Jumat, 16 Desember 2011

METODE PENEMUAN HUKUM (Bayani, Ta’lili dan Istislahi)

Oleh :
MUH. MAHATHIR

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada pokoknya
bahwa suatu aturan yang telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam
Al Quran dan Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja
dirubah maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan
fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik
karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum
yang tidak jelas bunyi teks suatu undang-undang, maka dalam metode penemuan hukum
dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode bayani, ta‟lii dan istislahi.
Memperhatikan jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode penerapan
hukum dalam ilmu hukum Islam (istinbath al-hukm) dan penerapan hukum (tathbiq alhukm),
dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan metode penemuan
hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula
dengan metode yang diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah
dikemukan oleh para Juris Islam (fuqaha‟) dan sangat mendasar metode yang mereka
temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode
seperti dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut Ushul
1 Panitera Pengganti dan Kaur Keuangan pada Pengadilan Agama Kotabumi dan saat sekarang
Mahasiswa PPs IAIN Raden Intan bandarlampung, Prodi Ilmu Syariah, Konsentrasi Perdata Syariah,
Angkatan 2007
1
Fiqh. Di dalam ilmu Ushul Fiqh dirumuskan metode memahami hukum Islam dan
memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil tersebut dibangun hukum Islam
yang ketentuan hukumnya sesuai dengan akal sehat (a reasionable assumption). Imam
Syafi‟i contohnya mempunyai jasa dan andil yang besar sebagai pendiri atau guru arsitek
Ushul Fiqh dalam kitabnya “Ar Risalah” yang tidak hanya karya pertamanya membahasa
Ushul Fiqh, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para teorisasi yang muncul
kemudian.
Metode pengembangan hukum Islam yang telah diletakan oleh Imam Mujtahid
(Abu Hanifah 699-767 M, Malik bin Anas 714-795 M, Muhamad Idris Asy-Syafi‟i 767-
819 M, dan Ahmad bin Hanbal 780-855 M) dan dijadikan dasar pijakkan untuk
menemukan hukum dan penerapan hukum, maupun memberlakukan hukum dalam suatu
negara. Metode yang dijelaskan secara rinci dalam Ushul Fiqh menurut Tahir Muhmood
merupakan asas hukum di berbagai negara Islam dan di dalam pembaharuan hukumnya,
yaitu motode musawati mazhabib al-fiqh (equality of the schools of Islamic law) istihsan
(juristic equality), mashalih al-mursalah / istislahi (public interest), siyasah syari‟ah
(legislative equality) istidlal (juristic reasioning), taudi‟ (legislation), tadwin (codivication)
dan lain sebaginya.2
Dikaitkan dengan penemuan hukum dan penerapan hukum oleh Juris Islam
(fuqaha‟) setidak-tidaknya mendasarkan kepada beberapa motode, dintaranya motode
penemuan hukum bayani, ta‟lili dan istislahi, yang bermuara pada tolak ukur kemaslahatan
agar keadilan dan kebenaran dapat dikembangkan dari tiga motode tersebut yang tentunya
2 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and Comparative Analysis),
New Delhi For the Academi of law and Religion, 1987, hlm.13.
2
tidak lepas dan kontradiksi denga garis hukum yang telah dietapkan dalam Al Quran dan
Hadis. Oleh karena itu di dalam upaya menemukan hukum dan penerapan hukum oleh para
pengali hukum Islam seyogianya bertitik tolak dari prinsip kemaslahatan dengan metode
yang telah disebutkan di atas.
Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan ditetapkannya hukum dalam
Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fiqh dan Filsafat Hukum Islm.
Dalam perkembangan berikutnya merupakan kajian utama dalam metode penemuan hukum
Islam. Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka
mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalanpersoalan
hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al Quran
dan Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan
akan dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang
muncul, makalah ini akan mencoba menguraikan metode penemuan hukum bayani, ta‟lili
dan isislahi.
2. Permasalahan
Dari uraian yang telah penulis kemukakan di atas, untuk mendapatkan suatu
gambaran dan batasan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini
adalah : Bagaimana bentuk penemuan hukum dengan metode bayani, ta‟lili dan istislahi ?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Motode Penemuan Hukum Islam
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motedo penemuan hukum dipakai dengan istilah
“istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini
3
memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.3 Imam
Al-Ghazali dalam kitabnya “Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III dengan judul
“Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fiqh maka passwar yang
paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan
mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.
Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu
cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik
dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan
kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.4 Ahli Ushul Fiqh menetapkan ketentuan bahwa untuk
mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan
kaidah lughawiyah.
a. Kaidah syar‟iyyah.
Yang dimaksud dengan kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟
dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hukum
(mukallaf).5 Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang
dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan
sebaginya.
b. Kaidah lughawiyah.
Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun
uslub-nya dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan
3 Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2004,
hlm. 1
4 A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi
Revisi, Prebada Media, Jakarta, 2005, hlm.17.
5 Ibid.
4
hukum.6 Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang
dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz
dan susunannya.
Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum
Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Usha memperoleh
ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalildalilnya
dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil
Al Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa
hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang
menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.7
Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus
memahami bahasa dalil Al Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki
pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan.
Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan hal yang
mutlak wajib dipelajari oleh seiap orang yang ingin berijtihad.8 Penemuan hukum
(rechtsvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat luas
cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuwan / peneliti
hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara / advokat), direktur
perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun.9
6 Ibid, hlm. 5.
7 Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres Yogyakarta, 1984,
hlm.32.
8 Ibid.
9 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks,
UII Pres, Yogyakata, 2004, hlm. 51
5
Dalam makalah ini, penulis membatasi diri pada upaya penemuan hukum secara
penelitian hukum dari sudut kajian akademisi, yang kemamfaatannya dapat dirasakan oleh
semua kalangan khsusnya praktisi hukum Islam. Hal demikian dimaksudkan tidak sematamata
menyangkut penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi
juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.10
2. Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi
Metode Bayani.
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode
penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses
mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm)
dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan
penyampaian makna (al-tablig).11 Dalam perkembangan hukum bayani atau setidaktidaknya
mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang
bermakna „mengartikan‟, „menafsirkan‟ atau „menerjemah‟ dan juga bertindak sebagai
penafsir.12 Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang
maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu
proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih
10 Penemuan hukum itu selalu berkonotasi hukumnya sudah ada sehingga tinggal bagaimana cara
menerapkan dalam peristiwa konkrit. Sedangkan pembentukan hukum berkonotasi bahwa hukumnya belum
ada sehingga harus membentuk hukum yang dibutuhkan masyarakat itu sehingga jangan terjadi kekosongan
hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Sementara penciptaan hukum
berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap.
11 Jazim Hamidi, Op.,Cit, hlm. 23.
12 Ibid, hlm. 20
6
jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari
pekerjaan seorang penafsir / muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama
dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir” (ilm ta‟wil
dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami
kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan
istilah „ilmu tafisr‟ ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi “hermeneutika Al Quran”
sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam
kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adaah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari
bahasa Arab ; fassara atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian
eksegesisi (penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang. 13
Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta‟wil (al-ta‟wil) sering kali
disinonimkan pengertiannya ke dalam „penafsiran‟ atau „penjelasan‟. Al-Tafisr berkaitan
dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese), sedangkan al-ta‟wil lebih merupakan
isnterprestasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan
penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk
menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan
ta‟wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber
menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan
adalah gerak dinamis.
13 Ibid, hlm. 22.
7
Hermeneutika14 yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni
menginprestasikan (the art pf interprestation) „teks‟ atau memahami sesuatu dalam
pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya
menjadi objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu / teks di sini bisa berupa : teks hukum,
peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat
ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin).15
Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan
antara teks, konteks dan kontekstualisasi.
Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan
hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang
memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini
dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme
para yuris positif yang elitis16 tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau
behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata
berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma
positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya
menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan / atau para
pencari keadilan.
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus :
Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum
14 Sebagaimana yang pernah diambil oleh Nabi Idris esiensinya adalal sebuah ilmu atau seni
menginterprestasikan (the art of interprestasi) teks. ketika penafsiran wahyu Tuhan / bahasa langit, sehingga
di[ahami oleh makhluk di bumi. (Ibid, hlm 21)
15 Ibid, hlm. 45.
16 Di mana pada lalu telah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang berwenang akademisi dan
professional untuk menginterprestasikan dan membberikan makna kepada hokum.
8
atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi
(kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan
semangat hukum.
Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori
penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral
hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah
dan fakta-fakta.
Di bawah ini dapat kita lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan
oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani :
1. Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim) :
Sebelum mengambil putusan (ex ante) disebut “heuristika” yaitu proses mencari dan
berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini
berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara
yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap
sesudah pengambilan putusan (ex post) disebut “legitimasi” yang berkenan dengan
pembenaran dari putusan yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi
(pertimbangan) dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu
penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan
hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak
memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan,
dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum tersebut
agar putusan dapat diterima.
9
Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan
hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan undangundang
dan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus
pencipta hukum dan pembentuk hukum
2. Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi.
Metode penemuan hukum ini mempunyai peran penting bagi para pembuat undangundang
dan peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dari
perencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan sosialisasi hukum itu
sarat dengan pekerjaan interprestasi atau pemahaman hukum. Interperstasi itulah
meruapakan ruh dari metode bayani.
3. Ilmuwan hukum / Fuqahak.
Ilmuwan / fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaian
hukum) atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan bobot dan
kualitas hukum.
Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke dalam
sebelas macam yaitu :
1. Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa).
Penafsiran kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata
bahasa. Dengan mencoba menangkap arti sesuatu teks / peraturan menurut bunyi katakatanya
dari hasil interprestasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, sebuah kata
dapat mempunyai berbagai arti, dalam bahasa fiqh dikenal dengan kata-kata
„musytarak‟
2. Interprestasi historis.
10
Setiap ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya harus
menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalam
konteks ini dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturan
hukum pembuat undang-undang (syari‟) sehinggga kehendak pembuat hukum sangat
menentukan. Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya
(rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang ingin memahami undang-undang
dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaan
hukumnya. Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalam
penafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunul ayat atau asbabul wurud hadist.
3. Interprestasi sistematis.
Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem,
artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan
jenis peraturan yang lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis,
hadis dengan ayat, hadis dengan hadis.
4. Interprestasi sosiologis atau teologis.
Secara sosiologis / teologis apabila makna peraturan / ayat dietapkan berdasarkan
tujuan kemaslahatan. Dalam interprestasi ini dapat menyelesaikan adanya perbedaan
atau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan kenyataan hukum
(rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan teologis sangat penting.
Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potong
tangan bagi pencuri, postif hukum setiap pencuri potong tangan, namun kenyataan
hukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan masyarakat.
5. Interprestasi komparatif.
11
Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina)
berbagai sistem hukum baik dalam suat negara Islam ataupun membandingkan
pendapat-pendapat imam mazhab.
6. Interperstasi futuristik.
Disebut juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan
ketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatan
hukum., karena peraturannya masih dalam rancangan.
7. Interperstasi restriktif.
Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalam
fiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangan
di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini
berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.
8. Interprestasi ekstensif.
Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi
gramatikal, seperti perkataan al-ba‟i dalam fiqh mu‟amalah oleh qadhi boleh di
tafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala peralihan hak.
9. Interprestasi otentik atau secara resmi.
Dalam jenis interprestasi ini, qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan
cara lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang
itu sendiri.
10. Interperstasi interdisipliner.
Bisa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu
hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
12
Sebagai contoh, interprestasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakim
dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum
pidana, administrasi negara dan perdata.
11. Interprestasi multidisipliner.
Seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar
ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari
lain-lain disiplin ilmu.
Metode Ta’lili
Sebelumnya penulis akan menguraikan sekitar masalah „illat. Ulama Ushul Fiqh
membicarakan masalah „illah ketika membahas qiyas (analogy). „Illah merupakan rukun
qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan „illahnya. Setiap hukum
ada „illah yang melatarbelakanginya. „Illat sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu
sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh
sebagaian ulama Ushul Fiqh : „Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar
dalam penetapan hukum.17 Orang yag mengakui adanya „illat dalam nash, berarti ia
mengakui adanya qiyas.
Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah „illat menjadi 3 golongan :18
a. Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pasti
memiliki „illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah „illat hukum itu sendiri, hingga
ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
17 Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Ma‟shum, Jakarta,
2000, hlm.364.
18 Ibid.,hlm. 365.
13
b. Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber‟illat, kecuali
ada dalil yang menentukan adanya „illat.
c. Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap
tidak adanya „illat hukum.
Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan
meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam. Maka banyak
ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa itu
tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang
disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang
melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukuim ialah „illat hukum atau kausa hukum. 19 Selama
„illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika „illat hukum tidak
tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para
fukahak melahirkan kaidah fiqh yang mengatakan :
“Hukum itu berkisar bersama „illatnya, baik ada atau tidak adanya.20
Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan denga „illat (kausa)
yang melatarbelakanginya ; jika „illat ada, hukum pun ada, jika „illat tidak ada, hukum pun
tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi „illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh
karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan
untuk dapat menunjuk „illat hukum secara tepat.
19 Ahmad Azhar Basyi, Op..Cit.,hlm.20.
20 Ibid., hlm. 22.
14
Mengenai adanya kaitan antara „illat dan hukum, para fuqaha mazhab Zahiri tidak
dapat menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui „illat hukum hanyalah Allah dan
Rasul-Nya. Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada
ketentuan hukum nash menurut apa adanya.21 Menetapkan adanya kaitan hukum dengan
„illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa
yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan „illat hukum
peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash. Dengan mengetahui „illat
hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat dilakukan qiyas atau analogi terhadap
peristiwa yang terkadi kemudian.
„Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam
kasus baru sangat bergantung pada ada atau tidak adanya „illat pada kasus tersebut.
Sehingga „illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara
obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan
sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum.
Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam
wujud kemaslahatan bagi manusia. „Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat
dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan
tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.
Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan „illat
adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan
ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak,
21 Ibid.
15
mundhabith atau tidak. 22 Jadi baginya „illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan
mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan
berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan „illat. Sebenarnya hikmat dengan „illat mempunyai
hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum.23
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan „illat
dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari
sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara metode qiyas dengan maqashid alsyari‟
at Dalam pencarian „illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat
menjadi „illat adalah bahwa shifat tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang
diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Maslahat dalam „illat menjadi maslahat
daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat, dan dari sinilah muncul pengembangan prinsip dan
teori maqashid al-syariat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang
menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam
menetapkan hukum melalui jalur qiyas.
„Illat adalah hal yang oleh syari‟ (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar,
tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum. „Illat pada pokoknya dapat
dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya, yaitu „illat diperoleh dengan
dalil naqli, nas yang diperoleh dengan ijma‟ dan „illat yang diperoleh dengan jalan istinbath
(pemahaman kepada nash).24 „Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi menjadi
tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih,
22 Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt, hlm. 185.
23 Contoh, dalam bidang ibadah (shalat qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya
itu „illatnya karena safr, sedangkan musyaqatnya merupakan hikmat
24 Ibid., hlm. 24.
16
yang diperoleh hanya dengan isyarat, yang disebut ima, dan yang diperoleh dari adanya
petunjuk sebab.25
„Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk
menentukan „illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran
kefilsafatan dalam menentukan „illat dengan jalan istinbath ini amat nyata. Untuk
menentukan „illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara, yaitu :
1. Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuai
benar sebagai „illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang benar-benar
sebagi „illat dilakukan taqsim dan sabr. Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan
sesuai sebagai „illat hukum, dan sabr adalah meneliti hal yang telah dibatasi dan
dirasakan sesuai sebagi „illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus
disisihkan sebagai „illat dan mana yan harus diamblil atau ditetapkan. Cara ini
merupakan peluang amat luas untuk berijtihad dan amat memungkinkan terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.
2. Menetapkan kesesuaian „illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji „illat
yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya „illat itu terhadap hukum
bersangkutan. „Illat yang sesuai dengan ketentuan hukum itu disebut al-„illah almunasibah.
26 Al-„illah al-munasibah ada empat macam, yaitu : „illat muatstsirah
(membekas), „illat mula-imah (sejalan), „illat gharibah (asing) dan „illat mursalah
(lepas, bebas).27 , di bawah ini akan dibahas tentang empat „illat itu :
a. al-„illah al-munasab.
25 Muhammad Makruf ad-Dawaalibi, Al Madkhal Ilaa „Im Ushuul al-Faqh, 1959, hlm. 417.
26 Ali Hasbullah, Ushul at-Tasyrii‟ al-Islami, 1964, hlm. 131.
27 Ahmad Azhar Basyi, Op..Cit., hlm. 28-31.
17
„Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau „ijma‟ dan diketahui membekas
pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang ditetapkan atas
anak di bawah umur, yang dipandang „illatnya adalah keadaan di bawah umur.
b. „illat mula-imah.
„Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hukum
karena nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai
„illatnya. Namun „illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah nash lain mengenai masalah
yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan „illat hukum yang
bersangkutan.
c. „illat gharibah
„Illat yang diperoleh dari nash, tetapi tidak jelas bahwa „illat itu membekas
pengaruhnya terhadap hukum dan tidak ketahui dengan jelas kesejalanannya dengan
hukum bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain
mengenai masalah yang sejenis. Namun „illat yang diperoleh dari nash itu sendiri
dipandang sesuai dengan hukum yang diakandungnya.
d.„illat mursalah
„Illat yang tidak terdapat pendukungnya dari nash, tetapi dapat diketahui dari jiwa
ajaran Islam pada umumnya. „Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik.
Untuk menetapkannya diperlukan ketajaman pandangan dan keluasan cakrawala
pemikiran tentang tujuan dan rahasia hukum Islam khususnya dan ajaran Islam
umumnya.
Oleh karenanya „illah adalah sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, yang di
dalamnya terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan. Maka „illah ditetapkan sebagi
18
bertanda (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan jelas bagi adanya hikmah.28 Hikmah
itu bersifat implisit di dalam „illah dan tidak terpisah dengannya, karena hikmah tidak ada
jika „illah tidak ada. Di samping itu, „illah adalah dasar perbuatan. Jika „illah ada tanpa
adanya hikmah, maka „illah tidak dapat dianggap berasal dari hukum.
Jika „illah itu jelas, tidak ada kesulitan, namun apabila „illah itu tidak jelas, para ahli
Ushul Fiqh berbeda pendapat. Ada yang mengambil jalan takwil dan mencoba menggali
„illah berkenaan dengan kata-kata nash yang implisit. Sedangkan yang lainnya mengambil
metode interprestasi nash sesuai dengan akal berkenaaan dengan kepentingan masyarakat
(social utility). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa „illah merupakan “sebab” atau
“tujuan” ditetapkan hukum. Adakalanya langsung disebut dalam nash (manshushah) dan
adakalanya tidak (muntanbathah).29
Metode Istislahi
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga
merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al
Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara
langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam
maslahat, yakni maslahat mu‟tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat. Maslahat
yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran
maupun dalam Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan
ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua
maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak
28 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm.4.
29 Ibid.
19
ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.30
Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah
adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan
hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat almursalat.
31 Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat.
Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat.
Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut :32
a. Maslahat tersebut bersifat reasonable (ma‟qul) dan relevan (munasib) dengan kasus
hukum yang ditetapkan.
b. Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan
kesulitan (raf‟u al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat.
c. Maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari‟atkan hukum (maqashid alsyari‟
at) dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang qahti‟.
Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat
dijadikan sebagai penemuan hukum.33
1. Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa untuk
menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan
sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas
tersebut.
30 Dalamm kajian ilmu Ushul Fiqh “al-maslahat al-mursalah” adalah suatu kemaslahatan yang tidak
ditetapkan oleh al-Syari‟ sebagai dasar penetapan hukum, tidak pula ada dalil syar‟i yang menyatakan
keberadaannya atau keharusan meninggalkannya. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-
A‟la al-Indonesi li al-Da‟wat al-Islamiyyyat, Jakarta, 1972, hlm. 84.
31 Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi‟ah, Adillat al-Tasyri‟ al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj
Biha, Mu‟assasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M, hlm. 221.
32 Dalam karangan al-Syathibi, al-I‟Tisham, yang suting oleh Fathurrahman Djamil, Op.Cit, hlm. 142
33 Al-Ghazali, al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt, hlm. 364-367.
20
2. Kemaslahatan itu bersifat qath‟i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benabenar
telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhan) sematamata.
3. Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum
dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka
syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid alsyari‟
at.
Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode
penemuan hukum istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang
diungkpkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan
disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan.
Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai
dasar, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada
ketentuan syari‟at dan tidak ada „illat yang keluar dari syara‟ yang menentukan kejelasan
hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara‟,
yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan
suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi.
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh
khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu
bagian tujuan syara‟. Proses seperti itu disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu
masalah).34 Walaupun para ulama berbeda dalam memandang metode ini, hakikatnya
34 Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, Cet. 1, Pustaka Setia, Bandung, 1999.hlm. 117.
21
adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya terdapat tujuan secara umum, namun
tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya adalah suatu
metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara‟ yang tidak merupakan dalil tambahan
terhadap nash syara‟, tetapi ia tidak keluar dari nash syara‟. Menurut pandangannya, ia
merupakan hujjah qathi‟iyyat selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara‟,
walaupun dalam penetapannya zhani. 35
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi
itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran
maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu
i‟tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma‟ atau qiyas yang
berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti
pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah
ketiga. Hal iu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat
yang sejalan dengan kehendak syara‟ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan
umat tentang Al Quran.36
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istislahi merupakan cara penemuan hukum yang
berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, „urf dan kaidah raf alharj
wa al-masyaqqat.
-+35 Al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 310.
36 Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi‟ah, Op. Cit., hlm. 222.
22
C. ANALISA
Konsep penemuan hukum oleh Juris Islam terutama dipelopori aliran system hokum
terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya,
meskipun tidak diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang
ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan. Jika
dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum
jelas maknanya, maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani
(penafsiran), metode ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan
tetap berpegang pada bunyi teks.
Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena
memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problema yang
timbul dalam masyarakat. Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari
fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu
lainnya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru
persoalan fiqh merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fiqh ibadah
dan mu‟amalahnya.
Penerapan sebuah hukum harus didahului dengan aktifitas penemuan hokum yang
lazim diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh para penegak hukum dan fuqahak
dalam proses menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan hukum
merupakan upaya bahwa seakan-akan hukumnya sudah ada, dan suatu peristiwa yang tidak
ada ketentuan hukumnya harus pula dilakukan melalui ijtihad sehingga hukumnya
ditemukan. Dengan demikian terbentuklah hukum atas peristiwa tersebut.
23
Penemuan hukum dapat saja dilakukan oleh hakim sebab hasil temuan hukum oleh
hakim adalah hukum. Ilmuwan hukum yang mengadakan penmuan hukum, baik melalui
penelitian, maupun hasil pemikirannya dapat dikatakan sebagai ilmu dan doktrin, jika
diambil oleh hakim maka akan menjadi hukum.
Aturan hukum yang bersifat normatif kadang-kadang kurang jelas, rinci dan
lengkap, sedangkan fakta dan peristiwa selalu muncul di luar ketentuan yang ada dan ini
diperlukan penyelesaian menurut hukum. Begitu juga halnya dengan teks ayat dan hadis
yang kadang-kadang hanya memuat aturan normatif sehingga perlu penemuan hukum atau
aturan undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang tidak mungkin menduga
peristiwa yang akan terjadi ke depan walaupun teks undang-undang jelas tentu masih
membutuhkan penemuan hukum untuk mencocokan dengan kebutuhan zaman tentu dengan
tetap mengacu pada aturan yang sudah digariskan dalam teks. Hukum itu ada, akan tetapi
harus ditemukan, hakim tidak semata-mata menerapkan hukum, akan tetapi menemukan
hukum.
Kegiatan penemuan hokum dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada intinya
adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal
demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan hukum dalam menjawab permsalahan
yang mungkin timbul dengan pemahaman aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud
tulisan, lukisn, perilaku, peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan
intensitas, melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi
mencakup tujuan manifest dan tujuan laten.
Penemuan hokum dengan metode ta‟lili yang merupakan sifat yang menjadi dasar
hukum asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan cabang dengan asal pada hukumnya.
24
Mendasarkan hukum kepada „illat diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena memang
Al Quran dan As Sunnah memberikan petunjuk bahwa „illat hukum adalah sifat tertentu,
maka sifat itu merupakan „illat berdasarkan nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui
bahwa ketentuan hokum itu dapat dipecahkan berdasarkan „illat hukum.
Sedangkan penemuan hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan
syariat dan merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang
sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan istislahi merupakan
suatu jalan keluar dari kekakuan hukum.
D. PENUTUP
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka terakhir dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Metode penemuan hukum adalah cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam
mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa
(lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.
2. Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode
penemuan hukum al-bayan, ta‟lili dan istislahi.
3. Metode penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan kepada pemahaman
terhadap teks.
4. Metode penemuan hukum ta‟lili adalah suatu metode penemuan hukum dengan „illat-
„illat dalam suatu masalah.
5. Metode penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum yang stresingnya
lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Ma‟shum,
Jakarta, 2000.
Al-Ghazali, al-Mustahasfa min „Ilmi al-Ushul, Jilid II, Sayyyid al-Husein, Kairo, tt.
Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt.
Al-Rabi‟ah, Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali, Adillat al-Tasyri‟ al-Mukhatalaf Fi al-
Ihtijaj Biha, Mu‟assasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M.
Ad-Dawaalibi, Muhammad Makruf, Al Madkhal Ilaa „Im Ushuul al-Faqh, 1959.
Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres
Yogyakarta, 1984.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm.4.
Djazuli, A, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5,
Edisi Revisi, Prebada Media, Jakarta, 2005.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and Comparative
Analysis), New Delhi For the Academi of law and Religion, 1987.
Rahman, Asjmuni A., Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang,
Jakarta, 2004.
Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi
Teks, UII Pres, Yogyakata, 2004.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-A‟la al-Indonesi li al-Da‟wat al-
Islamiyyyat, Jakarta, 1972.
.

1 komentar:

  1. Untuk Anda Yang Selalu Kalah Di Dalam Permainan TOGEL.Anda Tdk Usah Lagi Memikirkan Kekalahan Anda.Sekarang Saya Suda Menemukan Solusi Nya.Pada Waktu Itu.Saya Sering Mendengar Cerita Tentang Adanya Angka Ghoib/Ritual.Maka Dari Itulah Saya Makin Penasaran Dgn Adanya Angka Ghoib Itu.Akhirnya Saya Mencoba Menghubungi Beliau Dan Meminta Angka Ghoib Itu.Meskipun Di Pikiran Saya Kurang Meyakinkan.Dan Ternyata Angka Nya Benar2 Terbukti Tembus 100% SGP 4D Yaitu(8552)Alhamdulillah Saya Dapat(47)jta.Saya Betul2 Tidak Menyangka Ini Semua Akan Terjadi Kpda Saya’Dan Semua Hutang2 Saya Suda Saya Lunasi.Kini Saya Suda Hidup Tenang Dan Tdk Di kejar2 Hutang Lagi Seperti Dulu.ini Adalah Benar2 Kisah Nyata Saya.Untuk Saudara2 Saya Di Mana Pun Anda Berada Yang Mengalami Masalah Keuangan Dan Yang Ingin Mendapatkan Angka Ghoib HasiL RituaL/Jitu’2D_3D_4D_5D_6D’Di Jamin 100% TEMBUS Silahkan Anda Hubungi Langsung AKI,BARAKA Di NoMor(_0_8_2_3_1_0_2_9_6_7_7_7_)Ini Bukan Sekedar Reka Yasa Untuk Di Pamerkan.Jika Anda Penuh Kepercayaan Dan Keyakinan Silahkan Anda Buktikan Sendiri Jika Anda Ingin Mengubah Nasib.Terimah Kasih Thankz Roomx Zhobath...

    BUAT ANDA YANG BUTUH PENGOBATAN PENYAKIT APA PUN.SECARA JARAK JAUH.LANGSUNG SEMBUH.CALL..082 310 296 777
    INI BUKAN SEKEDAR REKA YASA.

    BalasHapus