpa menyertakan komoditi yang oleh Islam dilarang untuk dikonsumsi, yang dalam negara kesejahteraan semua boleh dikonsumsi.
Ketiga, konsep Islam tentang negara sejahtera pada dasarnya berbeda dari konsep welfare state yang diusung barat. Konsep Islam lebih komprehensif, yaitu bertujuan mencapai kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh, dan kesejahteraan ekonomi hanyalah sebagian daripadanya. Sesunguhnya, konsep Islam bukan hanya manifestasi nilai ekonomi, tetapi juga pada nilai spritual, sosial dan politik Islami. Sedangkan dalam konsep welfare state dunia barat, hanya bertumpu pada kesejahteraan ekonomi semata. Nilai sosial Islam, mengatur perilaku, kehidupan keluarga, tetangga, pengurusan harta kekayaan, anak yatim dan piatu, dan seterusnya. Al-Qur’an memperhatikan perbedaan ras, warna kulit, bahasa, kekayaan dan lain sebagainya yang menjadi rencana sosial (QS Ar Rum, 30;32). Tapi tidak satupun dari ketentuan ini yang berlebihan atau memaksakan ketidakmampuan. Tidak ada elemen masyarakat yang memiliki hak istimewa, dimana digambarkan bahwa orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa. Jadi disini tidak terjadi perlombaan sebanyak-banyaknya untuk mengumpulkan harta benda, karena kesejahteraan harta benda bukanlah menjadi ukuran, melainkan orang yang paling bertaqwalah yang perlambang kemakmuran hidup di dunia dan akhirat. Nah, dalam welfare state yang menjadi ukuran adalah kesejahteraan ekonomi semata-mata.
Keempat, ciri terpenting negara sejahtera terletak pada nilai politiknya. Berbeda dengan demokrasi Barat modern, kekuasaan dalam negara Islam adalah milik Allah Swt, dan kekuasaan dalam konsep Barat adalah milik rakyat. Dengan demikian, kepala negara dengan apa yang disebut mayoritasnya dapat membuat atau menafsirkan hukum apa saja yang sesuai dengan keperluannya. Dalam keadaan demikan golongan minoritas atau rakyat kecil, benar-benar berada dalam kekuasaan mayoritas, sehingga tidak berdaya apa-apa di hadapan penguasa pemerintahan, sebagaimana terjadi pada konsep welfare state. Ini karena yang berkuasa adalah manusia sehingga cenderung untuk menyalahkan kekuasaannya demi kepentingan orang-orang yang berkuasa.[11]
Kelima, nilai ekonomi Islam yang pokok berangkat dari suatu kenyataan bahwa hak milik atas segala sesuatunya adalah pada Allah semata. Setiap orang diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memiliki harta kekayaan. Hak milik setiap orang mendapat pengakuan dan perlindungan dalam Islam, tetapi pada harta benda mereka ada hak untuk orang-orang fakir dan miskin. Bahkan hewanpun berhak mendapat bagiannya (QS Al-Baqarah 51:19). Sesungguhnya kewajiban moral ini dilakukan dengan rasa sukarela berlaku bagi semua elemen masyarakat Islam. Ciri kesadaran moral inilah yang membedakan Islam dengan konsep welfare state.
F. PENUTUP
Jika sistem ekonomi Islam adalah berbeda atau bukan merupakan sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, maka konsep welfare state (negara kesejahteraan), juga berbeda dan bukan merupakan sistem Islam. Walaupun secara teknis operasional konsep welfare state lebih dekat dengan sistem Islam dibandingkan kapitalis dan sosialis, tapi tetap sistem Islam memiliki perbedaan mendasar dengan konsep welfare state.
Konsep Islam berbeda secara mendasar dengan ajaran welfare state, dimana sistem Islam dalam tujuannya adalah untuk mengemplementasikan kesejahteraan material dan spritual sekaligus, sedangkan konsep welfare state hanya terbatas pada tujuan pencapaian kesejahteraan material semata-mata. Sehingga pada prakteknya, konsep welfare state karena tidak ada muatan moral spritualnya, pada perjalanannya mengalami kegagalan-kegagalan dan menghadapi krisis-krisis. Sebagai indikator kegagalan itu, berbagai data emperik menunjukkan bahwa di negara-negara penganut welfare state berbagai masalah ekonomi klasik, seperti kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, defisit fiskal, pengangguran, dan lain-lain. Salah satu penyebab ini adalah ketiadaan suatu norma atau etika kolektif yang dapat menjadi acuan bersama. Sesuai dengan kerangka sekularisme maka negara kesejahteraan cenderung mengabaikan peranan etika dan norma dalam perumusan strategi ekonominya.
Perbedaan lainnya adalah, jika konsep welfare state bertumpu pada kesejahteraan ekonomi semata, maka konsep Islam bukan hanya manifestasi nilai ekonomi, tetapi juga pada nilai spritual, sosial dan politik Islami secara integral dan menyeluruh. Nilai ekonomi Islam yang pokok berangkat dari suatu kenyataan bahwa hak milik atas segala sesuatunya adalah pada Allah semata. Setiap orang diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memiliki harta kekayaan. Hak milik setiap orang mendapat pengakuan dan perlindungan dalam Islam, tetapi pada harta benda mereka ada hak untuk orang-orang fakir dan miskin. Bahkan hewanpun berhak mendapat bagiannya (QS Al-Baqarah 51:19). Sesungguhnya kewajiban moral ini dilakukan dengan rasa sukarela berlaku bagi semua elemen masyarakat Ciri kesadaran moral inilah yang membedakan Islam dengan konsep welfare state.
Terlepas dari kekurangan dan kelemahan konsep welfare state, yang menjadi persoalan penting bagi kita adalah bahwa nilai-nilai ekonomi Islam, masih banyak teremplimentasi di negara-negara non Islam dibanding pada negara Islam itu sendiri. Jika di Barat porsi perhatian dan perlindungan sosial pemerintah terhadap orang miskin, jompo, cacat dan anak-anak terlantar adalah lebih baik prakteknya. Justeru sebaliknya di negara-negara Islam atau mayoritas penduduknya Islam jaminan sosial bagi kelompok-kelompok kurang beruntung diberikan secara sporadis. Kondisi ini pernah disinggung oleh Muhammad Abduh sekian puluh tahun yang lalu, “Di Barat saya seringkali melihat Islam tanpa muslim, tetapi di Timur saya banyak menjumpai muslim tanpa Islam. Banyak penguasa Islam kini hidup bergelimang kemewahan, hidup di Istana bagaikan raja-raja yang terpisah dari rakyatnya. Mereka lebih tertarik dengan jet pribadi, mobil mewah atau plesiran keluar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Bessant, Judith, Rob Watts, Tony Dalton dan Paul Smith, Talking Policy: How Social Policy in Made, Crows Nest: Allen and Unwin, 2006.
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), Alfabeta, Bandung, 2006.
Esping-Andersen, After The Golden Age? Welfare state Dilemmas in Global Economy” dalam Gosta Esping Andersen (Ed), Welfare state in a Transition: National Adaptations in Global Economic, 1997.
John Harris “State Social Work and Social Citizenship in Britain: From Clientelism to Consumerism” dalam The British Journal of Social Work, Vol. 29, No.6, 1999.
M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Ekonisia, Yogyakarta, 2003.
Mannan, M. A. Islamic Economic: Theory and Practice, Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1970.
Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, PT Dana Bhakti Waqaf, Yogyakarta, 1995.
Paul Spicker, Social Policy: Themes and Approaches, Prentice Hall, London, 1995
Siswono Yudo Husodo, Membangun Negara Kesejahteraan, makalah disampaikan pada seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare state dan Terobosan Melalui Desentralisasi –Otonomi di Indonesia, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006.
Syed Nawab Khaider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami, Bandung: Mizan, Bandung, 1993.
________________________________________
[1] Paul Spicker, Social Policy: Themes and Approaches, (London: Prentice Hall, 1995), hlm. 82
[2]Esping-Andersen, After The Golden Age? Welfare state Dilemmas in Global Economy” dalam Gosta Esping Andersen (Ed), Welfare state in a Transition: National Adaptations in Global Economic, 1997, hlm. 1-31
[3]Lihat Siswono Yudo Husodo, Membangun Negara Kesejahteraan, makalah disampaikan pada seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare state dan Terobosan Melalui Desentralisasi –Otonomi di Indonesia, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006.
[4]Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), (Bandung: Alfabeta, 2006).
[5]Bessant, Judith, Rob Watts, Tony Dalton dan Paul Smith, Talking Policy: How Social Policy in Made, (Crows Nest: Allen and Unwin, 2006).
[6] Ibid
[7]John Harris “State Social Work and Social Citizenship in Britain: From Clientelism to Consumerism” dalam The British Journal of Social Work, Vol. 29, No.6, 1999, hlm. 915-937
8Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), (Bandung: Alfabeta, 2006).
[9] Syed Nawab Khaider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 116-117
[10] M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 364-365
[11]Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Waqaf, 1995), hlm. 361

1 komentar:

  1. Untuk Anda Yang Selalu Kalah Di Dalam Permainan TOGEL.Anda Tdk Usah Lagi Memikirkan Kekalahan Anda.Sekarang Saya Suda Menemukan Solusi Nya.Pada Waktu Itu.Saya Sering Mendengar Cerita Tentang Adanya Angka Ghoib/Ritual.Maka Dari Itulah Saya Makin Penasaran Dgn Adanya Angka Ghoib Itu.Akhirnya Saya Mencoba Menghubungi Beliau Dan Meminta Angka Ghoib Itu.Meskipun Di Pikiran Saya Kurang Meyakinkan.Dan Ternyata Angka Nya Benar2 Terbukti Tembus 100% SGP 4D Yaitu(8552)Alhamdulillah Saya Dapat(47)jta.Saya Betul2 Tidak Menyangka Ini Semua Akan Terjadi Kpda Saya’Dan Semua Hutang2 Saya Suda Saya Lunasi.Kini Saya Suda Hidup Tenang Dan Tdk Di kejar2 Hutang Lagi Seperti Dulu.ini Adalah Benar2 Kisah Nyata Saya.Untuk Saudara2 Saya Di Mana Pun Anda Berada Yang Mengalami Masalah Keuangan Dan Yang Ingin Mendapatkan Angka Ghoib HasiL RituaL/Jitu’2D_3D_4D_5D_6D’Di Jamin 100% TEMBUS Silahkan Anda Hubungi Langsung AKI,BARAKA Di NoMor(_0_8_2_3_1_0_2_9_6_7_7_7_)Ini Bukan Sekedar Reka Yasa Untuk Di Pamerkan.Jika Anda Penuh Kepercayaan Dan Keyakinan Silahkan Anda Buktikan Sendiri Jika Anda Ingin Mengubah Nasib.Terimah Kasih Thankz Roomx Zhobath...

    BUAT ANDA YANG BUTUH PENGOBATAN PENYAKIT APA PUN.SECARA JARAK JAUH.LANGSUNG SEMBUH.CALL..082 310 296 777
    INI BUKAN SEKEDAR REKA YASA.

    BalasHapus